Katanya, cinta bisa merubah manusia. Denandan jujur saja tidak percaya akan hal tersebut sebab tidak ada yang berubah dari dirinya selama dua pekan terakhir. Ia masih senang bermain basket dan mulai belajar gitar tanpa ada gejala gundahnya perasaan seperti yang sering ditampilkan cowok-cowok di film yang pernah ia tonton.
Ting ting!
Sebuah notifikasi kostum terdengar. Anak lelaki itu sengaja menggunakan bunyi berbeda sebagai pertanda bahwa 'Nona Pacar' mengirim kabar. Denandan tersenyum miring, ia membuka pesan itu dengan cepat. Sebuah pertanyaan apakah ia bisa mengantar pulang tertera di sana.
Araf di sampingnya bergidik ngeri. "Bucin teruuus. Itu bibirnya jangan ngembang mulu, nanti kering."
Denandan tak menjawab. Ia hanya melirik Araf sekilas sambil mempertahankan senyum miring di bibir. Anak itu mengetik balasan untuk menyanggupi. Dua pekan belakangan, Denandan hanya tahu bahwa mengantar Lavender pulang cukup menyenangkan.
Jika di dunia ini ada orang yang ingin memberi gelar 'anak baik' pada Denandan, ia pasti akan menolak. Lucu sekali membayangkan seorang anak yang selalu bergantian melakukan kenakalan remaja di tiga jenjang sekolah wajib. SD pulang malam tanpa izin, SMP merokok, dan SMA pacaran. Komplit.
Lagipula menurut Denandan pacaran tidak selalu merugikan. Buktinya banyak sekali karya yang menampilkan pacaran sebagai sesuatu yang dapat dinormalisasi. Jadi, tidak masalah menurutnya kalau ia mencoba.
Lavender juga merupakan gadis yang baik. Ia selalu penurut, tersenyum tiap waktu, dan sangat feminim. Denandan menyukai bagaimana anak itu menjabarkan kegunaan skincare satu persatu dan apa saja yang disukai anak perempuan. Ia juga pendengar yang baik saat Denandan bercerita tentang keinginannya mulai belajar musik.
Pada awalnya, Denandan pikir Lavender anak yang tidak tahu malu. Terutama saat anak itu mengajaknya berpacaran- yang biasanya menjadi tugas para lelaki. Namun, cara Lavender berbicara sangat menandakan kalau dia anak yang beretika, tidak serampangan macam dirinya.
"Nandan mau permen?"
Oh, ya! Satu lagi! Lavender sangat suka permen dan warna ungu. Gadis itu selalu mengenakan bandana berwarna ungu sekalipun dengan motif berbeda dan gemar sekali memenuhi saku dengan permen aneka rasa.
Denandan mengangguk. Ia mengulurkan tangannya dan Lavender langsung tersenyum manis seraya memberikan tiga buah permen.
"Jangan ngerokok, ya. Makan permen aja," tuturnya sembari menatap awan yang masih menumpahkan tetesan air.
Baru saja turun hujan deras yang mengakibatkan keduanya terpaksa berhenti di halte bus. Untungnya tidak terlalu banyak orang yang tengah menunggu sehingga muda-mudi itu bisa bercengkrama dengan lebih leluasa.
Sembari mengunyah permen Denandan menjawab, "Enggak ah, udah kapok. Kalau ketahuan Ayah jadi panjang nanti."
Lavender tersenyum tipis. "Ayahmu belum tahu ya berarti?"
Denandan menggeleng sembari tertawa kecil. "Rahasia besar ini. Diam, ya!"
Anggukan kepala dilakukan Lavender dengan penuh semangat. Anak itu entah kenapa paling semangat bila diminta menjaga janji. Denandan selalu memikirkan pertanyaan yang sama sambil menatap wajah Lavender yang berbahagia. Apa ini efek dari tidak diterima OSIS? Macam Rais yang selalu berusaha jadi ketua kelas yang baik.
"Lav."
"Ya?"
Denandan tersenyum. Jujur saja, ia masih tidak tahu bagaimana membedakan rasa tertarik pada lawan jenis dan rasa senang berteman. Namun, entah kenapa ia ingin sekali mengatakan hal yang telah lama mampir di kepala.
"Nona Pacar, tahu nggak kalau aku suka senyummu? Senyum terus, ya. Cantik." Denandan tersenyum lebar, anak itu mengabadikan momen Lavender—yang terdiam dengan pipi merona—dalam kepala.
Dua pekan ini, Denandan tidak pernah bilang cinta, sedetik pun tidak terbayang rasanya. Ia hanya tahu fakta bahwa Lavender cantik dan asik sehingga ia menyukai keberadaannya.
•••
We fell in love in October
That's why, I love fall
Looking at the stars
Admiring from afarPenggalan lirik lagu tersebut terus terputar di kepala Adena bersamaan dengan foto yang diunggah mantan rekan organisasinya. Foto gadis itu bersama Denandan bercampur aduk dengan suara Rain yang sama sekali tidak memudar.
"Kalau cowok yang punya sahabat cewek pacaran, biasanya sahabat cewek ini bakal jadi orang ketiga. Jahat pokoknya, di novel-novel gitu. Kamu jangan loh, De!"
Gadis itu merebahkan diri di ranjang seraya menghela napas. Sedetik pun ia tidak pernah terpikir untuk mengganggu hubungan Denandan dengan pacarnya. Adena bahkan tidak pernah mengirim pesan terlebih dahulu dua pekan ini.
"Jangan pacaran sama Nandan ya, sampai besar, jangan."
Sedari kecil kata-kata tersebut selalu ia ingat. Ucapan Pak Vino adalah amanat terkuat yang tidak pernah ingin ia langgar sampai kapan pun. Denandan selalu ia anggap seperti saudara yang ingin ia jaga.
Adena hanya tidak tahu kenapa ia ingin marah tanpa alasan padahal pacaran belum tentu akan merugikan Denandan seperti bahaya rokok. Gadis itu menolehkan kepala. Tatapannya tertuju pada kalender yang tergantung di dinding.
Helaan napas terdengar. Ia tidak pernah suka meminta apa pun selain pada Pa'e. Namun, entah kenapa ia merasa kecewa saat menyadari waktu haidnya telah habis dan tidak ada tanda-tanda pemberian cokelat yang rutin Denandan lakukan.
Mata gadis itu terpejam, batinnya mendadak berkecamuk. Sadar Adena, itu pacar orang!
•••
Author's Note :
Halo, ini Nasylaawa!
Cieee punya pacar, kiw kiw! Aduh pengen buat novel mereka, aduh. Tapi nanti gak mutu isinya wahaha! Apa buat AU aja yah aduh wkwk.
Lihat besok lah yaa ngwahaha.
Minta maaf pada Adena //ketawa jahat
See you next day!
KAMU SEDANG MEMBACA
Denandan dan Sebatang Cokelat
Ficção AdolescenteRumah bagi Denandan tidak lengkap tanpa seorang ibu, karena itu ia lebih suka main di rumah Adena. Sementara bagi Adena, rumah di mana lelaki memenangkan segalanya adalah sebuah penjara. Maka dari itu, ia lebih suka main dengan Denandan karena anak...