﹏𓊝﹏
Datanglah menuju laut. Kau bisa mengajak temanmu atau siapa pun itu. Aku tidak peduli. Tapi, ingatlah kalau kau di sini hanya sebagai tamu.
Raja Perompak menyuruh Asad untuk mendatanginya ke tengah samudera. Melihat gelagat para perompak beberapa hari yang lalu, Asad yakin ini adalah ajakan dalam damai. Walau begitu, Asad harus tetap waspada.
"Ke mana sebenarnya tujuan kita, Tuan?"
"Entahlah," kata Asad.
Ia membuka gulungan peta yang ditinggalkan oleh suruhan Raja Perompak. Ya... sepertinya memang sengaja tinggalkan, sih. Gengsi sekali mereka itu. Dasar orang-orang berbadan besar.
"Barat menuju laut yang airnya tenang. Apa maksudnya itu?"
"Tuan, izinkan saya menyampaikan pesan dari Bimo Prabu."
"Ada apa?"
Prajurit itu menelan ludahnya, ia ragu untuk berbicara. Pelipisnya berkeringat, ia berkata. "Anda diminta untuk berlatih pedang, tuan."
"Pedang? Untuk apa?"
Prajurit di depan Asad makin getar kakinya. Ia melihat ke sembarang arah, takut bertatapan dengan Asad.
Yang ditakuti hanya menatapnya heran. Kenapa pula orang ini?
"Katakan, kenapa dia menyuruhku?"
Lagi-lagi prajurit itu menelan ludahnya. "Prabu bilang, Anda masih sangat payah." Prajurit itu dengan cepat berlutut di hadapan Asad. Asad mundur selangkah, mukanya tidak percaya dengan tindakan prajurit itu. "Hei, hei! Kenapa kau berlutut?"
"Saya pantas mati, Tuan! Mulut kotor ini berani berbicara seperti itu di depan sesuatu yang mulia, ampuni saya."
Asad kehilangan kata-katanya. Apakah seperti ini manusia diperlakukan ketika zaman masih adanya kerajaan? Pemuda ini memijit pangkal hidungnya. Lantas menyuruh prajurit itu berdiri.
"Yang harus meminta maaf itu si Prabu Prabu itu. Kenapa kau mau sekali menggantikannya mati? Kau tidak sayang nyawamu? Apa kau kucing sehingga kau dengan mudah menggadaikan nyawamu? Aneh sekali... pergilah, aku akan berlatih nanti."
"Terima kasih, Tuan."
TRANG!
"Sialan. Dari sekian banyak olahraga, kenapa pedang sangat penting di tempat ini?" Asad memungut kembali pedangnya yang jatuh. Salah satu dari beberapa pedang terbagus di kerajaan. Pedang yang hanya diberikan kepada para adipati di Sriwijaya. Kaki Asad melangkah dengan kuda-kudanya. Bahunya tegap dan tangannya bertumpu kuat pada pedang di tangannya. Peluh sudah mengucur deras dari keningnya. Kali ini, Asad hanya berlatih seorang diri. Tidak ada yang berani berduel dengannya. Asad heran, kemampuannya ini masih di tahap pemula dan tidak sehebat Komandan Kapal, kenapa mereka lebih takut dengan Asad ketimbang si Komandan itu? Lihatlah mereka sekarang ini. Asad melihat prajurit Nagaraksha yang sedang berlatih dengan Komandan Kapal. Mereka menangis meminta tolong dilepaskan dari orang itu—Komandan itu dimintai tolong oleh Cain untuk mengawal Asad—ia tidak kenal ampun dengan prajurit Nagaraksha. Ia benar-benar bersungguh-sungguh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hakikat (TERBIT)
Tarihi KurguSaat itu, Asad bersama teman-temannya sedang asik mencari bunga guna melengkapi syarat untuk berhasil keluar dari rumah hantu. Tiba-tiba, portal gelap muncul di hadapan Asad. Ia tersedot kedalamnya berbarengan dengan bunyi, Wung! Wung! Wung! Seketik...