2. Adeden

11 5 0
                                    

Pernikahan adalah foto Ayah dan Ibu yang selalu terpajang cantik di ruang tamu. Setidaknya itulah hal yang melekat di kepala Denandan sampai usianya tiga tahun.

Lebih dari jangka waktu tu, Ayah dan Ibu yang harmonis serta liburan akhir pekan yang menyenangkan hanyalah mimpi. Pernikahan bagi Denandan menjadi pecahan piring di dapur atau pekik dan makian tiap malam. Tanpa seorang pun teman, anak itu jadi selayaknya kamera pengawas di tempat kejadian perkara—diam dan merekam.

Lebih menyeramkan dari itu, Denandan sempat berpikir bahwa pernikahan adalah gerbang kematian. Tapi, kenapa adik yang belum menikah juga ikut mati?

Ibu bilang namanya berarti kebahagiaan, tapi kenapa tidak ada yang bahagia karena memilikinya?

Kenapa rumah jadi sepi tanpa ibu yang sering bilang mau memberinya adik bayi?

Semua pertanyaan memenuhi pikiran Denandan yang baru saja genap lima tahun. Kebingungan makin menjadi tatkala Ayahnya mendadak menghubungi agen pembantu pindah rumah dan mengemasi pakaian mereka. Seperti kilatan cahaya, tiba-tiba saja Denandan sudah sampai di rumah neneknya. Nenek yang wajahnya tidak ia ingat. Denandan hanya ingat kalau neneknya meninggal 3 bulan lalu, dan Denandan tidak bisa ikut ke sini karena harus pergi karya wisata.

Seminggu berlalu, dan yang paling jelas di ingatan Denandan beberapa hari ini adalah suara cempreng tetangga barunya. Adena yang sering berkepang dua entah bagaimana dapat menggantikan suara baku tembak dari permainan video favoritnya. Tadinya Denandan pikir lesung pipi Adena yang mirip dengan milik ibu adalah alasan kenapa Denandan senang bermain dengan anak perempuan itu. Makin lama, Denandan menyadari bahwa ada satu hal lain milik Adena yang lebih menarik.

Ma'e dan adik bayi. Perpaduan terbaik menurut Denandan, apalagi karena Pa'e selalu memberinya uang untuk jajan. Perlakuan khusus yang membuat Adena kesal.

"Kenapa Denan dikasih aku nggak?"

"Denan kan mainnya di luar, butuh uang. Perempuan mah mainnya di dapur saja.," jawab Pak Aan sambil melenggang pergi.

Denandan tidak mengerti apa-apa. Ia selalunya hanya memegang uang dari pa'enya Adena sambil bertanya-tanya kenapa si teman baru menatap punggung pa'enya dengan marah sambil menahan bulir air mata yang hendak turun. Ekspresi sedih, hanya itu yang Denandan tahu dalam keterdiamannya.

Pulang dari rumah Adena, gadis itu mengantar Denandan sampai depan pintu. Tepat saat penjual es krim melintas dan menghentikan sepeda motor.

"Es krim, Dek?"

Adena ingin sekali mengangguk kalau saja bayangan harga keperluan adiknya tidak terlintas di kepala. Pa'e pasti akan berceramah terkait uang kalau ia membeli jajan.

"Ade, mau?"

Adena menoleh. Denandan tersenyum tipis sambil menjembreng uang lima ribu yang Pak Aan beri. Mata Adena membulat, tentu iya mau!

"Boleh?"

Denandan mengangguk dan segera menuju ke penjual tersebut. Adena mengekor di belakangnya, terlihat segan tapi ingin. Lagi pula itu kan uang ayahnya, dan Denandan hanya mendapatkan itu karena anak itu laki-laki.

Setelah melayani, penjual itu pergi. Menyisakan dua anak yang sedang saling senyum dengan senyum manis dan senyum kalem.

"Main ke rumahmu boleh? Makan es krim," tanya Adena, binar harap di matanya tampak jelas.

Anggukan dari Denandan menjadi awal bagi langkah keduanya yang kini duduk-duduk di teras. Menikmati es krim berdua dalam diam ditemani dengan semilir angin sepoi-sepoi.

"Ayah ke mana?" tanya Adena memecah keheningan.

"Kelja. Pulang malam," jawab Denandan, tatapannya masih pada es krim tak bermerek di tangannya.

Adena diam sesaat, sebelum akhirnya menatap Denandan dengan binar mata penuh harap. "Aku di sini sampai malam, boleh?"

"Kenapa?*

"Di rumah kalah terus, gak asik!" sungut Adena dengan pipi menggembung.

Denandan menyunggingkan sebelah alisnya. "Belalti kalau di lumahku menang telus?"

"Iya, soalnya Deden masih belum bisa bilang R!" ejek Adena yang langsung terkekeh geli.

Denandan mendengkus sebal, samar rona merah muda tampak di pipinya yang kuning langsat. Bukan salahnya kalau dia belum lancar bilang R kan? Seperti kata Ayanya, itu takdir.

"Kenapa manggil Deden?" tanya Denandan mencoba mengalihkan topik.

"Gak pa-pa. Lucu aja," jawab Adena sambil tersenyum simpul, memperlihatkan sejenak kedua lesung pipinya.

"Kamu juga kenapa manggil aku Ade?"

Denandan menoleh ke sembarang arah, sekilas merasa malu dan tak nyaman. Pelan ia menjawab, "Soalnya kalau Dena nanti milip namaku. Boleh, kan?"

Adena paham, ia mengangguk kemudian fokus menandaskan es krim di tangannya. Denandan sudah selesai dari tadi, tatapannya kini tertuju pada Adena yang tengah menghabiskan es krim. Detik ini entah kenapa Adena jadi tampak semenarik pengisi acara mukbang di internet.

"Ade, es klimnya enak ya?"

Adena mengangguk. Denandan masih memerhatikan. Anak itu menyadari sesuatu yang berbeda, Adena tanpa kepang duanya.

"Ade, hali ini nggak dikepang?"

Adena menggeleng. "Malas."

Denandan mengangguk. Entah kenapa keberanian seperti ini datang lebih cepat sebelum waktunya. Keberanian yang langsung membuat pihak terkait kaget sekaligus tertawa.

"Ade hali ini cantik."

•••

Author's Note :

Halo, ini Nasylaawa, habis nulis sambil sebel karena kerja kelompok #salamindividualis

Masih hangat, sehangat anak cadel yang sudah tidak macam es batu, aw aw. #excitedsendirian

Mari terus menemani dua anak ini besar, jadi ....

See you next day! ;))

Denandan dan Sebatang CokelatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang