Telah habis sudah cinta ini
Tak lagi tersisa untuk duniaAlunan gitar memenuhi ruang tamu rumah Pak Aan. Denandan duduk di salah satu kursi sambil memangku benda kesayangannya. Tatapan anak itu terfokus pada jemari sambil memetik senar dengan hati-hati.
Karena t'lah kuhabiskan
Sisa cintaku hanya untukmu"Den, stop! Udah lima kali! Bosen, ganti ah!" sewot Adena yang tengah mengutak-atik kamera milik Pak Vino.
Sudah setengah jam sahabatnya itu menganggu hari Minggunya dengan tiba-tiba datang dan memohon untuk ditemani bermain gitar dengan lagu yang sama. Adena ingin sekali meninggalkan anak itu kalau saja ia tak menyadari kesedihan di mata Denandan. Namun, tetap saja. Menghabiskan waktu diiringi melodi gitar sumbang dan suara pas-pasan sambil mengutak-atik hal baru jelas membuatnya kesal.
"Lav gak pernah bosan," lirih Denandan, tatapannya nanar tertuju pada lantai.
Adena memutar bola matanya, rasa malas menjalar tiba-tiba. "Ya udah nyanyi ke pacar kamu!"
Denandan menggeleng lemah, tatapannya masih tertuju di lantai seperti anak kecil yang baru saja kehilangan uang. "Udah putus."
"Ha?" Adena refleks menoleh.
"Iya, putus. Seminggu yang lalu. Tadinya biasa aja, tapi kok lama-lama kerasa kosong, ya." Denandan menghela napas, jemarinya lemah memetik senar gitar sembarang.
Di saat ini, Adena bingung harus bertindak seperti apa. Di satu sisi ia sangat ingin menertawai, tapi di satu sisi ia ingat bahwa sakitnya patah hati bukan hal sepele. Masalahnya, ia tidak pernah pacaran dan hanya dapat menggaruk tengkuknya yang tertutup kerudung, menanti Denandan bercerita.
"De, nggak mau kepo gitu apa alasannya?" tanya Denandan lebih terdengar seperti paksaan untuk bertanya.
Adena menghela napas. "Ya udah, apa alasannya?"
"Tebak!"
Tuhan, Adena ingin sekali melempar Denandan dengan kamera di tangannya sekarang! Untung saja ia masih ingat kalau kamera itu pinjaman untuk dapat mengikuti lomba fotografi.
"Bosan? Kurang cantik? Kamu suka orang lain? Atau karena dia gak cocok jadi istri? Tapi kayaknya yang terakhir gak pas soalnya kamu masih remaja. Itu alasannya Mas Rayyan pas mutusin Mbak Pri—"
"Iya, yang terakhir. Kayak Mas Rayyan," potong Denandan yang jelas membuat Adena kembali terkejut.
"Maksudmu?" tanya Adena dengan nada meninggi. Tidak mungkin kan Deden lulus SMA mau langsung nikah?
"Ya, gitu De. Gak jilbaban...."
Adena mengerutkan kening. Gemas sendiri melihat Denandan yang terus bicara setengah-setengah.
"Belum siap?" tanya Adena, terdengar gemas di suaranya berharap Denandan menceritakan semuanya dengan lebih jelas.
"Belum Islam," jawab Denandan dengan lesu. Satu jawaban yang membuat Adena kaget dan bingung dalam satu waktu.
"Loh aku lihat dia di Masjid!" bantah Adena, ia yakin dirinya belum pikun.
"Itu cuma nganterin temannya shalat. Boleh sih sebenarnya, kan aku yang Islam. Tapi, kan ... masak nanti gak bisa kuimamin? Nanti gak ngaji bareng kayak yang di konten-konten?" monolog Denandan terdengar seperti pria yang galau makin tua belum dapat pasangan.
"Istighfar! Masih 15!" sentak Adena. Gadis itu memijat tulang hidungnya, menenangkan rasa pusing yang mendadak melanda.
"Aku gak tahu ya, kemarin itu cinta atau bukan. Rasanya cuma kayak bareng kamu. Malah seruan sama Ade sih, soalnya kalau Ade bisa diajak berantem. Lav tipe yang nurut semua perkataanku, waktu itu gak sengaja kubentak dia malah minta maaf, persis banget kayak Ibu. Makanya aku ajak putus, takut kalau nanti aku jadi kayak Ayah," ungkap Denandan diakhiri dengan helaan napas.
"Kamu gak pernah gitu, De, ngerasain suka cowok? Ke aku gitu, rasanya gimana?"
Pertanyaan Denandan kontan membuat Adena kembali terkejut. Sejujurnya, ada satu hal yang ia kubur rapat-rapat dari semua orang. Jawaban pertanyaan Denandan yang nyata, tetapi tidak pernah ingin ia buka. Hingga gadis itu memilih menggeleng dan kembali berkutat dengan kamera.
"Nggak. Deden rasanya kayak adik soalnya rewel. Lagian gak ada waktu, mending belajar," jawabnya kalem tanpa menoleh pada Denandan.
Bibir Denandan mengerucut. Rasanya menyebalkan ketika ia sudah pernah mengalami kemunduran prestasi, tapi Adena belum.
"Kalau nanti jodoh gak akan ke mana, kok. Kalau gak jodoh nanti pasti ada gantinya," tutur Adena, bersambut dengan anggukan Denandan.
Lagu 'Surat Cinta Untuk Starla' kembali menggema memenuhi ruang tamu rumah Pak Aan. Menemani dua remaja yang tengah menyelami dunianya masing-masing, mengejar sesuatu yang masih buram. Sebagai dua orang yang sekalipun berjalan di lajur berbeda akan sering bertemu kembali di stasiun yang sama.
•••
Author's Note :
Haloo! Nasylaawa di sini!
Sedang menulis ini sambil mendengar lagu Surat Cinta Untuk Starla, mengkhayal memori Denandan dan Lavender :') OMG pengen buat cerita mereka banget. Apa dibuat AU ya? Ahaha.
Apa pun itu, senang sekali bisa menyelesaikan Denandan dan Sebatang Cokelat dalam waktu kurang dari satu bulan :)) rasanya macam punya obat dari sulitnya perang batin setelah bertemu orang-orang sekolah :')
Terima kasih untuk pembaca yang bisa sampai di titik ini! Aku harap akan banyak yang menikmati cerita kecil ini, sekalipun mungkin belum sekarang :))
Umm, see you in another story! :)
—28 September 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Denandan dan Sebatang Cokelat
Ficção AdolescenteRumah bagi Denandan tidak lengkap tanpa seorang ibu, karena itu ia lebih suka main di rumah Adena. Sementara bagi Adena, rumah di mana lelaki memenangkan segalanya adalah sebuah penjara. Maka dari itu, ia lebih suka main dengan Denandan karena anak...