"Protokoler, Adena Ruby Zorana."
Suara Adena lantang menyuarakan namanya sendiri. Upacara Senin pagi selalu jadi hal membosankan bagi peserta dan mendebarkan bagi petugas. Sejak naik ke kelas 5 menjadi petugas upacara adalah dambaan setiap siswa, terutama saat nama mereka disebut di awal upacara sebagai bentuk penghargaan.
"Pemimpin upacara, Denandan Lakshan Adyatama."
Anak lelaki yang baru saja di sebut namanya itu menahan senyum. Meski karena dipaksa wali kelas mereka, nyatanya ia tetap bangga dapat menjadi sorotan pagi ini. Keringat dingin membasahi pelipis, detik demi detik saat Adena membacakan nama lengkap seluruh petugas upacara membuat rasa nervousnya kian membesar.
"Pemimpin upacara memasuki lapangan upacara."
Mendengar itu, Denandan langsung maju satu langkah kemudian menghadap serong ke kanan. Langkah maju dengan luwes ia lakukan hingga berhenti di tengah lapangan upacara. Kepala anak itu mendongak, mulutnya mulai terbuka, bersiap mengambil alih.
"Pimpinan dan pasukan saya ambil alih seluruhnya. Siaaap, grak!"
Adena tersenyum sembari mendekatkan bibir ke pelantang dan melanjutkan membaca runtunan upacara berikutnya. Suara Denandan yang nyaring berubah menjadi berat setelah dilatih ayahnya untuk menggunakan suara perut seharian. Tentu Adena adalah dalangnya. Untung saja ia tidak mendapat label 'pengadu' dari Denandan yang biasanya protes kalau ayahnya ikut campur.
Denandan jelas melihat senyum keeil dari bibir Adena. Susah payah ia menahan tubuhnya agar tidak bergoyang. Reaksi datar dan senyum asam yang menghiasi wajahnya tidak terasa sukar sebab sudah menjadi kebiasaan. Hanya saja, entah kenapa, lengkungan senyum Adena membuatnya ingin melakukan hal yang sama.
Apakah seperti ini sinyal persaudaraan?
•••
Abah Sabirin. Begitu orang-orang memanggilnya. Tetua kampung yang paling disegani sekaligus guru mengaji tanpa upah sejak bertahun-tahun. Tidak hanya mengajari baca tulis, beliau juga mengajari tentang kehidupan melalui ceramah setiap malam Jumat.
Adena selalu duduk di depan mendengarkan, Cerita Abah selalu berkesan dan mudah ia tangkap. Lain halnya dengan Denandan dan Banu yang malah asyik bermain karet di bagian belakang dekat pintu Masjid.
"Kamu tadi tugas ya? Teladan banget," ujar Banu, dengan seperempat niat memuji sisanya mengejek.
"Dipilih itu, soalnya tinggi," jawab Denandan sambil mendengkus. Anak yang kulit terangnya mulai menggelap itu memang cukup tinggi untuk ukuran andk sebaya.
"Tapi niat amat kamu. Padahal bisa gerak-gerak aja tadi di tengah lapangan," hasut Banu selaku duta 'anak kesayangan' guru.
"Mana bisa, Babi. Nanti kalau dilaporin ke Ayah, aku yang habis," gerutu Denandan.
Banu menyunggingkan sebelah alisnya seraya tersenyum miring. "Dilaporin Adena?"
Denandan menatap lurus terlebih dahulu, memastikan Adena tidak melihat baru setelah itu mengangguk. Banu sukses tertawa, dan langsung mendapat pukulan paha dari Mas Rayyan—santri senior Abah—yang sedari tadi sudah memberi peringatan lewat tatap mata.
Berbalik ke depan, Adena masih mendengarkan Abah yang tengah menjelaskan terkait hukum menyebut dengan nama binatang. Topik ini sangat sesuai dengan ia yang kerap keras kepala ingin ikut Pa'e ke tongkrongan, dan berakhir kaget selepas mendengar apa saja jenis hewan yang mereka sebut sambil mengeluarkan asap rokok.
"Nduk, Le, kalian ini kan manusia, ciptaan Allah yang paling sempurna. Nah, hewan itu tidak sempurna, mereka tidak memiliki akal. Jadi, tidak boleh nggih, menyebut temannya dengan nama binatang. Nanti ndak pas di akhirat jadi kenyataan. Siapa yang mau nanti di akhirat kepalanya jadi seperti yang sering disebut?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Denandan dan Sebatang Cokelat
Fiksi RemajaRumah bagi Denandan tidak lengkap tanpa seorang ibu, karena itu ia lebih suka main di rumah Adena. Sementara bagi Adena, rumah di mana lelaki memenangkan segalanya adalah sebuah penjara. Maka dari itu, ia lebih suka main dengan Denandan karena anak...