Bu Rumaisha sebagai Waka Kesiswaan sudah sedari sejam yang lalu memberi wejangan di telinganya dan Zoni. Sementara Adena sedari tadi telah kembali ke kelas dengan matanya yang sembab. Denandan tidak tahu kenapa tapi kini raut muka Adena terus tercetak di pikiran dan menjadi penghalang dari wejangan-wejangan Bu Rumaisha yang hendak memasuki telinganya.
Zoni adalah sahabat lelaki kedua Denandan sepanjang hidup, dan demi apa pun sekarang ia mulai menyesali gendernya sendiri. Andaikan ia perempuan, ia pasti tidak perlu mencari teman lain selain Adena. Ia bisa menggandeng Adena kapan saja dan di mana saja tanpa rumor apa pun seperti yang dilakukan Rain. Teman perempuan juga tidak akan membuatnya melakukan kenakalan remaja seperti yang diajarkan oleh Banu dan Zoni.
Denandan masih ingat bagaimana rasa iri pada Rain membuatnya merencanakan kembali ke masa lalu saat masih di surga. Barangkali dia bisa bilang ke Tuhan untuk menjadi perempuan saja agar bisa terus menggandeng tangan Adena. Konyol dan mustahil tentu saja.
Anak itu melirik ke samping. Zoni menunduk tapi Denandan bisa melihat tidak ada penyesalan di wajahnya. Sama seperti saat dulu Banu masih terus mengajaknya pergi malam tanpa izin. Denandan menghela napas, pikirannya kembali ke hari pertama ia mengenal sahabat keduanya melalui ekstrakurikuler basket.
"Halo. Zoni, anak JakSel."
Uluran tangan tersebut bersambut dengan uluran tangan Denandan. Cowok itu tersenyum sempurna, senang sekali bisa mengenal seseorang dari tempat kelahirannya.
"Denan, mantan anak JakSel."
Zoni membulatkan bola matanya, terlihat tidak percaya. Secara cepat ia menggoyangkan tangan mereka yang bertaut lalu tersenyum ramah.
"Wah, asik nih! Ayo temenan!"
Denandan menghela napas. Rentetan wejangan dari Bu Rumaisha usai sudah. Sebagai gantinya mereka diminta menulis surat pernyataan berisi kesanggupan untuk tidak mengulangi hal yang sama, dan apabila melanggar sekolah akan melakukan pemanggilan orang tua, serta sanksi membersihkan kamar mandi tiga hari.
"Sorry, ya. Jadi ketularan. Lo juga sih, kok mau?" ungkap Zoni saat kaki mereka telah sempurna ke luar dari ruang BK.
Helaan napas terdengar, disusul oleh anggukan dari Denandan. Percuma berdebat, semua ini memang benar akibat ulahnya yang mau-mau saja diajak merokok di sekolah. Ia tidak tahu harus menyalahkan siapa, menyalahkan Pak Aan yang mengajarinya merokok juga keliru karena ia yang inisiatif meminta untuk diajarkan.
Keduanya melewati kelas 8A yang terbuka lebar. Di sana ia melihat Adena berdiri menghadap teman-temannya, melakukan presentasi dengan suara yang lantang. Jaraknya terlalu jauh, Denandan jadi tidak bisa melihat apakah gadis itu masih sedih atau tidak. Ia hanya melihat Adena yang kuat di sana, kebalikan dari dirinya yang telah mengalami kemunduran.
"Tuh lihat, Adena keren. Kamu bisa apa?"
"Adena cewek mandiri, gak cocok tahu sama Denandan yang petakilan."
"Pacaran ya mereka? Ganteng sih cowoknya, tapi Adena kan perfect ya."
"Nandan bisa gak jadi kayak Adena? Keren loh dia. Jelas mimpinya. Kamu mau jadi apa?"
Suara-suara itu kembali menggema. Denandan melangkah meninggalkan pintu ruang kelas tersebut dengan penuh rasa bersalah di dalam kepala. Seandainya ia lebih baik sedikit saja....
•••
Seperti orang dungu, sore ini Denandan mengamati anak OSIS yang sedang rapat dengan berkedok latihan basket sekalipun bukan jadwal ekstrakurikuler. Anak itu yakin ia tak akan betah marah pada Adena, apalagi kali ini ia sumber masalahnya. Zoni pun sampai geleng-geleng kepala. Baru kali ini ada pelaku kenakalan remaja yang diseret sahabatnya sejak kecil ke ruang BK dan bukannya marah malah merasa bersalah.
"Pulang yuk, Bro. Nyokap-bokap dah nungguin!" seru Zoni sambil mengenakan tas yang sedari tadi tergeletak di pojok lapangan.
"Duluan!" balas Denandan sambil memasukkan bola basket ke dalam keranjang.
Zoni menghela napas. Ingin sekali ia merekam video Denandan yang tengah berusaha memasukkan bola sambil melirik kerumunan lain. Sayangnya, sekolah tidak mengizinkan penggunaan HP dan hari ini Zoni sedang tidak melanggar aturan selain rokok tidak pagi.
"Sayang banget," gumam Zoni sambil berlalu, menyisakan Denandan yang sendirian di lapangan basket. Kembali ia memasukkan bola bersama pikiran yang melayang ke suatu tempat di masa lalu. Angkringan Mang Asep.
"Rais masih kekecilan kalau harus ikut Paklik. Kamu yang diajak gak pa-pa kan?" tanya Pak Aan seraya mengepulkan asap rokok ke udara.
Denandan mengangguk, semangatnya ke luar setelah melihat asap rokok karya Pak Aan yang bisa membentuk lingkaran. Di usia yang ke-13, ada dorongan dalam hatinya untuk mencoba.
Tepat sekali, hal itu terlihat oleh Pak Aan. Pa'enya Adena yang tak boleh merokok di rumah kini menawarkan sebatang rokok kepada rumah Adena yang lain. Ayahnya pasti marah besar kalau tahu, tapi hari itu dan hari-hari seterusnya Denandan terus tenggelam dalam rasa penasaran sambil mengingat ucapan Pak Aan.
"Ngerokok itu tandanya kamu pria yang sudah besar. Kamu maskulin, nggak apa-apa."
Gigi Denandan bergemelatuk. Ia melempar bola di tangannya sekuat tenaga hingga membentur ujung keranjang basket dan memantulkannya kembali ke tanah. Andaikan saja ia tidak pernah mencari kehidupan lain dan fokus hanya dengan yang ia punya ... ia pasti tidak akan melihat sorot mata kecewa Adena.
Kerumunan itu baru saja membubarkan diri termasuk Adena. Gadis berkerudung itu berjalan bersama dengan rekannya melewati lapangan. Tanpa dikomando, Denandan langsung menyambar tas dan menghalangi langkah Adena. Anak itu tak bicara sepatah kata, tapi kehadirannya sudah lebih dari cukup untuk membuat teman-teman Adena melangkah lebih dahulu.
"De, ayo ngobrol," lirih Denandan, matanya terus mencoba mencari tatapan Adena yang tengah menunduk.
"Aku lebih suka ngobrol dengan bayangan. Bayangan gak beraroma rokok," sinis Adena seraya berjalan menjauh, meninggalkan Denandan yang mematung di tempat mendadak lupa fungsi mulut.
•••
Author's Note :
Haloo! Nasylaawa di sini!
Denannn :(
Ibarat kertas putih yang suka dicoret-coret, anak ini suka gak nyadar kalau dia makin lama makin kotor :(
Dan ... mari melihat pengotoran kertas putih ini lebih lama.
See you next day!
KAMU SEDANG MEMBACA
Denandan dan Sebatang Cokelat
أدب المراهقينRumah bagi Denandan tidak lengkap tanpa seorang ibu, karena itu ia lebih suka main di rumah Adena. Sementara bagi Adena, rumah di mana lelaki memenangkan segalanya adalah sebuah penjara. Maka dari itu, ia lebih suka main dengan Denandan karena anak...