14. Sebatang Cokelat

9 2 0
                                    

Aroma kopi memenuhi ruang keluarga, membersamai dua insan yang jarang bercakap. Malam ini, Adena sudah mempersiapkan banyak jawaban jika pa'enya tidak memberi tanda tangan pada lembaran yang Bu Rumaisha berikan. Entah kenapa, setelah kejadian tempo hari Adena jadi merasa harus mulai mendekati Pa'e dan berhenti memalsukan tanda tangan surat izin.

"OSIS?" tanya pria paruh baya itu. Keningnya mengerut sambil membaca tiap baris dalam lembaran dengan seksama.

"Iya. Bu Rumaisha yang merekomendasikan. Katanya aku anak yang paling rajin di kelas," jawab Adena sambil tersenyum, menahan rasa histeris dalam hati.

Jeritannya tertahan saat Pak Aan menggoreskan tinta pada kertas itu. Tanpa syarat, tanpa debat, semuanya berjalan lancar seperti bebek-bebeknya yang pandai berbaris. Adena bingung. Kemudahan selalunya adalah milik Rais. Lantas kenapa hari ini itu menjadi miliknya?

"Semangat, yang terbaik jangan lupa," ucap pria paruh baya itu seraya mengembalikan kertas itu pada sang putri.

Adena jelas tak bisa berkata-kata. Gadis itu dengan riang memeluk Pak Aan. Beban berat di punggungnya seketika sirna. Misi mengubah sudut pandang pa'enya telah berhasil dengan lancar.

Lirih gadis itu berkata, "Pa'e gini terus, ya. Adena suka."

•••

Mahatma namanya. Ketua OSIS yang merupakan kakak kelas 2 angkatan di atasnya ini selalu jadi sorotan warga sekolah karena paling rapi dan paling rajin. Para guru bahkan bilang seniornya ini tidak pernah menyepelekan tugas dan selalu mendapat nilai jauh di atas KKM saat ulangan.

Sebuah kehormatan bagi Adena dapat bertatap muka dengannya, sekalipun dalam wawancara anggota OSIS yang ia pikir akan mendebarkan. Senyum manis terpasang rapi, tidak akan ia biarkan rekomendasi Bu Rumaisha tampak konyol di hadapan sang ketua OSIS.

"Adena Ruby Zorana, benar?" tanya Mahatma mengawali sesi wawancara.

"Siap, benar, Kak." Adena menjawab mantap. Senyum tipis masih menghiasi wajahnya.

"Apa alasan kamu masuk OSIS?" Tatapan Mahatma dalam menerobos manik mata Adena yang berani menatap matanya dengan tenang.

"Menuruti rekomendasi Bu Rumaisha, sekaligus sebagai awal baru bagi saya untuk membuka diri dan mencari pengalaman baru," jawab Adena, netranya masih berambisi menantang tatapan Mahatma.

Mahatma tersenyum miring kemudian tertawa ringan. "Memenuhi ucapan guru? Awas nyesel."

Adena tersenyum miring sama liciknya. "Saya bukan tipe orang yang mudah menyesal, Kak. Saya akan menyelesaikan setiap hal dengan penuh tanggung jawab."

Berdebat dengan Mahatma di pertanyaan-pertanyaan seterusnya terlalu mudah mengingat begitu banyak perdebatan yang sering ia lakukan dengan Pak Aan. Hanya satu hal yang membuatnya merasa kesulitan. Sakit di perut bagian bawah yang membuat ia bersusah payah menahan senyum agar tetap terkesan ramah sampai akhir wawancara.

"Oke. Saya tampung dulu. Pengumumannya besok Senin, ya."

Kalimat terakhir Mahatma bersambut dengan helaan napas lega dari Adena. Gadis itu segera ke luar dari ruang OSIS bergantian dengan kandidat lain. Kakinya segera melangkah menuju kamar mandi. Sakit perut yang seperti dicabik-cabik beradu sempurna dengan rasa kesal dan ingin menangis. Perasaan yang tidak ia tahu apa penyebabnya.

Memasuki kamar mandi, Adena langsung terkejut setengah mati. Darah yang merembes mengotori celana dalamnya membuat gadis itu melebarkan mata. Suara teriakannya tercekat di tenggorokan, tubuhnya bergetar penuh rasa takut. Adena tahu, ini menstruasi. Ma'e telah menerangkannya berkali-kali, tapi baru detik ini Adena benar-benar mengetahui.

Satu-satunya yang Adena tahu hanyalah ia harus segera pulang dari sekolah dan bertanya pada Ma'e tentang apa yang harus ia lakukan. Selepas membenahi diri Adena lekas ke luar dari kamar mandi dan kembali terkejut. Serupa darah haid pertamanya, Denandan juga muncul tanpa diduga.

"Kamu diare?" tanyanya cepat tanpa basa-basi.

Adena menggeleng. "Aku nggak apa-apa," jawabnya singkat seraya menyembunyikan kedua tangannya yang bergetar di belakang tubuh.

Kening Denandan mengerut. Anak itu masih tidak puas dengan jawaban lawan bicaranya. Denandan tidak bodoh untuk mengetahui kalau Adena menyembunyikan sesuatu.

"Kamu lari lari dari ruang OSIS sampai kamar mandi tuh kenapa? Aku lihat kamu lari megang perut. Sakit, ya?" tebaknya tepat sasaran.

Perut Adena kembali menyiksa empunya. Adena meringis, sementara Denandan langsung tahu ada yang tak baik. Namun, sebelum anak itu menerka bulir air mata di pipi Adena sudah terlebih dahulu menyapa.

"Aku ... haid... sakit," lirih Adena. Kepalanya tertunduk, membiarkan tetesan air matanya menyentuh lantai.

Denandan terdiam. Suatu perasaan mendorongnya untuk membuka jaket dan melilitkannya pada pinggang Adena. "Pakai, ya, Ade. Nanti kalau bocor bahaya."


Adena mengangguk. Rasa malu perlahan hinggap tetapi ia hanya diam. Ia hanya bisa diam saat Denandan mengambilkan tasnya yang masih di teras ruang OSIS. Gadis itu bahkan hanya dapat pasrah saat bagian lengannya yang tertutup seragam lengan panjang ditarik Denandan untuk bergegas ke luar dari sekolah.

Andaikan ia punya tenaga, sudah sejak tadi Adena marah-marah bilang ia bisa mengerjakan apa pun sendiri. Gadis itu hanya bisa diam, mengikuti Denandan hingga sampai ke warung tempat anak itu menitipkan motor. Rasa malu kian terbit, pekan lalu ia memberi ceramah atas tindakan Denandan yang melanggar aturan sekolah-dilarang mengendarai sepeda motor-dan hari ini ia terbantu akan keilegalan tersebut.

Ironi bukan? Adena ingin sekali marah pada keadaan. Saat ini di atas motor Denandan, ia hanya bisa memikirkan bagaimana hidupnya akan berubah di masa mendatang. Saat ini saja gadis itu duduk di pojokan, menjaga jarak bersama untaian kalimat Abah.

"Kalian kalau sudah mulai haid atau mimpi basah siap-siap! Jaga jarak antar teman!"

Motor berhenti tepat di depan sebuah minimarket. Adena heran tetapi sekali lagi, gadis itu sedang tidak punya kekuatan untuk melawan. Ia menunggu di depan minimarket sembari memerhatikan Denandan yang tengah membeli sesuatu. Rasa sakitnya kian menjalar, Adena tak mampu menahan air mata. Persetan nanti Denandan akan mengejek, ia sudah tidak kuat.

"Ditinggal bentar kok nangis? Sakit banget ya?"

Adena menunduk dan mengangguk. Wajahnya memerah, tak berani melihat pemilik suara. Sementara Denandan tersenyum tipis. Adena kembali menjadi kucing jalanan yang tampak menyedihkan.

"Ade lihat dulu. Jangan nunduk," bujuk Denandan sambil tersenyum.

Helaan napas terdengar. Adena terpaksa mendongak dengan mata yang sembab dan hidung memerah. Tangisnya makin deras melihat sebatang cokelat yang Denandan ulurkan.

"Terima kasih. Deden baik," katanya sambil terkekeh geli. Tangannya terulur mengambil cokelat dari Denandan yang bernapas lega.

Adena tersenyum. Manusia sedikit katanya selalu punya cara untuk mengubah hari sedih menjadi bahagia.

•••

Author's Note :

Haloo ini Nasylaawa. Penulis buku yang membuat covernya sendiri😎✌️

Ilustrasi bab ini bisa dilihat di cover ya, mwehehehe.

See you next day!

Denandan dan Sebatang CokelatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang