18. Lavender

10 2 2
                                    

"Deee nanti nyontek ya!" Teriakan Denandan tak berdaya menembus angin yang menampar wajah secepat kendaraannya melaju.

Gelombang suara itu sayangnya tidak sampai ke gendang telinga Adena dengan anak baik. Gadis yang kini berusia lima belas tahun itu jelas kebingungan.

"Apa? Gak kedengaran?" teriaknya balas.

Denandan tergelak. "Gak jadi!"

Sekali lagi teriakannya tidak bersahabat dengan angin. Denandan memacu sepeda motornya dengan cepat, membelah jalan raya yang lengang di jam setengah enam pagi. Anak lelaki itu sedang berbahagia, akibat harus menjalani agenda pagi Adena pasti tidak akan memarahinya karena mengebut di jalanan. Kesempatan yang bagus untuk bersenang-senang!

Tak sampai sepuluh menit Denandan berhasil melewati jarak delapan kilometer. Anak lelaki yang baru-baru ini berbahagia bisa mengenakan seragam putih abu di sekolah ternama itu memarkir sepeda motornya hati-hati. Membiarkan Adena melempar helm kepadanya dan berlari menuju lapangan upacara yang telah terisi oleh beberapa teman seperjuangannya.

Denandan hanya memerhatikan sembari mengunyah permen karet dari sudut lapangan. Kadang ia heran, mengapa Adena mau mempersulit hidupnya dengan mengikuti organisasi yang tidak akan membuatnya kaya?

Denandan tahu organisasi itu banyak benefitnya, ia akui suara Adena bahkan lebih bulat dan lantang dari suaranya. Aura Adena juga lebih terasa cerdas dari aura anak yang doyan nongkrong dan anti belajar macam dirinya. Namun, tetap saja, menurut Denandan yang Adena dapat hanya rasa lelah tak bermanfaat.

Sebuah tepukan keras di pundak membuat Denandan terkejut. Ia menoleh cepat dan mendapati Araf—teman sekelasnya sekaligus ketua kelas. Denandan menghela napas—batal merasa kaget—sementara Araf duduk di sampingnya dan meneliti arah pandang Denandan.

"Adena?" tanyanya sembari menghidupkan ponsel pintar.

Denandan mengangguk, tatapannya masih tertuju pada bagian tengah lapangan. Calon Pengurus OSIS termasuk Adena sedang melakukan push up sambil mendengarkan para senior menyebut kesalahan mereka satu persatu. Dari kejauhan tentu saja Denandan tidak mendengar apa pun. Namun, ia tahu pasti semua ucapan orang-orang di sana dari setiap cerita Adena.

Ucapan-ucapan tidak logis dan tidak bermutu yang terus diulang dengan pola serupa. Landasan dari mengapa Denandan berpikir orang yang berorganisasi itu hanya sedang membuang-buang waktu. Apalagi yang sedang dalam kondisi seleksi tapi sudah berkorban banyak hal. Iya kalau lolos, kalau enggak?

"Enak ya, dia masih bertahan. Aku enggak," ujar Araf sembari menghela napas berat. Terdengar sekali rasa kecewa dari ucapannya.

Nah, seperti orang ini!

Denandan berdecak. "Dungu," gumamnya sangat pelan—entah didengar oleh Araf atau tidak.

"Kamu kenapa enggak nyoba, Den?"

Pertanyaan Araf sontak membuat Denandan menyemburkan tawa. "Aku? Nyoba ikut OSIS?" tanyanya sambil menunjuk diri sendiri.

Araf mengangguk. "Kata temanku kamu ganteng, kalau jadi OSIS pasti dia senang karena jadi bisa sering lihat kamu."

Tawa Denandan masih dengan renyah mengudara. Kalimat Araf barusan adalah kalimat paling lucu dalam sejarah Denandan selama memasuki masa remaja.

Ia tahu dirinya tampan, Denandan bisa melihat kulitnya yang putih bersih bersanding dengan hidung mancung dan sorot mata tajam. Plus Adena selalu bilang, tiga hal itu adalah idaman perempuan. Namun, tetap saja. Mengetahui ada perempuan lain yang bilang ia tampan secara blak-blakan terasa seperti sebuah keanehan.

Denandan berhenti tertawa, ekspresinya beralih menjadi penasaran. "Siapa yang bilang?"

"Lavender. Anak kelas sebelah."

Araf membuka galeri, sementara Denandan mengingat-ingat barangkali anak tersebut sudah pernah berkenalan dengannya di suatu tempat. Saat Araf menunjukkan foto seorang gadis, tetap saja Denandan tidak tahu siapa yang Araf maksud.

"Gak kenal," jawabnya kalem. Matanya kembali fokus ke lapangan upacara. Denandan meringis melihat rok Adena yang berdebu. Masih pagi Ya Allah!

"Katanya sering lihat kamu main basket. Pernah minta nomormu ke aku, tapi gak pernah kukasih," ungkap Araf.

Denandan mengangguk paham. Araf adalah teman yang sangat berakhlak terutama dalam melindungi privasi temannya. Namun, sebuah rasa penasaran mendadak timbul. Nyaris serupa seperti saat ia penasaran bagaimana rasa rokok di masa lalu.

"Kasih aja. Lumayan nambah kontak," putus Denandan. Tidak ada salahnya memberi peluang pada penggemar, 'kan?

Araf menyunggingkan senyum miring. Tanpa basa-basi jemarinya bekerja mengirim kontak Denandan ke nomor Lavender. Ia yakin, aksinya akan membuat sang penerima bahagia bukan main.

Ting!

Suara dari ponsel pintar Denandan langsung membuat sang pemilik membuka sumber notifikasi. Satu pesan dari nomor tidak dikenal entah kenapa sukses membuat Denandan tertawa. Anak lelaki itu memamerkan apa yang baru saja ia dapat kepada Araf yang langsung tertawa geli.

Denandan kembali membaca pesan yang tertera di ponsel pintarnya dengan senyuman.

Halo, save ya! Lavender dari kelas X-4!
Mari berteman!

Bibir Denandan tertarik. Sebuah senyum tipis menghiasi wajahnya yang senantiasa terlihat kalem. Jemarinya bergerak mengetik pesan belasan.

Hanya sesingkat 'Ya' ternyata bisa mengantar gelombang bahagia Maha Besar bagi sang penerima.

•••

Author's Note :

Halooo! Ini Nasylaawa!

Sedang memikirkan bagaimana cara mencipta penyelesaian cerita yang baik, ahaha. Ini melenceng jauh dari outline :'

Tapi apa pun itu semoga bisa tamat dengan baik!

See you next day!

Denandan dan Sebatang CokelatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang