3. Pecandu Adena

15 2 2
                                    

Bagi Adena 'cantik' itu cuma cocok untuk kakak-kakak yang ditemuinya di angkutan umum menuju ke kota. Wajah mereka yang putih tentu tidak serupa dengan kulit menggelap dan bersisik gara-gara sering main di Kali.

Berkali-kali Pa'e selalu menegur. Katanya anak gadis tidak boleh berkulit gelap, nanti susah dapat jodoh. Di usia ini, Adena jelas tidak paham apa yang dimaksud. Anak kecil itu hanya tahu kalau Pa'e cerewet dan bebet-bebek lucunya terlalu lucu untuk ditinggalkan Lagi pula sekarang ia sudah punya teman untuk diseret ke mana kemana-mana.

"Gak usah narik-narik!"

Setiap saat empat kata itu selalu diucapnya dengan kaki yang pasrah diseret ke mana saja. Kontras sekali dengan lisannya yang terus berisik.

Adena sendiri sama sekali tidak terusik. Baginya gerutuan Denandan dengan suara huruf 'r' nya yang masih kaku adalah melodi paling merdu. Tentunya setelah pujian-pujian yang sering diucapkan Pak Vino. Beragam pujian yang tidak akan Adena lupa seumur hidup.

"Adena cantik ya, manis sekali senyumnya."

"Wah Adena sudah bisa bahasa Inggris sedikit ya? Pintar sekali."

"Kalau Om punya anak perempuan pasti senang. Gak perlu repot-repot marah. Apalagi Adena paket komplet."

"Adena sudah bisa baca sedikit kan? Ajarin Nandan ya kapan-kapan. Kalah terus dia kalau lawannya kamu."

Bagi Adena yang baru saja memasuki Sekolah Dasar dan mulai mempertanyakan kenapa Pa'e terus membahas nikah untuk masa depannya, bertemu ayah Denandan seperti air di padang tandus. Adena pikir itu karena Ayah Denandan seorang guru dan guru pastilah orang yang bijak dalam meneliti. Tidak asal perempuan artinya hanya layak dinikahi. Lagi pula, nikah menurut Adena hanyalah ajang untuk menjadi kekurangan uang bersama. Apa serunya?

Denandan sudah jadi magnet bagi Adena yang memang punya senyum menawan. Anak itu juga mengakui bahwa ia bukan tipe anak yang dapat dengan mudah bergaul dengan orang lain. Di masa ini berakhirlah fase gengsi Denandan.

Sudah sejak beberapa bulan yang lalu Denandan tidak lagi malu untuk digamit lengannya. Ia bahkan menawarkan diri mendekati Adena dan duduk sebangku. Percaya atau tidak, Denandan bahkan pernah menangis sampai ke luar ingus hanya karena tempat duduk mereka dipisah.

"Pokoknya aku cuma mau duduk sama Ade, Bu, titik!"

"Enggak bisa, Denan. Ibu harus nukar tempat duduk agar kalian sekelas semuanya saling kenal," jelas wali kelas mereka, Bu Aster namanya.

Tak peduli sehalus apa pun Bu Aster merayu, detik itu Denandan tetap menangis. Tatapan heran tentu tercetak jelas dari wajah anak-anak lain. Adena yang secara tidak langsung menjadi sumber masalah tentu tak tinggal diam. Ia menggamit jemari Denandan dengan lesung pipit yang tercetak. Tangis Denandan terhenti tiba-tiba, senyum Adena mengobati segalanya.

Bu Aster menghela nafas, memilih untuk mengalah. Sejak saat itu, di kelas satu sama sekali tidak ada pertukaran meja antara Denandan dan Adena. Keduanya selalu bersama, entah untuk ke kantin, perpustakaan, lapangan olahraga, dan terutama berangkat serta pulang ke sekolah. Seperti satu paket nasi dan ayam yang apabila tidak ada salah satu di antara keduanya maka akan berakhir sebagai sebuah pertikaian.

Menjelang kenaikan kelas dua, nasi dan ayam itu terpisah. Kemarin setelah mereka pulang sekolah kehujanan, Adena langsung ambruk dan demam. Sepanjang malam ia terus mengeluh kedinginan meski sudah mengenakan jaket tebal dan selimut tujuh lapis. Alhasil hari ini Denandan berangkat sekolah sendirian dengan diantar oleh sang ayah yang tampak tak tega melihat putranya berjalan sendiri tanpa teman.

Sesampainya di kelas, Denandan langsung menyerahkan surat izin milik Adena di meja guru. Denandan tidak tahu pasti, tapi melihat amplop putih dengan nama Adena di bagian luar membuatnya merasa setengah sedih. Seolah kehilangan mainan favorit yang tiba-tiba menghilang lepas diajak bermain.

Denandan kembali duduk. Matanya melihat sekeliling dan ia baru menyadari bahwa kelasnya cukup besar. Selama ini ia pikir kelas hanya seputar Adena yang selalu tersenyum ramah dan senang bertanya, serta siap mengajarinya apa pun meski Denandan bukan orang yang mudah memahami.

Pelajaran dimulai dan anak itu baru menyadari sesuatu sekarang. Adena bukan hanya temannya. Adena adalah candu yang ketika ia berhenti berdekatan dengannya ia akan kacau. Persis seperti bukti yang detik ini tampak.

"Ihhhh Denandan ngompol!"

Wajah Denandan memerah. Tanpa Adena yang memintakan izin ke kamar mandi di tengah pembelajaran ia jadi sangat payah.

•••


Author's Note :

Pernah gak sih ngelakuin sesuatu sambil kepala jatuh ke bawah karena ngantuk? Jujur bab ini ditulis demikian, hahaha.

Saya enggak menulis ini dengan perencanaan ya karena saya bukan tipe penulis yang merencanakan secara detail dan kebetulan hari ini pulang sekolah sore jadi nulis sambil capek #curcol

Tapi semoga bab ini masih bisa dinikmati dengan baik. Saya usahakan bab berikutnya ditulis dengan lebih santai.

See you next day!

Denandan dan Sebatang CokelatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang