Waktu berlalu, pukul sembilan malam Pak Vino mengantar Adena pulang. Denandan sudah berlabuh dalam pulau kapuk, kelelahan setelah bermain. Beberapa meter mereka melangkah, Adena sampai ke teras rumah. Anak itu menguap sambil tangannya mengucek-ngucek mata.
Pak Vino tersenyum. "Dena, ngantuk?"
Adena menggeleng penuh kebohongan.
Kekeh geli terdengar. Pak Vino mengacak rambut Adena yang terasa seperti putri sendiri. Selintas bayangan wataknya di masa lalu terputar ulang.
Pria itu menatap Adena dengan tatapan sendu. "Dena mau janji satu hal nggak sama Om?" tanyanya dengan suara yang sedikit parau.
Adena mengucek matanya dan mengangguk.
"Jangan pacaran sama Nandan ya, sampai besar, jangan."
Mata bulat Adena berkedip lucu. Entah karena rasa kantuk atau memang gadis kecil itu setuju, yang jelas ia mengangguk menyanggupi. Anggukan yang langsung memberi rasa lega di hati Pak Vino. Harapan bahwa pertemanan kedua anak itu tidak akan berubah menjadi rasa canggung berkembang sejak malam itu.
•••
Denandan tidak pernah berubah di mata Adena selama menjalani kelas 2 SD. Masih anak yang malu untuk memulai percakapan apalagi sebuah pertemanan. Bedanya, sekarang anak itu tidak lagi bergantung pada Adena. Ia mulai bisa menyampaikan keinginannya tanpa bantuan siapa pun, walau dengan pipi yang memerah dan pelafalan patah-patah.
Hal yang berbeda baru terjadi saat naik ke kelas tiga dan mereka memiliki tetangga baru. Priya namanya, gadis usia 13 tahun yang di mata Adena terlihat sangat keren karena bisa membuat kerajinan tangan. Rumah mereka berjauhan, tapi Adena tidak pernah berpikir panjang untuk berkunjung. Selalu menyenangkan berbincang dengan gadis itu, apalagi karena rumahnya yang menghadap ke lapangan bola. Setiap sore sorakan penonton yang didominasi bapak-bapak selalu menggema.
Tidak ada gula tidak ada semut. Begitu pula Adena yang tidak mungkin berjalan sendirian. Selalu ada Denandan di belakang langkahnya dengan tatapan penasaran. Sangat berbanding terbalik dengan mulutnya yang terkunci rapat tanpa satu pun pertanyaan.
"Mbak, mbak, kenapa namanya Priya padahal Mbak wanita?" tanya Adena suatu hari, tangannya sibuk melipat kertas mencontoh gerakan Priya.
Denandan di samping Adena melotot dan menabok tangan Priya. Baginya pertanyaan tentang hal-hal pribadi adalah tabu.
Priya terkekeh geli. "Priya itu ada maknanya."
Mata Adena berkedip-kedip, dengan penuh antusias ia bertanya, "Apa Mbak artinya?"
Senyum tulus terbit dari wajah gadis itu saat menjawab, "Priya artinya yang tersayang. Kalau Adena?"
"Lemah lembut, bisa juga bahagia, atau indah," jawab Adena, lesung pipit khasnya kini tampak jelas.
Priya tersenyum senang. "Sama banget kayak kamu," pujinya.
Adena tersipu, sementara Denandan merotasikan bola matanya. Baginya Adena bukan orang yang lemah lembut. Condong terlalu senang bercanda dan tegas malah. Sedikit mirip ayahnya sedang marah.
"Kalau Denan artinya apa?" tanya Priya, tatapannya masih berfokus pada tangan yang tengah melipat kertas.
"Denandan. Nandan itu bahagia, De itu The. Jadi The Happiness," jawab Adena mewakili sembari tangannya memutar setengah lingkaran membentuk serupa pelangi dalam khayalan.
Lagi-lagi Priya terkekeh geli. Baginya dua tetangga baru ini sangat lucu dan menggemaskan. Persis seperti anak tikus dan anak kucing yang berteman dalam kebahagiaan. Lebih lucu lagi saat melihat Denandan yang hanya menyimak tanpa mau menyampaikan pendapat. Seperti anak kecil yang selalu mengikuti ibunya pergi ke pasar tanpa tahu apa saja yang ibunya beli.
"Woe cowok!"
Seruan itu tentu menginterupsi seluruh orang yang ada di dalam rumah khususnya Denandan. Anak lelaki itu dengan kaku menunjuk dirinya sendiri sebagai isyarat tanya, tentang apakah dia yang dimaksud atau bukan.
"Iya, lah! Siapa lagi? Ayo ikut main sepak bola!"
Mendengar ajakan itu, netra Adena langsung berbinar. Ini kesempatan yang besar bagi Denandan untuk punya lebih banyak teman! Secara cepat Adena langsung mendorong punggung sang sahabat karib sebagai pesan untuk lekas bergegas. Sayangnya, Denandan tidak tertarik dengan ajakan tersebut. Anak itu malah memberi sebuah gelengan acuh tak acuh yang langsung memicu tangan Adena untuk maju.
Plak!
Satu tabokan di paha berhasil membuat Denandan meringis. Ditatapnya Adena dengan pandangan kesal.
"Apa? Aku gak bisa main bola!" serunya tak terima.
Anak lelaki yang memberi ajakan menambahkan, "Bisa, kok! Jaga gawang, ya. Nanti kalau bolanya mendekat kamu tahan."
"Nah, tuh, sana!" seru Adena sebelum Denandan berakhir nyaris bersujud dari keadaan yang semula duduk di hamparan keramik rumah Priya.
Agaknya anak tadi satu spesies dengan Adena. Melihat dirinya kesusahan adalah satu hal yang sangat mereka inginkan. Mau tak mau karena sudah malas berdebat akhirnya Denan berdiri lantas mengenakan sandal. Matanya memicing pada Adena yang kini tertawa tanpa suara. Awas nanti!
Selepas sandalnya terpakai Denandan berbalik badan. Ia mengikuti langkah anak itu sambil berkata sekali lagi, "Aku gak bisa main bola pokoknya."
Anak itu mengangguk maklum. Ia berkata dengan nada yang bagi telinga Denandan terdengar seperti merendahkan. "Aku Banu, anak Pak RW. Kamu Denandan kan, cucunya nek Rahmi? Pantas gak bisa main bola, orang kota."
Denandan acuh tak acuh akan asumsi Banu terhadap dirinya. Sedari kecil ia tidak pernah tertarik akan pandangan orang lain. Baginya itu hanyalah hal yang merepotkan dari menjadi seorang manusia yang punya banyak kekurangan.
"Kamu temannya Adena kan? Masih teman? Apa pacar?"
Langkah Denandan terhenti. Ucapan Banu terasa seperti sebuah keganjilan besar.
"Anak kecil gak boleh punya pacar," sanggah Denandan, masih teringat jawaban ayahnya satu tahun yang lalu.
Banu mengerutkan keningnya. Sedetik kemudian dia tertawa geli. Dalam dunia anak itu, Denandan yang patuh dan berpikir dirinya masih seorang anak-anak adalah sebuah keanehan.
Senyum miring menghiasi tampang jenaka Banu. Anak Pak RW itu melontarkan sebuah celetuk yang menjadi gerbang dari pertanyaan besar Denandan di usia yang menginjak angka delapan.
"Boleh. Aku punya. Mau aku kasih tahu caranya?"
•••
Author's Note :
Haloo!
Nasylaawa di sini, masih dalam edisi mengingat dulu aneh banget lihat teman kelas 2 SD sudah punya pacar, terus lebih kaget pas kata adek temannya ada yang udah ganti-ganti pasangan. Apalah daya saya yang cinta pertamanya di usia belasan dan langsung bertepuk sebelah tangan? #ngenes
Apa pun itu, semoga Denandan tetap jadi anak yang manis sampai di akhir #senyummenyimpansesuatu
See you next day!
KAMU SEDANG MEMBACA
Denandan dan Sebatang Cokelat
Roman pour AdolescentsRumah bagi Denandan tidak lengkap tanpa seorang ibu, karena itu ia lebih suka main di rumah Adena. Sementara bagi Adena, rumah di mana lelaki memenangkan segalanya adalah sebuah penjara. Maka dari itu, ia lebih suka main dengan Denandan karena anak...