Angin segar menerpa wajah bahagia Adena sore itu. Hari ini tepat tiga bulan ia menjabat sebagai pengurus OSIS. Tidak sesibuk yang ia pikirkan, kelas 7 masih saatnya bersantai di bawah bimbingan kelas 8. Ia bahkan bisa bergabung di klub mading di waktu senggang.
Seperti sore ini, adzan Ashar berkumandang kala Pak Seto mengunci pintu ruang keterampilan. Adena bergegas meninggalkan sekolah sambil melihat sekeliling. Ia selalu suka suasana sekolah yang sepi di sore hari. Cahaya matahari yang hangat bersanding serasi dengan angin sejuk selalu jadi bagian favoritnya dari menjadi 'anak sibuk'.
"Ade, awas! Geser kanan!"
Adena bergerak sesuai dengan komando. Tepat saat sebuah bola basket memantul kencang ke tempatnya tadi berdiri. Gadis itu menghela napas lega. Untung tidak kena!
"Ade, gak apa-apa?"
Tolehan kepala gadis itu langsung ditangkap oleh mata Denandan yang menatapnya dalam. Kali ini, Adena bisa melihat kekhawatiran. Masih sama seperti saat ia terluka sebelumnya.
Adena tersenyum dan mengangguk. Bersamaan dengan munculnya anak lelaki berambut cepak kanan-kiri dan tebal di tengah-tengah. Mullet. Adena sudah tahu karakteristik teman baru Denandan bahkan hanya dengan sekali lihat.
"Temen lo, Dan?" tanyanya sambil menatap Adena dari atas ke bawah.
"Yoi. Cantik, kan?" sahut Denandan seraya tertawa kecil di akhir kalimat. Adena terkejut, baru kali ini ia merasa tidak nyaman dipanggil cantik oleh Denandan.
Sayangnya, Adena tidak suka membicarakan hal yang memicu debat. Ia berakhir hanya tersenyum dan berkata, "Pulang, yuk!"
Denandan menggeleng. "Aku pulang sama Zoni. Mau belajar kelompok. Bisa pulang sendiri, kan?"
Detik itu, Adena mengangguk setuju. Meski ada satu bagian dari dirinya yang tidak rela. Bagian yang masih teringat akan kenakalan Denandan bersama Banu. Ketakutan akan lingkungan remaja lelaki yang Adena harap tidak akan Denandan masuki.
•••
Aroma rokok dari kamar mandi putra menjadi isu terkini di dalam sekolah sejak tahun ajaran baru. Seluruh pengurus OSIS perempuan diam-diam dikumpulkan di perpustakaan.
"Mulai hari ini, kalian semua adalah mata, tangan, dan kaki saya. Jaga kepercayaan saya, cukup mata-matai identitas pelaku dan laporkan. Jangan bergerak sendirian. Paham?"
Tujuh Srikandi pilihan Mahatma mengangguk dan menyerukan kesanggupan dengan kuat. Hari itu Adena melihat kakak tingkatnya yang sedang mengambil ijazah tersenyum puas di samping Bu Rumaisha. Seperti seseorang yang telah meninggalkan warisan berharga.
Momen tersebut melekat kuat di pikiran Adena sepekan belakangan. Termasuk saat ia berjalan santai di koridor pagi ini. Persiapan lomba pidato dua hari mendatang memberinya kelonggaran untuk tidak mengikuti pembelajaran. Gadis berkerudung itu berjalan menuju perpustakaan dengan riang, sampai kakinya terhenti oleh aroma yang telah ia ingat seumur hidup.
Kepalanya tertoleh, netra tajamnya menangkap kamar mandi putra dengan satu pintu tertutup. Mata Adena memicing, bagai elang yang tengah mengintai anak ayam. Gadis itu mendekat, memutuskan diam dan menanti sampai ada yang ke luar dari kamar mandi.
"Gak takut ketahuan sobatmu, De?"
"Ah, gak! Lagi sibuk lomba dia."
Mata Adena terbuka lebar. la perlahan mendekat, suara yang baru saja terdengar terasa familiar.
"Kalau ketahuan dicepuin bokapnya tuh."
"Alah, aku udah sering nyebat sama pa'enya. Aman."
Jantung Adena bergerak cepat. Tangan kanannya langsung tertutup bergerak membekap mulut yang hendak berteriak.
Denial terus menusuk batinnya. Sekuat apa pun Adena meyakini bahwa itu bukan suara orang yang ia kenal, tetap saja Adena tak mampu berbohong bahwa tawa yang mengudara di dalam sana adalah tawa yang telah ia hafal di luar kepala.
"Den... Jangan Den..." linh Adena seraya tangannya memegang gagang pintu bersiap mengetuk.
Dimulai dengan helaan napas, tangannya kemudian mengetuk pintu tanpa jeda. Pikirannya melupa tentang amanat Bu Rumaisha. Adena sudah tidak peduli bahkan jika nanti yang ada di dalam sana adalah seorang raksasa.
"Buka! Buka atau saya dobrak?!" teriaknya dengan mata berkaca-kaca, berusaha menahan bom waktu yang akan meledak.
Suara kunci pintu yang terbuka membuat Adena mundur satu langkah. Degup jantungnya kembali cepat menanti siapa yang ad di balik pintu.
Jangan Denandan, jangan Denandan.
Harapan Adena sayangnya menyatu dengan karbondioksida. Denandan yang membuka pintu terlihat seperti belati yang hendak menancap di dadanya.
"Tolol kamu!" Suara makian itu bergetar, tanpa aba-aba tangannya menyambar kain seragam Denandan, menyeret anak lelaki itu ke ruang BK.
Zoni yang masih di dalam kamar mandi meneguk ludah. Adena dari kelas 8A lebih menyeramkan dari yang ia pikir. Anak itu bahkan hanya mampu membisu sambil mengekor selepas Adena berteriak, "Ikut aku atau ditangkap nanti?"
"De, kusut, De!" protes Denandan yang kini berjalan miring akibat seretan Adena.
Sang penyeret hanya dapat diam, menyembunyikan air yang mengalir di pipi dengan derap langkah cepat. Adena tidak mau terlihat lemah, tapi perubahan Denandan entah kenapa membuatnya merasa payah.
"Kenapa ngerokok? Biar keren? Gaya-gayaan? Buang-buang uang? Kamu mau mati apa gimana?" cerocos Adena. Suaranya kini pecah tak mampu tertahan.
"De gak gitu. Aku—"
"Apa? Kemarin Banu sekarang Zoni. Bisa gak sih, kamu temenan sama anak baik?" potong Adena.
Ia tahu Denandan punya alasan, tapi semua terlalu sakit baginya. Semakin besar, Denandan semakin berubah. Hal itu menakutinya tiap malam, menjadi serupa penguntit yang membuatnya takut akan bertemu.
Pintu ruang BK terbuka lebar saat Adena mengadu dengan matanya yang telah menjadi air terjun.
•••
Author's Note :
Haloo! Nasylaawa di sini!
Jujur kurang asik yah karena si Zoni ini datang datang langsung masalah :'
Tapi baiklah. Mari buat proses setannya yang lebih panjang di part berikutnya.
See you!
KAMU SEDANG MEMBACA
Denandan dan Sebatang Cokelat
Teen FictionRumah bagi Denandan tidak lengkap tanpa seorang ibu, karena itu ia lebih suka main di rumah Adena. Sementara bagi Adena, rumah di mana lelaki memenangkan segalanya adalah sebuah penjara. Maka dari itu, ia lebih suka main dengan Denandan karena anak...