"Ngapain ikut lomba? Gak boleh! Gak guna, kamu nanti cuma bisa di dapur pas besar."
Kata-kata itu terasa seperti belati di hati Adena yang baru berusia 10 tahun. Menancap kuat membawanya memiliki tekad untuk membuktikan bahwa pa'enya salah. Berbekal nekat ia terus meneror semua guru menawarkan diri mengikuti segala lomba tanpa sepengetahuan keluarganya.
Dalam hal ini, Pak Vino selalu jadi peran utama. Ayah Denandan bagaikan pintu dari ruangan gelap yang digunakan Pa'e untuk mengurung dirinya. Adena selalu memohon agar Om Vino mau menandatangani surat persetujuan orang tua atas nama pa'enya, sekaligus memberinya tips dan saran untuk berkembang. Jauh di dalam hatinya, gadis itu selalu berharap ayah Denandan adalah ayahnya.
"Orang sibuk gitu kok mau kamu jadikan ayah. Enakan pa'emu, di rumah terus. Ngasih uang terus," cerocos Denandan saat Adena bercerita.
Tentu, respons sahabatnya membuat Adena kesal. Langsung saja ia menyambar, "Kamu kan dibegitukan karena cowok! Aku mana pernah."
Berteman dengan Banu menyamarkan sisi pendiam sekaligus kepekaan Denandan. Anak itu berakhir hanya diam dalam kebingungan kenapa Adena ingin ayahnya dan ia ingin pa'enya Adena.
Untungnya, hal itu terhenti setelah suatu hari nama Adena menjadi sorotan saat upacara karena menjadi juara 2 lomba pidato tingkat kabupaten. Berbekal rasa percaya diri ia melangkah membelah barisan sambil memamerkan lesung pipinya. Mencoba tidak salah tingkah saat mendengar bisik-bisik para siswa di kanan-kiri.
Kakinya terhenti di tengah lapangan upacara, memegang piagam dan piala yang telah ia dapat di hari sebelumnya sambil tersenyum ke kamera. Seperti menjadi tuan putri dalam semalam, ia ingat ayahnya dua hari ini berhenti menerapkan prinsip perempuan harus di dapur. Hilangnya tuntutan harus jadi wanita yang penurut seperti Ma'e adalah hal yang sangat ia harap akan bertahan selamanya.
Sesi foto selesai, Adena kembali menyalami kepala sekolah sebelum kembali ke barisan dengan disambut oleh seruan teman-temannya.
"Ciee Dena."
"Ih cantiknnya."
"Dapat uang gak De? Traktir dong."
Adena terkekeh geli, kewalahan menghadapi seruan teman-temannya dan berakhir meminta agar mereka tenang terlebih dahulu karena upacara masih berlangsung. Apalagi dengan keberadaan Pak Wira di belakang barisan yang sedari tadi sudah melirik penuh peringatan.
"De, selamat ya," bisik Rain di sampingnya.
Adena tersenyum manis. Senyum yang langsung luntur saat Raina berkata, "Tapi lucu, ya. Adena dapat piala pas Denandan di barisan khusus."
Netra Adena memandang lurus. Denandan berdiri di samping Banu tanpa topi. Anak lelaki itu tersenyum padanya, memberi selamat lewat gerakan bibir.
•••
Banu bilang cowok harus berani jadi nakal. Dahulu, Denandan tidak menyukai prinsip anak itu. Nakal adalah satu kata yang haram hukumnya karena dapat memicu ketidaknyamanan bagi korban. Itu yang selalu ia pelajari selama menjadi teman baik Adena.
Hari ini, tentu Denandan ikut bahagia melihat sahabatnya memenangkan lomba. Pidato pula. Denandan tidak tahu seperti apa Adena saat di atas panggung sebab yang memorinya rekam hanya suara cempreng cewek itu setiap menggerutu atau menyuruhnya melakukan sesuatu. Pernah gadis the mengundangnya menonton gladi bersih. Namun, ia menolak sebab Banu lebih dulu mengajaknya main kelereng.
Dua tahun belakangan, Denandan menyadari bahwa banyak hal yang mengalami perubahan. Ia mulai tidak hafal jadwal kegiatan Adena. Padahal dulu mereka selalu mengobrol bersama tiap malam sambil memandang langit luas. Gugusan bintang selalu tampak cantik sekalipun hanya berupa titik-titik.
Mereka sudah pisah tempat duduk, gara-gara di kelas lima ini gurunya berjilbab panjang sepinggang dan melarang kelas anak laki-laki dan perempuan duduk di satu bangku. Katanya haram, masuk neraka, Allah tidak suka, dan hal-hal lain yang membuat Denandan risih. Penyampaiannya jauh berbeda dengan nada halus dan mengayomi Abah Sabirin. Bukannya termotivasi menjadi anak soleh, dirinya malah jadi tidak suka pelajaran agama.
"Islam itu mengekang gak sih menurut Ade? Apa-apa gak boleh, pindah agama aja yuk," cetusnya suatu hari saat mereka mengerjakan PR berdua.
Tak!
"Aduh!" ringisnya sembari mengelus-elus jidat. Lemparan pensil dari Adena benar-benar menyakitkan.
"Dosa! Gak boleh gitu!" tegur Adena. Mata bulatnya mendelik galak.
Denandan mendengkus. "Tuh kan! Dikit-dikit dosa, dikit-dikit dosa!" gerutunya masih dengan tangan yang mengelus-elus jidat, berharap dapat mengurangi rasa sakit.
"Islam gak mengekang, islam melindungi. Gak ingat ceramah Abah kemarin?" tanya Adena dengan alis terangkat. Mata bulatnya yang berbinar kini tampak mengintimidasi.
Denandan memutar bola matanya, malas sekali ditatap demikian. "Nggak. Malas banget. Belajar agama makin tahu malah makin dikekang."
Decakan ke luar dari bibir Adena. Ia menuding-nuding Denandan seraya berkata, "Gini nih, kalau mainnya sama anak tukang bangkang!" Persis seperti seorang ibu yang tengah mengomeli anaknya.
"Banu?" tanya Denandan terdengar ragu.
Adena mengangguk. "Siapa lagi kalau bukan dia?"
"Banu bukan tukang bangkang! Punya pendapat itu keren!" bantah Denandan, suaranya menggebu-gebu. Tak terima sahabatnya disebut dengan konteks negatif.
"Halah, terserah!" pungkas Adena, tak mau memperlebar perdebatan. Takut nanti akhirnya malah jadi bermusuhan.
"Deden, dengar ya. Kalau kata ayahmu, jangan musuhi orangnya, tetapi musuhilah perbuatannya. Apalagi sampai menyama ratakan agamamu dengan orang yang membuatnya menjadi jelek di mata kamu. Lagian islam itu melindungi, yang haram kan memang sesuatu yang buruk buat kita. Con—"
"Rambutmu juga buruk?" potong Denandan, tatapannya tertuju pada rambut sebahu Adena yang tergerai. Bando merah muda melengkapi tampilan manis temannya.
Adena ber'hah' tidak mengerti.
Denandan bedecak. Ia memperjelas, "Kata Bu Umi cewek harus berkerudung. Rambutmu haram dilihat yang bukan mahram. Rambutmu buruk kah?"
Bingung untuk menjawab, Adena akhirnya hanya dapat menggaruk belakang tengkuknya yang tak gatal. "Yang buruk itu efek dari cowok sepertimu setelah lihat rambutku. Gimana, ya ... enggak tahu sih, Abah belum bahas. Intinya sekarang aku belum wajib pakai," jawab Adena ala kadarnya.
Denandan mengangguk. "Berarti kalau sudah wajib pakai, Ade pakai? Gak boleh gandeng juga ya?"
Anggukan dari Adena langsung membuat Denandan cemberut. Ada kekecewaan dari membayangkan tidak lagi bisa melihat rambut kepang dua Adena yang manis.
"Tapi sekarang masih boleh kan? Gandeng juga boleh?" tanya Denandan, lebih terdengar seperti permintaan. Berteman dengan Banu memang keren, tapi Banu tidak manis dan tidak bisa digandeng ke mana-mana.
"Boleh sih harusnya," jawab Adena sambil tersenyum. Dalam benak gadis itu, tergambar sebuah kata yang mengikat keduanya.
Saudara.
Author's Note :
Haloo Nasylaawa di sini.
Senang sekali bisa membesarkan mereka sampai kelas 5 //sedot ingus
Mungkin kedepannya kepolosan mereka akan berkurang sedikit demi sedikit. Sedih jujur karena lebih suka nulis mereka yang polos :')
But life must go on! Mari menemani mereka tumbuh.
See you next day!
KAMU SEDANG MEMBACA
Denandan dan Sebatang Cokelat
Teen FictionRumah bagi Denandan tidak lengkap tanpa seorang ibu, karena itu ia lebih suka main di rumah Adena. Sementara bagi Adena, rumah di mana lelaki memenangkan segalanya adalah sebuah penjara. Maka dari itu, ia lebih suka main dengan Denandan karena anak...