21. La Tabki Ya Saghiri

16 2 5
                                    

Malam minggu ini menjadi sebuah tanda tanya besar bagi Denandan. Bagaimana tidak? Ayahnya yang cuek dan selalu berkutat dengan laptop dan buku-buku tebal mendadak menyuruhnya duduk manis di meja makan sambil memperhatikan ia memasak makan malam.

Demi apa pun, Denandan bahkan baru tahu kalau ayahnya suka diperhatikan saat bekerja. Mengingat bagaimana pria itu dengan garang selalu mengusirnya dari kamar saat tengah bekerja. Tipe individualis, persis macam Adena.

Nama gadis itu langsung mendekam dalam pikirannya untuk beberapa detik. Denandan menyimpan curiga yang amat besar pada gadis yang belakangan rajin mengikuti perlombaan dan selalu marah saat Denandan hendak meminta bantuan.

Katanya, "Nanti pacarmu sedih. Aku gak mau."

Padahal Lavender bukan tipe gadis yang mudah cemburu. Denandan ingat dengan jelas gadis manis itu menceritakan pengalamannya berjumpa dengan Adena dan bagaimana perbedaan mereka sehingga gadis itu layak menjadi bagian dari pengurus OSIS sambil tersenyum. Denandan jadi bertanya-tanya, apakah menjadi individualis artinya selalu merasa bersaing dengan orang lain?

"La tabki ya saghiri la undzur nahwas sama'."

Lamunan anak lelaki itu buyar. Denandan dengan penuh keterkejutan memandang Pak Vino yang tengah menata nasi goreng ke piring saja. Ayah nyanyi? Bahasa Arab?

"Min qolbikal hariri la la taqthoir roja'."

Senyum menghiasi wajah pria itu dan Denandan hanya dapat terdiam di kursi. Pemandangan macam apa ini?

"Innal amal juhdun 'amal wa juhdu la yadhi'."

Dua piring nasi goreng mendarat sempurna di meja makan. Persis di hadapan Denandan yang tertegun. Senyum ayahnya yang bersanding dengan lagu berbahasa arab entah kenapa menghantarkan sebuah perasaan aneh yang tidak pernah ia rasa sebelumnya. Hangat, tapi terasa menusuk.

"Al amal juhdun 'amal."

Lagu ditutup dengan senyuman sang ayah. Denandan merinding, ia memundurkan punggungnya sampai menyentuh kursi. Ayahnya tidak tampak seperti seseorang yang ia kenal.

"Yah. Kemasukan Ibu atau gimana?" tanyanya terdengar kebingungan.

Seharusnya Pak Vino marah karena ucapan Denandan cukup kurang ajar. Namun, pria itu berakhir tertawa geli setelah mengingat sebuah kalimat.

"Denan bilang Om itu dingin, dan mendiang Tante itu hangat. Terus dia bercanda, kalau nanti Om terlihat hangat pasti dia ngira Om kerasukan."

Denandan jelas makin tak mengerti. Anak lelaki itu sudah siap melarikan diri seandainya sang ayah tidak menahannya dengan berkata, "Ibumu itu orang baik, gak mungkin jadi setan."

"Kalau Ayah mungkin?" tanyanya kalem sembari duduk santai kembali.

Pak Vino menggeleng-gelengkan kepala. "Kamu benci Ayah atau gimana? Sensi banget. Kayak cewek waktu haid."

Helaan napas terdengar dari Denandan. Anak lelaki itu tanpa ragu memasang wajah muak. Hari ini kondisi hatinya memang sedang tidak baik karena beberapa hal.

"Makan dulu tuh. Nanti Ayah mau cerita. Boleh?"

Denandan mengernyit. Jelas sekali ia tidak familiar dengan 'cerita' yang ayahnya maksud. Hubungannya dengan sang Ayah yang Denandan tahu hanya tentang uang jajan dan nilai rapot. Ia bahkan hanya melihat pria itu tampak bijaksana hanya saat Adena menanyakan sesuatu. Sisanya tidak ada yang menarik. Entah karena ia tidak pernah menanyakan sesuatu atau karena ayahnya tidak pernah bercerita.

Satu hal yang ia tahu adalah ayahnya sama seperti Adena—tidak pernah kalah berdebat. Jadilah anak lelaki itu diam di kursi, menikmati nasi goreng yang sangat enak meski enggan ia akui. Pikirannya tidak ditempat, ia sibuk berkelana di deretan pertanyaan. Menebak kenapa ayahnya berubah 180 derajat dalam satu hari.

Selepas makanannya tandas Denandan baru menyadari kalau ayahnya telah selesai menandaskan makanan dan tengah menatapnya. Denandan kembali merapatkan punggungnya ke kursi, tatapannya ngeri memandang sang ayah.

"Yah, kenapa sih? Serem tau! Tadi nyanyi bahasa arab, terus masak nasi goreng yang enak? Terus sekarang ngelihatin aku kayak orang lagi jatuh cinta. Nakutin!" cerocos Denandan—pipinya memerah entah karena malu atau marah.

"Denan itu polos Om, walau nakal. Coba diperhatikan dikit, pipinya pasti merah."

Pak Vino tak bisa menahan tawanya ketika kalimat itu kembali terngiang. "Lucu ya, kamu. Ayah jadi menyesal gak lihat kamu besar dengan benar."

Melihat ayahnya yang memuji sambil tertawa, Denandan jelas merasa kesal. "Yah, serius!"

"Oke, oke, maaf," ungkap Pak Vino sambil menghentikan tawanya.

"Ayah kenapa?" tanya Denandan dengan penuh penekanan dalam kalimatnya. Susah payah ia menahan kekesalannya demi sebuah jawaban.

"Maaf, ya. Ayah tidak jadi teman bicara kamu dengan baik. Ayah sibuk kerja dan cuma ngasih kamu uang. Ayah enggak akan nyalahin kamu soal ngerokok, toh kamu sudah berhenti. Pacaran juga ... asal kamu serius dan gak berlebihan Ayah gak apa-apa. Kamu bol—"

"Adena, ya?" potong Denandan cepat. Wajahnya merah padam, kali ini benar-benar karena malu. Remaja laki-laki itu jelas tidak menyangka  kenakalan remajanya akan dikuliti dalam rentetan kalimat yang kurang dari satu menit.

Sebuah anggukan menjawab pertanyaan Denandan. Kontan saja anak lelaki itu menghela napas frustasi. Kepalanya tertunduk dengan telinga yang telah sangat siap mendengar ceramah.

"Gak usah marah ke Adena. Ayah juga gak akan marah ke kamu. Lagipula itu kan di  masa lalu. Ayah marah juga gak akan ada gunanya kan?"

Kepala Denandan refleks mendongak. Mata anak itu berbinar, jelas sekali tidak percaya dengan apa yang ia dengar.

"Serius?"

Anggukan kembali menjadi jawaban. Anak itu ternganga sementara sang ayah kembali tertawa kecil.

"Kamu tahu apa arti dari lagu yang ayah nyanyikan tadi?"

Gelengan dari Denandan langsung membuat pria itu tersenyum, mengingat sebuah informasi.

"Denan sukanya Pop Indonesia, gak suka arab dia, apalagi shalawatan, Om. Ngaji aja bolos."

"Intinya Ayah sayang kamu dan itu pesan Ayah agar kamu tidak menyerah dalam berusaha. Sebab semua usaha itu nanti ada hasilnya. Semangat, ya. Kejar apa yang kamu mau. Kamu bisa tanya apa pun ke Ayah. Ayah keluarga kamu, Ayah rumah kamu. Ayah boleh, 'kan tanya kamu apa pun?"

Denandan terdiam. Anak itu berakhir mengangguk dengan mata yang memanas. Entah kapan dan bagaimana detik berlalu, ia mendadak kembali ke umur 5 tahunnya. Saat terakhir kali ia melihat ibunya dengan pakaian serba putih. Kala ia pikir dunianya terenggut dan Ayah memeluknya. Malam ini, adegan tersebut terreka ulang.

"Om, anak itu cerminan orang tuanya. Aku keras kepala kan karena Pa'e keras kepala. Denan gak suka cerita mungkin karena Om demikian. Anak yang terjebak kenakalan remaja juga kan dominan karena kurang perhatian. Jadi, kalau dengan Om tahu semua tentang Denan, aku harap Om juga mau memperbaiki apa yang kemarin terlewat. Percaya sama Dena, Denandan sayang Om."

•••


Author's Note :

Halo! Nasylaawa di sini!

Fun Fact : Bab ini ditulis sambil shalawatan dengan suara sound system yang menggetarkan telinga dan hati ahahaha😂

Semoga berkah ya bab terakhir ini. Aamiin.

Besok epilog. See you next day!

Denandan dan Sebatang CokelatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang