11. Cokelat Maaf

10 2 1
                                    

Rain masih setia mendengarkan penjelasan tentang sapi yang memiliki empat bagian perut dengan seksama. Tangan kirinya digunakan untuk menopang dagu, sementara tangan kanannya bertugas menutup mulut apabila ia kembali menguap.

Matanya melirik ke samping kanan, tampak Adena yang  secara legal menelungkupkan kepalanya pada lipatan tangan. "Huh, dasar anak pintar! Bangun, Dena. Sapinya mau perhatianmu," gumamnya yang langsung membuat Dena tersenyum tipis.

Bu Umi selalu memberi kelonggaran bagi anak yang berhasil menjawab soal dari materi sebelum dipelajari. Kali ini Adena yang mendapat kesempatan tersebut. Tentu kesempatan ini tidak ia sia-siakan. Gadis itu memutuskan terlelap sambil mendengarkan suara Bu Umi yang perlahan mengabur.

Kondisi rumah sedang tidak menyenangkan. Rais—adiknya—yang sekarang masuk Taman Kanak-Kanak ribut sekali meminta jajan tiap hari. Belum lagi biaya uang bulanan TK yang ajaibnya lebih memakan biaya dibanding sekolahnya yang gratis. Kekesalan bertambah saat pa'enya malah meminta ia berhemat alih-alih menyuruh Rais berhenti jajan.

Sejak dahulu hawa itu dapat dengan kuat ia cium. Patriarki, satu kata yang diketahuinya baru-baru ini. Hawa yang dari dulu membuatnya tercekik dan selalu berusaha ingin merusak tembok tinggi yang pa'enya bangun.

Sebenarnya, Adena tidak pernah merasa dirinya lemah. Ia selalu unggul di kelas, dan selalu menang dalam hal apa pun dengan Denandan. Ah, anak itu yang sedang berjarak dengannya dua pekan belakangan. Awalnya Adena pikir Denandan hanya akan betah marahan selama satu hari, mengingat saat kecil anak itu selalu bergantung dengannya.

Sayang sekali, tebakan Adena meleset. Denandan tampak biasa saja dan malah berbahagia bersama Banu, membahas malam mencengkam itu sebagai sebuah prestasi awal dari kenakalan remaja mereka. Alhasil, malah dirinya yang tiga hari ini uring-uringan di sekolah, meski masih dengan tanggung jawab penuh mengerjakan tugas.

Kemarin ia sudah meminta saran kepada Priya. Gadis itu berkata, "Diamin aja. Minta maaf itu tugasnya cowok."

Adena mengernyit. "Tapi, minta maaf kan wajib kalau kita salah."

Bukannya menyetujui Priya malah tertawa dan berkata, "Kamu belum jadi cewek kalau belum suka ngambek."

Pernyataan yang sangat jauh dengan ceramah Abah dan berakhir sebagai tanda tanya besar di benak Adena. Kebingungan itu membuatnya terjaga, batal tidur.

Gadis itu mendekatkan diri kepada teman sebangkunya dan berbisik, "Cara minta maaf biar dimaafin gimana?"

Rain menjawab tanpa menoleh. "Kasih cokelat. Sepuluh ribu doang kalau yang ngasih tulus pasti dimaafin."

Adena mengangguk paham. Ia kembali berbisik, "Temani beli cokelat, ya, pulang sekolah."

Rain mengernyit. Tepat saat Bu Umi mengakhiri pembelajaran dan ke luar kelas. Pertanyaan di otaknya terhenti saat ia harus menjawab uluk salam Bu Umi.

"Buat Denan, mau maafan," ungkap Adena setelah menjawab salam. Ia tahu Rain ingin menanyakan hal tersebut.

Rain terkejut. Refleks kedua tangannya menyentuh bahu Adena, menggoyang-goyangkan pundak anak itu. "Kok kamu duluan yang minta maaf?"

"Loh kenapa? A-aduh Rain jangan goyang-goyang."

Rain mendengkus kemudian menghentikan aksinya. "Kalau aku marah, pacarku ngasih permen. Cowok dulu pokoknya. Masa kamu yang minta maaf?" cerocos gadis itu, nadanya terdengar bersungut-sungut.

"Kan aku bukan pacarnya!" sungut Adena tak mau kalah.

Keduanya tidak tahu, perdebatan kecil yang tidak bermutu tersebut akan terdengar oleh si bahan perdebatan.

•••

"Adena itu keren, mandiri, kamu akan jadi penghambat untuk dia kalau terus bergantung."

Kalimat itu seperti nasi bagi Denandan sejak kecil. Membuatnya ingin menjaga jarak sedari dulu. Akan tetapi, niatnya tertahan sebab kepang dua dan lesung pipi Adena sangat manis. Ada rasa tidak rela kalau nanti ia berjauh dan tidak bisa melihat senyum sahabatnya lagi.

Alhasil, selayaknya batu karang yang terus terhantam ombak, Denandan tetap berdiri meski ucapan orang-orang disekitar membuat ia tersakiti. Selama Adena masih bisa menjadi tempatnya bercerita dan tekan bermain yang menyenangkan, Denandan tidak masalah. Namun, kemarin saat sang ayah mendiamkannya beberapa hari dan terus bilang 'Adena anak baik' setitik sakit itu melebar. Merobohkan bendungan yang telah ia bangun dengan megah.

Denandan menghindar. Ia tidak ingin membenci Adena. Dalam batas pikirnya, benci adalah kata yang mewakili lemparan piring Ayah untuk Ibu saat ia berusia 5 tahun. Memori yang tidak bisa hilang dan sama sekali tidak ingin ia reka ulang. Satu-satunya yang mampu anak itu tiru hanya sikap diam ayahnya saat marah.

Naasnya, perbincangan yang ia dengar di pintu kelas terdengar seperti mantra yang langsung membangun benteng pertahanannya lagi. Alasan baru mengapa ia tidak boleh marah kepada Adena karena gadis itu sangat baik.

Berbekal rasa malu yang meski kini makin menyusut tetap ia bawa, sore itu Denandan menuju rumah Adena. Tepat sekali, gadis itu sedang menyapu halaman rumah dengan sapu lidi. Gadis itu terlalu fokus hingga tidak menyadari teman baiknya yang tengah berdiri kaku dan sedang kebingungan harus melakukan apa.

"De," panggilnya pelan.

Adena terkejut. Gadis berkepang dua itu berdiri tegak, binar keterkejutan tercetak jelas pada bola matanya.

Denandan terdiam. Melihat binar mata Adena setelah berhari-hari menghindar membuatnya tertegun. Detik ini, Adena jadi seperti boneka meski Denandan tahu gadis itu bahkan tak punya alis tebal.

Sunyi terputus oleh dehaman Denandan. Lelaki itu mengambil sebatang cokelat dan mengulurkannya pada Adena. Semburat merah muda tampak pada pipinya yang berwarna cerah.

"Gak usah beli. Kamu gak punya uang. Aku aja."

Perkataan Denandan yang singkat dan canggung tentu saja langsung membuat Adena tertawa terbahak-bahak. Orang yang membuatnya uring-uringan tiga hari ini ternyata masih orang yang sama dengan yang selalu membuatnya tertawa bahagia.

Dasar manusia sedikit kata!

•••


Author's Note :

Haloo ini Nasylaawa!

Sedang butuh kata maaf dari beberapa orang tapi gwenchana. Semoga feel manis di bab ini dapat, ya! :))

See you next day!

Denandan dan Sebatang CokelatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang