20. Wawancara Adena

8 2 0
                                    

Sebagai orang tua tunggal yang selalu ingin anaknya berkecukupan, Pak Vino baru bisa pulang selepas adzan Isya' berkumandang. Menjadi guru di sekolah sekaligus di sebuah bimbel swasta membuatnya kehilangan banyak waktu di rumah. Dalam batas pemikirannya ia merasa tidak pernah melihat Denandan tumbuh besar secara seksama. Pria kepala 4 itu bahkan tidak ingat sejak kapan putranya semata wayangnya tumbuh lebih tinggi.

Hanya satu hal yang membuatnya resah. Sikap Denandan yang terlalu diam dan mudah terpengaruh oleh orang lain sangat membuat Pak Vino khawatir. Terlebih karena anak itu tidak pernah bercerita padanya, dan ia pun tidak tahu bagaimana memancing seseorang untuk bercerita.

Waktu berlalu, dan keduanya hanya menjadi seperti pondasi rumah yang tak dilanjutkan pembangunannya karena kekurangan dana. Barangkali kehilangan adalah faktor utamanya. Kedua lelaki—yang ditinggalkan seorang wanita dengan peran paling besar—itu menjadi lakon utama dari permainan tentang memahami satu sama lain.

Sudah tiga pekan ini, Pak Vino mencium gelagat aneh dari putranya. Bagaimana Denandan bicara di telepon secara sembunyi-sembunyi dan terus berangkat lebih pagi tanpa Adena—yang selalu membuatnya semangat berangkat sekolah—jelas membuat pria itu penasaran.

Ia masih ingat ekspresi bahagia Denandan saat tahu ia bisa masuk ke sekolah yang sama dengan Adena lewat jalur anak tenaga kependidikan. Anak itu bahkan tidak keberatan diejek Adena berulang kali karena tidak bisa masuk jalur prestasi.

"Yang penting bareng Ade! Nanti bareng, mau? SMA kan halal naik motor."

Adena menyunggingkan seutas senyum. Gadis itu membenarkan kerudung instannya sambil mengangguk sebagai tanda setuju.

Beberapa pekan berikutnya Denandan bahkan sampai menggedor pintu rumah Adena demi mengabarkan kalau mereka kembali satu kelas.

Pak Vino masih ingat semua memori kedua anak itu dengan jelas. Melihat Adena seperti melihat putri kecilnya yang gugur bersama sang istri. Tanpa sadar ia terkadang bahkan menganggap Adena sebagai anak sendiri dan membanding-bandingkan gadis itu dengan Denandan-putra kandungnya yang belum terlihat menekuni bakat dan minat.

"Mau ke mana? Rapi banget."

Pertanyaan mendadak itu jelas membuat Denandan kaget pagi ini. Jantungnya berdegup cepat ketika mulutnya bingung harus mencipta alibi apa. Kan enggak mungkin bilang mau main dengan Lavender!

Hati-hati Denandan menjawab, "Main sama teman," sambil tersenyum senormal mungkin.

Pak Vino tidak kalah, ia menelisik mata Denandan, mencari keraguan. "Cewek?" tebaknya dengan aura mengintimidasi.

Denandan terdiam, sekuat tenaga ia meyakinkan diri untuk menggeleng. Kebohongan pagi ini yang Denandan harap tidak ia sesali.

Harapannya terkabul. Pak Vino mengangguk sebagai perizinan dan Denandan tentu tidak menyia-nyiakan kesempatan. Anak itu lekas mencium tangan dan melenggang pergi menuju rumah gadis berbando ungu yang tengah menunggu.

Kejanggalan masih terasa, kali ini entah kenapa ada dorongan yang membuat Pak Vino tidak ingin hanya diam dan mengabaikan peran seorang ayah yang ia punya. Pria itu melangkahkan kaki menuju rumah Adena, tepat saat gadis itu tengah menyapu halaman dengan sapu lidi.

Seperti biasa, ia tersenyum manis dan mendekat. Pria itu menyapa 'putrinya' dengan sebuah pertanyaan. "Dena apa kabar?"

Gadis yang baru saja selesai menyapu itu langsung menoleh. Lesung pipit tercetak saat gadis itu tersenyum. Ia mendekat seraya menjawab, "Baik, Om. Alhamdulillah. Sudah lama gak ngobrol."

Pak Vino tersenyum, ia memang hampir sebulan tidak bertemu Adena. Gadis itu juga jarang mampir ke rumah. Jelas sekali sebuah jejak untuk kecurigaan.

"Kamu ada acara hari ini?"

Adena menggeleng. "Belum ada jadwal kegiatan sih, Om. Kenapa?"

Pak Vino tersenyum senang. Sebuah misi tercetak di kepalanya seraya ia berkata, "Mau ke Perpustakaan Kota? Lagi ada bazar buku. Jatahmu seratus ribu, ya. Anggap aja hadiah keterima OSIS."

Netra Adena berbinar. Tanpa aba-aba gadis itu langsung bersemangat meminta Pak Vino menunggunya berganti baju. Untung saja Adena sudah mandi dan tinggal mengganti baju. Tak sampai tiga puluh menit gadis itu sudah siap di teras rumah Pak Vino dengan tunik berwarna biru muda serta celana kulot dan pasmina berwarna hitam.

Sedari kecil ayah Denandan selalu memberinya hadiah selepas meraih penghargaan. Tentu dulu Adena merasa tidak enak dan sempat menolak. Namun, ketika penolakan itu datang Pak Vino membalasnya dengan mengirim hadiah untuk seluruh keluarganya hingga Adena kapok menolak dan berakhir menerima segala hal yang pria itu berikan untuk tanda perjuangan.

Lagipula, Denandan juga akan mendapat hadiah apabila memenangkan sesuatu.

"Nandan aja yang gak pernah mau berusaha. Padahal kalau dia dapat penghargaan bakal langsung Om beritahu ke semua orang."

Jadi, bukan salah Adena 'kan kalau dia lebih banyak dapat hadiah dari ayahnya Denandan?

"Biar dia, merindukanmu sendiri. Wouooo."

Mobil Pak Vino melintasi jalanan kota sambil membawa gadis yang menghidupkan OST film Dilan 1991 dengan kuat sambil berkaraoke dengan suara bulatnya yang merdu. Sedari kecil memang demikian, Adena jauh lebih terbuka kepada Pak Vino dibanding Pak Aan.

Satu lagu habis dilanjutkan lagu lainnya. Entah kenapa, Pak Vino merasa kali ini Adena tidak hanya menyanyi seperti biasa.

"Dulu berdua di atas motorku, sekarang sendiri kau duduk di kiri, dulu teleponmu berdering dariku, sekarang dia yang kau kabari."

Kepala Adena masih bergoyang ke kanan kiri sambil menikmati lirik lagu yang sedih, tapi dikemas dengan irama yang tidak memicu kesedihan dan rasa kantuk. Sejujurnya, pria itu masih ingin menikmati suara Adena andaikan ia tidak mengingat alasan utama kenapa pria itu mengajak Adena pergi.

Bermodal memantapkan diri, Pak Vino bertanya, "De, Om mau tanya-tanya tentang Denandan, boleh? Tapi kamu jangan bohong."

Adena langsung mengangguk tanpa berpikir. "As always, Om. Ayo tanya, aku masih mata-mata Om."

Senyum bangga terukir di wajah Pak Vino sebagai awalan dari wawancara pagi ini.

"Denandan pacaran?"

Sebuah pertanyaan yang terus ia pikirkan sepekan lebih akhirnya bersambut dengan anggukan Adena. Disusul pernyataan-pernyataan rekam jejak kenakalan Denandan beberapa tahun terakhir. Semua memasuki pikiran Pak Vino seperti sebuah bom nuklir yang memporak-porandakan suatu wilayah.

"Maaf aku gak kasih tahu Om dari awal. Aku pikir makin besar kami makin perlu privasi, jadi aku nunggu Om nanya aja," imbuh Adena setelah selesai menceritakan seluruh rekam jejak.

Pak Vino memijit pangkal hidung. Mobil telah terparkir sedari tadi, tapi ia ingin mendengar terlebih dahulu pernyataan Adena sampai habis. Sampai gadis itu melayangkan nuklir terakhir, sebuah pertanyaan di luar praduga.

"Om percaya gak kalau kubilang Denandan jadi nakal gara-gara Om?"

•••

Author's Note :

Halo, ini Nasylaawa!

Just info, besok tamat.

Mwehehehe

See you next day!

Denandan dan Sebatang CokelatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang