1. The Nandan

23 3 6
                                    

Tangisan bayi menjadi melodi yang paling sering bergema di rumah Pak Aan. Istrinya baru saja melahirkan anak kedua mereka. Kebahagiaan itu bertambah karena jenis kelamin anak tersebut adalah lelaki seperti yang diidamkan Pak Aan dan keluarga besar. Semenjak kehadiran si kecil rumah sederhana tersebut selalu ramai, entah dari suara sang bayi atau suara para pengasuh.

Satu hal yang pasti, suasana tersebut sangat Adena benci. Putri sulung Pak Aan tersebut berakhir selalu mengungsi ke rumah kosong yang berhadap-hadapan dengan rumah mereka. Sejak Nenek Rahmi meninggal tiga bulan yang lalu rumah tersebut menjadi tak terawat. Lumut tumbuh di pekarangan dan debu memenuhi ruang serta perabot-perabot yang masih tersisa. Cerita horor jelas sudah menyebar ke mana-mana.

Hanya Adena yang masih sering berkunjung ke rumah tersebut. Lebih tepatnya, melarikan diri dari rumah yang menurutnya sudah melupakan dia. Adena masih lima tahun, tapi sepanjang ingatannya Pake tidak pernah sebahagia itu saat bermain dengannya. Pake selalu terlihat senang hanya saat menawarkan Adena sebagai calon menantu untuk teman-temannya yang punya anak lelaki. Persis seperti saat ia menjual bebek di pasar hewan.

Hari ini Adena mengungsi sambil membawa buku gambar dan krayon. Anak perempuan itu asyik sekali melukis bunga-bunga liar yang dihinggapi kupu-kupu. Bagi Adena, corat-coret di kertas selalu jadi hal paling seru setelah menonton acara televisi di hari hujan sambil meminum susu.

Menjelang siang, sebuah mobil memasuki pekarangan rumah peninggalan Nenek Rahmi. Adena beranjak dari teras saat dua orang lelaki berbeda usia ke luar dari dalam mobil. Tebakan Adena, mereka adalah seorang ayah dan anak. Sang ayah tersenyum pada Adena sambil mengeluarkan kunci dan membuka pintu rumah. Tatapan Adena kemudian beralih pada anak kecil yang sedari tadi hanya diam menatapnya. Adena tersenyum senang, ia yakin mereka sepantaran.

"Tetangga baru, ya?" tanya Adena penuh semangat.

Anak lelaki itu mengangguk kaku, tatapan tajamnya bersanding serasi dengan raut muka yang datar macam tembok. Adena yakın anak ini hanya punya sedikit teman di tempat tinggalnya dulu.

Tangan kanan Adena terulur, bibirnya tersungging membentuk senyum manis. "Aku Adena, namamu siapa?"

"Denandan," jawabnya singkat dengan suara linh. Kalau bukan karena senyum lebar hingga membentuk lesung pipi Adena, dia pasti langsung masuk ke dalam rumah tanpa rasa peduli.

"De-nandan. Lucu ya, kayak 'The Nandan'. Bahasa Inggris artinya 'Nandan itu," cerocos Adena.

Denandan yang malas sekali menanggapi ocehan Adena langsung memiliki keinginan untuk masuk ke dalam dunia sepinya dengan komik dan permainan video. Ketenangan favoritnya jelas kontras bila dibandingkan dengan cerewetnya tetangga baru. Denandan berbalik badan, berniat memasuki rumah tanpa sepatah kata.

"Kamu mau ke mana?"

Decakan langsung keluar tanpa dikomando. Denandan mendongak pada ayahnya dengan tatapan sebal. Terlebih setelah Ayah justru menariknya kembali ke posisi awal.

"Om, om. Denandan, De-nya tuh sama kayak the di bahasa inggris kah?"

Pria paruh baya itu berjongkok mensejajarkan diri dengan tubuh Adena. Ia terkekeh dan mengangguk. "Iya, benar. Nandan itu artinya kebahagiaan. Tapi kalau huruf depannya N nanti lama ngambil rapotnya. Kalau The pakai T malah tambah lama lagi. Makanya diganti pakai De biar depannya D," jelasnya, masih dengan senyum manis

"Tuh kan, aku benar!" seru Adena yang matanya kini bersinar penuh kebahagiaan. Ia tersenyum jenaka ke arah Denandan yang tengah cemberut, terlihat sekali ingin kabur dari situasi ini.

"Telselah!" sungut Denandan, kaki mungilnya bergerak hendak masuk ke dalam rumah.

Tentu saja Adena tidak tinggal diam, tangannya sigap meraih tangan Denandan. Sang empu jelas memberontak, tetapi tidak berhasil karena tenaga Adena lebih kuat.

"Lucu banget masih cadel," ejek Adena dengan ekspresi tanpa dosa.

Wajah Denandan memerah. Rasa malunya tercetak di pipi dan tanpa sadar pemberontakannya terhenti. Hal itu tentu menjadi momentum yang tepat bagi Adena untuk menggamit lengan teman barunya lebih erat.

Sambil tersenyum Adena melambaikan tangan dan berseru riang pada aya Pak Vino. "Anaknya aku bawa ya, Om! Mau lihat bebek di Kali!"

Saat kesadaran Denandan kembali anak lelaki itu tetap diam, pasrah ditarik oleh Adena seperti seekor anak kucing yang digendong induknya ke mana-mana. Rasa malu sudah melebihi keras kepalanya. Lagi pula Denandan merasa tarikan anak perempuan ini halus, seperti milik Ibu.

Sementara di sisi lain Pak Vino hanya diam di tempat dan tersenyum. Ini pertama kali ia melihat putranya bergandengan tangan dengan teman sebaya. Pria Itu Ikut melangkahkan kaki, mengikuti dua anak yang menuju Kali tersebut dari jauh. Baru beberapa langkah ia melangkah terdengar suara pekikan.

"Weladalah, malah nggondol bocah!"¹

Pak Vino menoleh, didapatinya seorang pria yang ia kenal dahulu. Sambil memberi senyum kalem ia berkata, "Anak saya, Pak. Enggak apa-apa."

Pria itu menghela napas lega dan mendebat. Uluran tangan dan senyumnya persis seperti milik Adena.

"Oh, iya. Sudah dari tadi, Vin?"

Pak Vino membalas jabatan tangan tersebut dengan erat. "Baru saja. An, Lama tidak jumpa," jawabnya dengan senyuman.

Keduanya kemudian berjalan bersama menuju sawah dengan atmosfer hangat-hangat beku. Persis selayaknya teman masa kecil yang saling bertemu setelah sekian lama berpisah.

Berjarak beberapa meter di depan keduanya, Adena masih erat menggamit lengan Denandan, seolah tidak ingin teman barunya hilang. Ocehan keluar dengan mudah dari mulut Adena, berbanding terbalik dengan Denandan yang hanya membisu.

"Kamu pernah lihat orang nikah nggak? Aku pernah. Mereka gandengan kayak gini loh. Besok main nikah-nikahan yuk!"

Denandan terdiam. Sepi merambat sampai tiba-tiba air mata mengucur dari matanya. Adena jelas panik, gandengan lengannya dilepas guna memegang pundak Denandan.

"Kamu kenapa?" Terdengar kekhawatiran dari suara Adena.

"Aku nggak mau main nikah-nikahan. Nanti ... nanti...."

Suara Denandan tercekat, tangis menguasai anak itu, sementara Adena makin bingung.

"Kenapa?" tanyanya hati-hati. Tangan mungilnya menepuk-nepuk pundak Denandan, mencoba menenangkan.

"Nanti barangnya pecah," jawab Denandan, tepat saat ayahnya datang menghampiri dengan tatapan penuh rasa bersalah.

•••

*¹= bahasa jawa = Ya ampun, malah membawa (secara paksa) anak orang.

Author's Note :

Halooo!

Anak perempuan pertama mana suaranya?

Yang gemes sama Denan mana suaranya?

Sebagai anak perempuan pertama saya sangat relate banget ya dengan Adena yang pas adiknya lahir auto main sendiri, nanti makin besar apa-apa juga sendiri. Maaf curhat wkwk.

Anyway, arti nama saya sama Denan mirip mwehehe :3

Jadi, semoga cerita ini bisa membawa kebahagiaan buat pembaca.

See you next day!

Denandan dan Sebatang CokelatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang