Selama delapan tahun ia hidup, Denandan tidak pernah punya teman dekat lain selain Adena. Di kota dulu jangankan teman, menyapa tetangga saja ia tidak pernah. Dunianya terlalu sempit untuk ukuran seorang anak yang harusnya masih mudah akrab dengan sesama.
Di mata Denandan, teman sekelas hanyalah kenalan. Itu pun banyak dari mereka yang tidak ia ingat namanya. Sekarang dia bahkan sudah tidak ingat satu pun orang dari Taman Kanak-Kanaknya di kota. Bersama dengan Adena sudah lebih dari cukup sejak ia pindah kemudian melanjutkan TK dan sekolah wajibnya di sini.
Namun, kali ini anak itu punya teman lain. Banu yang mengaku putra dari Pak RW hadir sebagai alasan kenapa Denandan mulai jarang mengikuti ke mana pun Adena pergi. Anak itu selalu berdiri di ambang pintu kelas dan menjemputnya untuk beristirahat bersama. Alhasil sudah dua pekan ia tidak menghabiskan waktu istirahat bersama Adena.
Adena sendiri tidak merasa kesal. Gadis itu malah berbahagia, momen yang ditunggu setelah sekian lama kini datang juga. Dua pekan belakangan Adena asyik membaur dengan teman-teman perempuannya, berbincang di waktu istirahat dengan teman yang tadinya hanya ia sapa di koridor. Banu bagaikan angin segar bagi Adena yang selalu khawatir Denandan akan terus mengikutinya sampai besar.
Keduanya masih berangkat sekolah bersama, duduk di meja yang sama, dan bercerita di tengah jam kosong dengan penuh rasa bahagia. Tidak ada cemburu atau hal negatif yang keduanya pikirkan, seolah sedari awal memang saling menanti terciptanya jarak.
"Nanti pulangnya bareng?" tanya Adena sembari menggosokkan penghapus ke kursi, membentuk kotoran-kotoran penghapus yang berbentuk layaknya gulungan sosis.
Denandan menggeleng, bibirnya tertarik membentuk sebuah cengiran. "Aku bareng Banu, mau tanding layangan di kampung sebelah."
Adena tersenyum ceria. "Oow oke. Bagus, deh. Aku mau ada bimbingan sama Bu Nida soalnya."
Kening Denandan mengerut. "Bimbingan apa?" tanyanya terdengar ingin tahu.
"Bimbingan lomba membaca cepat. Oh sama pesta siaga bulan depan. Aku boleh ikut jadi cadangan!" jawab Adena dengan tatapan penuh semangat.
Mata Denandan memicing, alisnya mengerut bersamaan dengan tarikan di salah satu sudut bibir. Anak itu meniru gaya Banu saat sedang meremehkan orang lain.
"Apa bagusnya jadi cadangan?"
Pertanyaan itu sepele tapi berdampak besar pada lengannya yang kini nyeri karena tabokan Adena. Anak perempuan itu menyipitkan matanya, tampak sangat kesal dengan Denandan.
"Pesta siaga itu seringnya kelas empat. Keren dong kalau anak kelas tiga udah ikutan!" cetus Adena dengan bibir manyun.
Denandan mendengkus sebal. Tapi akhirnya hanya pasrah sambil menghela napas.
"Iya nggak tau, kok! Ya udah maaf," ujarnya dengan nada terpaksa. Denandan tidak tahu kenapa, tetapi semakin besar Adena semakin mudah marah, sering menabok, dan tidak sekalem saat mereka kecil. Banu bilang lelaki makin besar harus makin nakal. Lantas, apakah perempuan semakin besar akan semakin galak?
Anak lelaki itu berakhir hanya menatap Adena yang tengah membentuk gulungan penghapus menjadi lingkaran. Ia diam tetapi ucapan orang-orang sekitar tentang hubungan lelaki dan perempuan membuatnya memikirkan banyak pertanyaan yang tidak bisa ia jawab.
Apa yang akan terjadi di masa depan?
•••
K
elas empat dimulai, Banu semakin lekat dengan Denandan bahkan sampai berangkat sekolah bersama dengan sepeda. Adena tidak keberatan. Ralat, mencoba tidak keberatan lebih tepatnya. Lagi pula ia masih bisa berangkat sekolah sendiri atau bersama Priya meski gadis itu harus berbelok menuju jalan raya untuk mencari angkutan umum.
Jika Denandan punya Banu, di rumah Adena juga punya Priya. Sayangnya, gadis yang sudah seperti kakak bagi Adena itu bersekolah di kota dan hanya punya waktu senggang di sore hari atau akhir pekan. Adena sering mengunjunginya tiap sore, menanyakan banyak hal sembari membuka buku catatan gadis itu yang rapi dan bewarna-warni.
Adena selalu bertanya. Anak yang selalu ingin tahu itu pernah satu kali bertanya pada Priya tentang bagaimana gadis itu menanggapi hubungan pertemanan lelaki dan perempuan.
Ia ingat waktu itu 'kakak'nya bertanya malah bertanya balik, "Kayak kamu sama Denandan?" dengan tatapan mengejek.
Saat itu Adena langsung mengangguk dengan tatapan polos. Tentu saja Priya terkekeh geli sambil mencubit pipi 'adik'nya.
Gadis yang baru saja mendapat rok biru tua itu tersenyum, ia berkata, "Kalau murni temenan ya tidak masalah. Susahnya itu nanti kalau sudah besar. Pasti salah satu ada yang naksir dengan yang satunya."
Mata bulat Adena melebar. Bibir tipisnya terbuka, anak perempuan itu tentu kaget mendengar ucapan Priya.
"Nggak mungkin!" bantahnya sambil menggeleng kuat-kuat. Di usia ini ia sudah melihat banyak contoh orang pacaran di lingkungan mereka, dan Adena pernah bersumpah untuk tidak melakukannya. Di matanya yang jarang melihat Pa'e dan Ma'e berdekatan, berpacaran terutama tanpa menikah baginya adalah salah.
"Mungkin! Aku punya banyak kenalan!" tekan Priya, anak usia remaja awal itu tidak ingin kalah dalam penyampaian informasi
Adena terdiam. Kedua tangannya refleks memeluk diri sendiri. Rasa jijik membayangi otak anak usia 10 tahun tersebut. Terus seperti itu hingga Priya bercerita, satu hal yang menjawab pertanyaan sekaligus memberinya pengetahuan baru.
"Adena ngerasa nggak kalau sekarang Denandan selalu mbahas hal yang sangat berbeda denganmu? Nggak satu tema lagi."
Sebuah jawaban mengudara dari anggukan leher Adena. Belakangan mereka memang tidak lagi membahas seputar acara TV atau tempat jajan es yang enak dan murah. Semuanya tergusur menjadi layangan atau sepak bola, dan lomba-lomba serta tips mengikat rambut yang baik dan benar agar dapat pergi ke sekolah tepat waktu dalam kondisi cantik.
"Nanti itu bakal berkembang pas kalian makin besar. Dunianya akan sangat berbeda dan mulai deh nanti muncul rasa canggung dan malu buat berdekatan. Nanti pas udah makin besar, pasti kalau kalian jalan, gandengan, langsung di 'cie-cie' oleh orang lain."
Priya berhenti bicara, ia meringis ke arah Adena. Tangannya menggaruk tengkuk, entah karena malu atau mengusir rasa bingung untuk berbuat sesuatu.
"Saranku ya, jangan suka sama dia. Cowok biasanya makin dewasa makin nakal. Kayak itu anaknya Pak RW, si Banu, aduh omongannya! Kaki empat disebut dengan enteng, ati-ati kalau Denandan temanan sama dia. Nanti ketularan."
Hidup Denandan adalah milik Denandan. Adena tahu itu, tapi entah kenapa setelah mendengar kata-kata Priya kegusaran tetap hadir.
Apa Deden baik-baik saja bersama Banu?
•••
Author's Note :
Haloo!
Nasylaawa di sini! Masih dalam flashback masa SD dengan satu ingatan terbaik tentang ikut pesta siaga ;))
Ngomong-ngomong, Banu terinspirasi dari anak tetangga yang astaga toxic sekali #ghibahdetected
Ahaha, sebelum kelewatan sebaiknya ... see you next day!
KAMU SEDANG MEMBACA
Denandan dan Sebatang Cokelat
Fiksi RemajaRumah bagi Denandan tidak lengkap tanpa seorang ibu, karena itu ia lebih suka main di rumah Adena. Sementara bagi Adena, rumah di mana lelaki memenangkan segalanya adalah sebuah penjara. Maka dari itu, ia lebih suka main dengan Denandan karena anak...