17. Batagor Pertigaan

10 3 1
                                    

Delapan tahun bersama rasanya sudah lebih dari cukup bagi Denandan untuk mengenal Adena. Gadis itu adalah kertas hitam dan putih yang tidak akan pernah menjadi kelabu. Tadi sore, Denandan berakhir membiarkan Adena pulang sendiri menaiki angkutan umum. Anak lelaki itu tahu, sahabatnya pasti menolak permintaan maaf dalam bentuk apa pun hari ini.

Denandan menghela napas. Jemarinya mengacak rambut dengan frustasi. Seumur hidup semua pertengkaran memang selalu selesai dengan ia yang meminta maaf. Tapi, entah kenapa mata Adena yang kecewa hari ini terlihat lebih sedih ketimbang hasil dari pertengkaran-pertengkaran sebelumnya.

"Ah, kalau gak dimaafin gimana?" gumamnya sambil terus mengubah posisi berbaring.

Jalan buntu baginya, Denandan kali ini tidak bisa meminta saran Pak Vino. Bisa mati dia kalau ayahnya tau Adena menangis gara-gara ia merokok. Membuat Adena menangis saja sudah kartu merah, apalagi merokok. Ia bisa saja didepak dari rumah saking murkanya sang ayah.

Matanya terus memandang langit-langit kamar. Kenikmatan merokok yang sebulan ini ia rasakan mendadak sirna kala teringat tangis Adena. Andai ia bisa memutar waktu ke hari pertama ia mencicipi benda tersebut, Denandan pasti akan menghentikan aksinya sendiri.

Malam itu Denandan habiskan untuk memikirkan rencana terbaik meminta maaf. Berharap esok segera tiba dan masalah ini lekas usai agar ia dapat kembali mendengar tawa renyah Adena.

•••

Pukul enam pagi, Denandan telah rapi dengan seragamnya yang kemarin langsung ia cuci demi menghilangkan aroma rokok. Setelah mengunci pintu, ia bergegas menuju rumah Adena, berharap sahabatnya belum pergi dan ia bisa mengajaknya berangkat sekolah bersama.

Sayang sekali, debaran jantungnya sia-sia karena Pak Aan berkata, "Dah berangkat, Den. Kamu kalau mau ngantar Rais aja, hehe."

Denandan tersenyum canggung. Terpaksa ia memboncengkan adik Adena yang kini duduk di kelas 3 SD dengan motor yang sering disebut ilegal oleh sang kakak.

Di tengah perjalanan, Denandan iseng bertanya, "Is, Mbakmu tadi malam marah?"

Rais menggeleng. "Nggak. Semalam Mbak latihan pidato."

Helaan napas terdengar dari Denandan. Anak itu lega, setidaknya Adena tidak lantas menjadi singa di rumah karena dirinya. Selepas mengantar Rais dan memarkirkan motor di tempat langganannya, Denandan menuju ke sekolah berjalan kaki. Kembali memikirkan kemungkinan bisa meminta maaf kepada Adena.

•••

Sore ini netra Adena menangkap keberadaan bulir-bulir air hujan melalui kaca jendela ruang OSIS. Rapat terus berlangsung sementara fokusnya terpecah menjadi banyak kepingan. Salah satu kepingan ingin segera pulang, bahkan ada yang ingin menembus hari sampai ia selesai melaksanakan lomba. Adena menghela napas, melakukan banyak hal dalam satu waktu ternyata sangat melelahkan.

Rapat selesai bersamaan dengan berakhirnya hujan di luar sana. Adena tersenyum sambil ke luar bergantian dengan rekan-rekannya. Senyumnya masih manis sampai ia melihat seseorang yang tidak ia sangka akan senekat ini menunggu di depan ruang OSIS.

"Lama amat, Ade. Pulang, yuk. Jajan batagor," ajak Denandan sambil tersenyum manis.

Banyaknya pasang mata yang melihat ke arah mereka tentu membuat gadis itu risih. Akhirnya, Adena mengangguk terpaksa dan melenggang bersama Denandan yang berjalan di belakangnya dengan senyum penuh kemenangan.

Denandan dan Sebatang CokelatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang