"Hah? Serius, Om? Denan ngompol di kelas?" tanya Adena antusias. Sudut bibirnya tertarik, berusaha sekuat tenaga untuk menahan tawa.
Pat Vino mengangguk dan tawa Adena langsung mengudara mengisi ruangan. Sementara Denandan di ranjangnya hanya bisa diam dan menahan malu. Termometer di dalam mulut membuat ia tak punya pilihan lain selain memerhatikan dan menatap ayahnya dengan tatapan tidak suka.
"Kemarin gara-gara Adena nggak masuk jadinya Nandan kewalahan. Gak bisa minta izin ke kamar mandi, gak bawa payung juga. Sakit deh. Untung hari ini Minggu jadi Om bisa libur," terang Pak Vino.
Adena mengangguk paham. Fakta bahwa Denandan selalu malu dan ceroboh sehingga mengandalkan dirinya sudah jadi pengetahuan umum bagi orang-orang di sekitar mereka.
"Makanya nggak cuma ngandalin Adena terus!" tutur Pak Vino pada putranya sambil mengambil termometer.
Denandan berdecak sebal. "Aku juga mandiri, kok!"
"Mandi sendiri!" sambar Adena dengan tatapan jenaka.
"Terus lupa bawa handuk," sahut Pak Vino.
Adena tergelak. Denandan mengerucutkan bibirnya, kesal sekali selalu jadi pihak yang kalah dan terpojok. Seorang guru dan murid teladan ternyata adalah sebuah kombinasi yang menyeramkan bagi dirinya yang hanya siswa di tengah-tengah saja.
Pak Vino pergi ke dapur untuk mengambil makanan. Menyisakan Denandan yang masih mengerucutkan bibir dan Adena yang berusaha menghentikan tawa. Denandan detik ini seperti bebeknya Pa'e!
Puas tertawa, akhirnya Adena bertanya, "Denan kemarin ada PR tidak?"
Tujuan utama Adena pergi ke rumah Denandan memanglah karena ingin menanyakan PR. Namun, sesampainya di sini dirinya malah menjumpai Denandan yang sakit akibat kemarin pulang sekolah kehujanan sambil memakai celana basah terkena air kencing.
Adena tentu tidak menyangka kebiasaannya meminta izin ke kamar mandi untuk Denandan dan membawa dua payung setiap hari akan memberi dampak buruk bagi sohibnya ketika ia tidak masuk sekolah. Di mata Adena, Denandan selalu jadi orang yang bisa melakukan apa saja karena uang sakunya banyak.
"Bukuku di tas, cari sendiri saja," jawab Denandan. Nada suaranya terdengar tidak berminat.
"Boleh dibuka?" tanya Adena sambil beranjak dari kursi.
Denandan mengangguk, membiarkan Adena yang rajin belajar melihat buku tulisnya dan mencari sendiri ada atau tidaknya pekerjaan rumah tersebut. Ingatan Denandan kemarin sudah buyar akibat pengalaman memalukan.
Pak Vino memasuki ruangan dengan semangkuk bubur dan obat. Pria ini menyuapi putranya sambil menengok ke arah Adena yang tengah membaca selembar kertas.
"Apa itu, De?" tanyanya sambil menyuapi Denandan.
"Kisi-kisi, Om. Besok UKK," jawab Adena, "gampang sih ini. Besok soalnya juga pasti dibacakan terus dikasih clue."
"Tapi Ade biawsawnyaw ngewjain dulu, Yah. Cuwang!" sanggah Denandan dengan mulut penuh.
Adena meringis. Benar yang dikatakan Denandan, ia selalu tidak sabar menunggu gurunya membacakan soal. Alhasil anak itu diam-diam selalu mendahului dalam mengerjakan soal dan selesai pertama kali.
Bu Aster tidak pernah protes, beliau malah senang karena muridnya sudah pandai membaca. Berbeda dengan Denandan yang sering menggerutu akibat kelakuan Adena yang mendahuluinya bisa membaca.
Kata Denandan, "Jahat banget Ade! Pasti kalau nanti dikejar orang gila atau anjing Ade jug ninggalin! Huuuuu! Nggak teman!"
Namun, Adena tetap cuek. Dia yakin kalau situasi tersebut betul terjadi Denandan pasti lari lebih dulu karena anak itu penakut..
Kembali ke saat ini, setelah Denandan selesai makan dan Adena selesai melihat buku catatan. Pak Vino ke luar kamar, meninggalkan Adena yang kini sedang menatap Denandan dengan iba. Gadis kecil itu mendekati ranjang Denandan dan duduk di tepiannya.
"Deden masih sakit?" tanyanya. Adena tadi melihat angka di termometer sudah kembali ke suhu normal.
"Denandan menggeleng. "Dikit doang."
Adena mengangguk faham. "Maaf ya. Gara-gara aku sakit Deden jadi susah. Besok aku ajarin buat minta izin ke kamar mandi, ya."
Denandan hanya mengangguk. Untuk alasan yang tidak ia ketahui, Adena detik ini tampak menyebalkan. Persis seperti mendiang Ibu yang marah karena ia minta dipakaikan seragam. Tentu Denandan tahu ia salah karena dirinya sudah bisa mengenakan seragam sendiri. Namun, entahlah, Denandan tetap tidak ingin mengaku salah.
"Terus kemarin, pipis-nya gimana? Deden yang bersihin?" tanya Adena dengan tatapannya yang polos dan ingin tahu.
Denandan menggeleng sama polosnya. "Bu Aster yang bersihin."
Adena langsung melotot. Refleks ia menabok lengan Denandan. Serentetan kalimat langsung keluar dari bibir mungilnya.
"Woi, sembarang! Besok bilang makasih, harus! Minta maaf! Bawa permen!"
Kesal, jelas. Namun, Denandan putuskan untuk diam, malas berdebat. Pada akhirnya, ia hanya mengangguk sambil meringis karena tabokan Adena yang kencang.
•••
Bagi Bu Aster Adena dan Denandan adalah anak kembar sekalipun wajah mereka tidak mirip. Guru-guru yang lain tadinya juga mengira kalau mereka kembar tak seiras sebab selalu ke sana ke mari bersama. Bahkan saat salah satunya sedang melakukan permohonan maaf, yang satu ikut menemani persis di belakangnya.
"Maaf ya, Ibu. Kemarin Denan bikin repot," ungkap Denandan penuh rasa bersalah. Tangannya terulur memberikan tiga buah permen susu.
Adena di belakangnya tersenyum. la bernapas lega karena Denandan dapat menirukan kata-kata yang ia ajarkan dengan benar. Sama sekali tidak tampak rasa panik yang muncul tadi pagi.
Bu Aster tersenyum. la mengelus rambut Denandan yang lurus dan mulai panjang seraya berkata, "Itu tugas Ibu. Enggak masalah. Besok jangan diulangi ya, izin kalau mau ke kamar mandi. Jangan ditahan nanti sakit."
Denandan mengangguk malu-malu. la menatap Adena dengan tatapan bingung. Habis ini ngapain?
Adena tersenyum. la menggandeng tangan Denandan dan berpamitan pada Bu Aster. "Kami ke kelas dulu ya, Bu. Terima kasih. "
Kedua anak itu berjalan ke luar ruang guru. Samar mereka mendengar para guru berbisik.
"Senyumnya mirip ya, Bu. Bentuknya segaris tapi manis."
"Iya, tuh. Gedean dikit nanti bisa pacaran."
Adena dan Denandan langsung menoleh, kemudian menatap satu sama lain sembari memikirkan hal yang sama.
Pacaran itu apa?
•••
Author's Note :Halo! Nasylaawa di sini, malam minggu sendiri. Habis panik karena mantan ngepost barang yang dulu saya kasih //lariiiiii
Anyway, apa definisi pacaran menurut readers?
Terus kapan sih pertama kali tau tentang pacaran?
Jujur kaget karena adekku yang kelas 2 SD bilang temennya banyak yang udah pacaran :')
Gitu saja, see you next day!
KAMU SEDANG MEMBACA
Denandan dan Sebatang Cokelat
Teen FictionRumah bagi Denandan tidak lengkap tanpa seorang ibu, karena itu ia lebih suka main di rumah Adena. Sementara bagi Adena, rumah di mana lelaki memenangkan segalanya adalah sebuah penjara. Maka dari itu, ia lebih suka main dengan Denandan karena anak...