Suara uik bebek memenuhi bekas sawah yang baru saja dipanen. Sekawanan bebek itu asyik menyusuri air dangkal seraya mencari sisa gabah yang tertinggal. Selain para bebek, ikut serta pula Adena dan Denandan yang tengah menikmati liburan kenaikan kelas sebagai pembantu suka rela Pak Aan guna memungut telur yang jatuh di area sawah.
Pekik Denandan saat kakinya menginjak tanah persawahan sudah tak dapat dihitung. Apalagi ketika sandal jepit yang ia gunakan terbenam dan sukar dicari. Untung saja Adena sudah mahir. Gadis itu resmi menjadi mentor Denandan dalam misi pencarian telur bebek.
"Kalau ada yang nggak ketemu, gimana Ade?" tanya Denandan sambil memperdalam posisi topi. Sengatan sinar matahari membuat kulit kuning langsatnya memerah.
"Ya jadi rezekinya orang yang nemu," jawab Adena kalem. Menutupi fakta bahwa pa'e pasti akan menggerutu di rumah.
Menjelang petang, bebek-bebek digiring lagi ke kandang. Lagi-lagi Denandan mengeluh karena harus menggerakkan kaki menghadapi kondisi jalan yang menanjak. Sandalnya yang basah dan berdecit makin membuat anak lelaki itu menghela napas.
"Yang ikhlas!" sindir Adena. Kondisi anak perempuan itu juga sama—basah dengan sandal berdecit. Bedanya Adena tersenyum bahagia, tiada beban di wajahnya.
Denandan menggerutu, dengan berat hati ia berkata, "Iya, ikhlas. Dikit."
Adena mendengkus geli. Denandan tidak berubah dalam satu setengah tahun perkenalan mereka. Masih sosok paling gengsi, mudah malu, dan teguh pendirian. Seseorang yang melengkapi keterbukaan, rasa percaya diri, dan fleksibilitas yang ia miliki.
Detik ini, Adena menatap langit yang bagian timurnya mulai menggelap.
"Pacaran itu saling melengkapi ya?" tanyanya perlahan. Adena tak ingin pa'enya tahu ia membahas hal ini lagi. Terakhir kali ia membahas hal tersebut berujung pada Pa'e yang mengeluh bilang lebih baik dirinya tidak usah sekolah saja kalau di usianya yang sekarang dia sudah mulai membahas isu pacaran.
"Padahal kan cuma tanya!" sungut Adena dalam hati. Sejak itu, pacaran menjadi topik yang paling membuatnya ragu untuk bertanya, sekaligus hal yang paling membuatnya penasaran.
Denandan menggeleng tidak mengerti. Ia juga seperti Adena yang tidak berani bertanya meski Denandan yakin ayahnya yang seorang guru pasti akan menjawab semua pertanyaan dengan lancar dan tanpa menghakimi.
Selintas ide terbersit di kepala Denandan. Ia mendekatkan diri pada Adena dan memposisikan diri untuk berbisik. Kedua belah pihak tersenyum. Selayaknya mata-mata, kedua anak usia enam tahun itu mulai menyimpan rahasia.
•••
Selepas kepergian istri dan anaknya yang masih di dalam kandungan, Pak Vino selalu berusaha menjadi figur ayah sekaligus ibu bagi Denandan. Diam-diam ia selalu bicara pada pantulan dirinya di cermin guna berlatih apabila suatu hari Denandan menanyakan hal-hal yang belum tentu dapat ia jawab. Sayangnya, Denandan bukan anak yang senang bertanya. Pak Vino mengira usahanya menjawab pertanyaan yang belum ditanyakan itu sia-sia.
Namun, kekecewaannya menghilang selepas pindah rumah dan Adena selalu berkunjung. Putri dari teman lamanya itu cerewet sekali bertanya tentang apa pun. Senyumnya yang manis selalu seperti matahari, berbanding terbalik dengan putra kandungnya yang sedingin rembulan.
"Pacaran, ya?" tanyanya yang dibalas anggukan cepat oleh Adena.
Pria paruh baya itu diam sejenak, mengatur kata-kata yang harus ia berikan agar gadis itu mengerti dengan baik dan tidak terjerumus. Ia tidak ingin merusak didikan ma'enya Adena yang tidak membolehkan adanya acara televisi di rumah, dengan memberitahu hal yang belum saatnya.
"Pacaran itu ... berteman," jawab Pak Vino setelah melihat tatapan Adena yang penuh harap.
Adena mengerutkan dahi. Matanya berkedip berulang kali. Ia bertanya dengan penuh kebingungan. "Seperti aku dan Denan?"
Tentu Pak Vino langsung menggeleng dengan cepat. Terburu-buru ia meralat, "Bertemannya saat dewasa, saat mau nikah."
Kali ini giliran Denandan yang tampak bingung. Ia menyanggah, "Tapi temanku sekarang ada yang sudah pacaran."
Refleks Pak Vino menggaruk kepala. Sedari dulu ia tidak mahir dengan percintaan, apalagi untuk menjelaskan tentang larangan pacaran untuk anak kecil tanpa terkesan melarang dan menakuti. Seorang anak yang ditekan saat kecil berpotensi lebih besar untuk memberontak di masa depan.
Pria itu akhirnya menghela napas, lalu tersenyum. Akan tetapi, ia tidak menjawab melainkan bertanya balik.
"Kalau telur bebek sudah ke luar sebelum cangkangnya keras, itu bagus atau jelek?"
Acungan tangan langsung dengan cepat datang dari Adena. Gadis itu berseru, "Jelek. Soalnya susah diolah."
Dua jempol terarah pada Adena. Pria itu tersenyum sembari menjelaskan, "Begitu juga dengan pacaran. Nggak akan bagus kalau belum waktunya. Kalian sekarang masih kecil. Kalau dengan lawan jenis berteman saja, ya. Main bersama."
Kedua anak itu menyimak penjelasan Pak Vino dengan seksama, kemudian mengangguk paham berbarengan. Pria itu bernapas lega karna jawabannya dapat dicerna. Setidaknya sebelum Denandan kembali bertanya.
"Di sekolah pada bilang aku dan Ade pacaran, Yah. Gimana? Guru-guru juga bilang gitu."
Netra pria itu melebar karena terkejut. Apalagi setelah mendengar kalimat terakhir putranya. Pria itu memijit keningnya yang entah kenapa terasa pening. Menyekolahkan putranya di sekolah yang berbeda dengan tempatnya mengajar ternyata tidak selalu membawa manfaat.
Sebab sedang tidak ingin berdebat, akibatnya Pak Vino berakhir hanya menghela napas dan berkata, "Jangan didengarkan. Nurut sama Ayah pokoknya."
Di balik sifat cueknya, Denandan diam-diam adalah anak yang gemar mengamati. Rasa pening yang tampak dari raut wajah ayahnya bersanding terbalik dengan raut wajah Adena yang tampak penasaran. Ketika sohibnya itu membuka mulut Denandan langsung membungkamnya dengan telapak tangan.
Denandan berbisik, "Jangan sekarang. Ayah pusing."
Untungnya, Adena adalah anak yang mudah memahami. Ia berakhir mengangguk, kemudian mereka kembali fokus mewarnai. Seolah lupa akan pertanyaan-pertanyaan penuh kebingungan yang mereka simpan sendiri.
•••
Author's Note :
Halooo!
Nasylaawa sedang good mood detik ini //senyoem
Ngomong-ngomong, nulis Adena yang hobi nonton bebek berhasil membangkitkan kenangan saya dulu waktu Babak punya banyak bebek. Aduh jadi kangen :')
Besok Senin, see you next day!
KAMU SEDANG MEMBACA
Denandan dan Sebatang Cokelat
Ficção AdolescenteRumah bagi Denandan tidak lengkap tanpa seorang ibu, karena itu ia lebih suka main di rumah Adena. Sementara bagi Adena, rumah di mana lelaki memenangkan segalanya adalah sebuah penjara. Maka dari itu, ia lebih suka main dengan Denandan karena anak...