Pak Vino baru saja memasang antena parabola, Adena pun akhir pekan ini datang ke rumah Denandan dengan penuh suka cita. Televisi digital menjadi barang mewah bagi warga desa yang kebanyakan masih berkutat dengan televisi analog dan antena yang kurang kompeten dalam menangkap sinyal.
Animasi Doraemon menemani gadis itu pagi ini. Mangkok penuh dengan permen cokelat berada di tengah ia dan sahabatnya sebagai camilan. Denandan tersenyum miring melihat handuk di pundak gadis itu. Rambutnya yang masih basah jelas menandakan kalau ia langsung lari ke mari selepas mandi.
"Rambutmu basah tuh," celetuk Denandan, tatapannya kembali fokus ke televisi.
"Nanti juga kering," sahut Adena cuek. Sebutir permen cokelat kembali memasuki mulutnya.
"Habis mandi malah makan cokelat. Gak guna sikat giginya," cibir Denandan, jelas sekali anak lelaki itu ingin membuat lawan bicaranya kesal.
Adena tak habis akal. Ia membalas, "Daripada yang belum mandi. Cokelatnya campur jigong."
Skak mat!
Denandan terdiam, hawa panas terasa di telinganya. Adena selalu menang telak dari ia yang mudah merasa malu.
Beberapa menit kemudian, tayangan berganti menjadi iklan. Denandan mencebikkan bibir, sedikit merasa kesal.
"Kenapa harus iklan?" tanyanya, lebih terdengar seperti sebuah gerutuan.
"Kalau nggak ada iklannya, televisi gak akan dapat uang. Tanpa iklan, produk yang diiklankan juga gak bakal diketahui orang," jawab Adena santai, tangannya kembali bergerak mengeringkan rambut.
"Roti Ma'e gak diiklankan di televisi juga laku, tuh," sanggah Denandan. Anak lelaki itu berharap kali ini ia bisa menang.
Adena memicingkan matanya. "Banyak kah yang beli? Memangnya satu Indonesia tahu Rais Bakery itu rotinya Ma'eku?"
"Ya, nggak. Tapi, kan—"
"Gunanya iklan itu untuk menyebarluaskan informasi. Biar seluruh Indonesia tahu. Produk kecil gak bisa disamakan dengan produk yang di televisi," potong Adena, gadis itu sangat mengetahui apa yang akan Denandan debatkan. Debat omong kosong.
Kembali Denandan menghela napas. Adena selalu menjadi lawan debat yang tidak dapat ia tandingi. Sejauh yang ia tahu, Denandan hanya akan menang di rumah anak itu. Saat ada Pak Aan dan Adena selalu diminta diam. Hanya saat itulah Denandan bisa melihat Adena selayaknya kucing yang terancam.
"Ade, cita-citamu apa?" tanya Denandan setelah kegiatan menonton selesai.
Adena menyisir helaian rambutnya yang telah kering dengan jemari. Ada sangat banyak hal di pikirannya tetapi yang mampu ke luar dari bibir hanyalah, "Jadi orang kaya."
"Kalau profesi?" tanya Denandan. Rasa penasarannya masih belum terpuaskan.
"Diplomat? Biar bisa jalan jalan. Tapi harus dapat beasiswa," jawabanya menimbang-nimbang. Denandan dapat mendengar rasa berat dari kalimat teman baiknya yang selalu ceria.
"Kenapa harus beasiswa?"
"Pa'e mana mau nyekolahin anak perempuan sampai tinggi. Bisa sampai SMK aja alhamdulillah."
Denandan tidak salah dengar. Helaan napas berat dari Adena selalu merupakan tanda keseriusan. Ayahnya yang selalu mengatakan kalau ia harus bersekolah tinggi adalah sebuah tekanan sendiri. Ia jadi berpikir kuliah semestinya semudah mendaftar sekolah.
"Kalau pa'emu gak mau, Om mau," sahut Pak Vino yang baru saja memasuki ruang tamu.
Adena terkejut. Ia menggaruk tengkuknya sembari tersenyum canggung. Kalau saja yang berkata seperti itu adalah gurunya, pasti Adena akan tersenyum penuh sambil memperlihatkan binar matanya yang bersinar. Sayangnya, Pak Vino adalah orang terdekatnya. Entah apa alasannya, tetapi ia tidak suka orang lain selain Denandan tahu kesedihannya.
Pak Vino duduk di tengah keduanya, menggantikan posisi toples berisi permen cokelat yang kini telah bertengger di meja. Sebisa mungkin pria kalem itu menampakkan senyum hangat.
"Adena, namamu artinya apa?" Pria itu tersenyum menanti jawaban dari putri teman kecilnya.
"Kelemah lembutan dan keindahan seperti batu rubi dan cahaya subuh," jawabnya pelan. Masih terdengar canggung akibat kejadian sebelumnya.
Pak Vino tersenyum lembut. "Mau Om beri tahu gimana pa'emu kalau menceritakan kamu?"
Adena tertegun. Binar matanya kembali menyala, kali ini penuh rasa ingin tahu. Kepalanya mengangguk berulang kali dengan cepat, membuat Denandan di sampingnya ikut antusias mendengarkan.
"Pa'emu selalu bilang kamu anak cantik. Bahkan sejak lahir, pa'emu bilang dia bangga punya kamu, katanya kamu pasti dapat pria tampan waktu besar. Om tahu, pa'emu sama seperti bapak-bapak kampung yang cuma menganggap kelebihan perempuan itu dari cantiknya. Pa'emu bilang dia tidak suka kamu sering ke kali karena kamu jadi hitam.
"Tapi, kamu tahu, De? Pa'emu selalu cerita juga kalau kamu anak pintar. Pa'emu bangga karena anaknya punya sisi keras kepala untuk berdebat. Pa'emu bangga karena kamu anak yang senang mendobrak segala jalan yang ia tutupi. Kamu kesayangannya, De. Percaya sama Om, pa'emu tidak jahat. Pa'mu cuma tidak tahu cara memuji. Ini rahasia, tapi pa'emu mau kamu terus berusaha untuk beasiswa."
Air mata Adena menetes. Dua belas tahun ia hidup, baru kali ini ia mendengar kalau Pa'e bangga padanya. Bukan karena ia cantik, tetapi karena ia anak yang cerdas.
Tangan Denandan bergerak mengusap punggung Adena secara perlahan. Sejak ia tinggal di rumah ini, baru sekarang ia melihat Adena menangis seperti selayaknya anak-anak. Sepanjang mengenalnya, Adena selalu berhenti di tahap ketakutan. Tidak lebih dari itu, atau pernah lebih tapi anak itu sembunyikan.
"Ade sekarang masih boleh dipeluk?" tanya Denandan hati-hati. Terakhir mereka berpelukan adalah saat kelas 4 SD. Itu pun Adena yang memeluk terlebih dulu.
"Heh, gak boleh!"
Sayangnya, peringatan Pak Vino melayang di udara. Pria paruh baya itu ternganga melihat Adena yang mengangguk dan memeluk putranya. Panik langsung melanda, buru-buru ia berusaha melepaskan keduanya. Bayangan tentang anak muda yang berpacaran menembus memori terdalamnya tentang hubungan cinta dan watak yang tidak ingin ia ulang.
"Adena belum haid kok, Om. Masih boleh," sanggah Adena sambil melonggarkan pelukan.
"Tapi Nandan udah sunat, Dena. Kalian juga sudah 12 tahun. Gak boleh lagi loh ya! Ini yang terakhir, jangan diulang!" titah Pak Vino, nadanya sedikit terdengar seperti sebuah ancaman.
Pria itu menghela napas seraya beristighfar. Kekhawatirannya yang dulu sempat hilang kini kembali datang.
•••
Author's Note :
Halooo. Nasylaawa di sini.
Idk mau cerita apa, tapi hari ini lagi banyak rindu. Gak jelas ahaha.
Siapa yang pernah punya sahabat kecil macam merekaa? Kapan terakhir gandengan? Biasanya makin gede makin malu buat sentuhan :'
Anyway, see you next day!
KAMU SEDANG MEMBACA
Denandan dan Sebatang Cokelat
Teen FictionRumah bagi Denandan tidak lengkap tanpa seorang ibu, karena itu ia lebih suka main di rumah Adena. Sementara bagi Adena, rumah di mana lelaki memenangkan segalanya adalah sebuah penjara. Maka dari itu, ia lebih suka main dengan Denandan karena anak...