"Ade kelihatan nggak?" tanya Denandan sembari menunduk. Adena di sampingnya berusaha berjinjit demi melihat papan pengumuman yang dipenuhi banyak calon siswa.
"Nggak. Ketinggian mereka," gerutu Adena, kakinya kembali menyentuh tanah dengan sempurna.
Cengiran jahil terbit dari bibir Denandan. Anak itu menarik lengan kemeja panjang Adena untuk ke luar dari kerumunan. Hari ini hari pertama masuk SMP, ramai anak berseragam putih merah yang memadati papan pengumuman untuk melihat di kelompok mana mereka berada. Padahal sudah ada grup WhatsApp, tetapi tetap saja pengumuman ditempel secara mendadak.
Adena menatap sahabatnya dengan tatapan harap-harap cemas penuh rasa penasaran. "Sekelas gak?"
Bukannya menjawab, Denandan malah tersenyum jahil. "Tebaaakk."
Reaksi itu persis saat ia bertanya tentang kelas les untuk mempersiapkan Ujian Nasional—program yang diadakan sekolah dengan membagi siswa berdasarkan tingkat kecerdasan—apa yang berhasil anak itu masuki. Setahun belakangan Denandan sedang menggandrungi tebak-tebakan. Satu hal yang sukses membuat Adena ingin melakukan tindak fisik yang tentunya tidak diperkenankan.
"Sekelas?" tebak Adena sedikit berharap.
Denandan mengangguk dengan senyum riang. "Iya, horeeee."
Lesung pipi Adena tercetak sempurna. Binar matanya sempurna mengatakan kalau ia bahagia. Setidaknya sebelum Denandan terkekeh geli dan berkata, "Sekelas pas SD. SMPnya nggak yeee."
Pipi Adena memanas. Suara tawa Denandan bak harmoni sumbang yang saat ini sangat ingin ia enyahkan. Tanpa pikir panjang, dengan rasa kesal Adena menginjak kaki berbalut sepatu baru itu. Rasa puas terbit mengenyahkan rasa malunya saat Denandan meringis kesakitan. Sukses menukar keadaan menjadi Adena sebagai tokoh yang berbahagia.
"Jangan usil makanya! Kelas berapa aku?" todong Adena. Dagunya terangkat dengan senyum mengintimidasi, persis ekspresi andalan preman pasar.
Denandan mencebik, kakinya masih sakit akibat injakan kuat Adena. Ia menjawab dengan lesu, "Kamu 7A aku 7D."
Adena mengangguk bersama dengan terbitnya senyum jahil. Ia berjalan bersama Denandan di koridor sambil mengingat ucapan Priya tempo hari.
"7A tuh kelas unggulan. Kamu bakal punya banyak kesempatan di sana. Anak kelas 7 masuk unggulan kalau NEMnya 30 besar. Kebalikannya, 7D, kelas terakhir ya isinya anak 30 besar dari belakang. Terutama anak yang masuk jalur profesi orang tua sebagai guru dan nilainya anjlok."
"Orang kalau senyum sendiri biasanya stres," sindir Denandan, tentu anak itu tidak tahu apa yang Priya bicarakan semalam.
Melalui ucapan Priya, Adena jelas tahu siapa ranking terakhir dari 120 anak yang diterima di sekolah favorit ini. Sekolah ini memang incarannya, dan sudah menjadi hukum alam bahwa putra Pak Vino akan selalu mengikuti ke mana pun putri Pak Aan melangkah. Akhirnya, hari ini di koridor Adena menahan tawa, mencoba menyembunyikan fakta dari sahabatnya yang pandai tapi sangat mencintai warna merah pada rapot.
"Dih malah nahan ketawa. Orang tukang ketawa gak tinggi tinggi, nanti gak bisa lihat papan pengumuman," sindir Denandan sekali lagi. Sayangnya, sindiran itu selayaknya bom yang sukses membuat Adena tertawa terbahak-bahak.
"Bisa, ya! Habis sunat nggak usah banyak gaya! Tunggu aku dapat menstruasi!" balas Adena tak mau kalah. Menyebalkan sekali rasanya didahului perkara tumbuh tinggi.
Denandan tersenyum miring. Teman-teman perempuannya bertambah tinggi sangat cepat. Ia jadi selalu bertanya-tanya, seberapa tinggi Adena setelah dapat menstruasi pertama? Apakah akan melebihi saat mereka kecil? Atau gadis itu akan tetap sebahunya?
Denandan tidak tahu. Ia hanya tahu, di masa kini berhenti di depan pintu kelas Adena membuatnya merindukan momen makan bekal bersama saat mereka masih kecil.
•••
Rain selalu berkata Adena adalah kembaran magnet. Selain dapat menarik benda-benda logam di sekitarnya, Adena juga dapat dengan mudah menarik orang lain untuk menjadi teman. Hanya dengan uluran tangan disertai senyum manis, sebelum perkenalan di depan kelas hampir semua anak sudah mengenalnya.
Tepuk tangan mengudara dari Rain yang kini merasa geli karena terseret ketenaran. Menjadi teman sebangku gadis magnet lagi adalah salah satu kebahagiaan yang ia dapat pagi ini. Rasanya tidak sia-sia mendekati Adena sejak kelas lima untuk meminta tips lomba hingga mendapat prestasi yang cukup untuk masuk ke sekolah favoritnya.
"Dena, terima kasih, ya," kata Rain setelah Adena kembali duduk karena lelah menyalami anak-anak perempuan. Adena jelas tampak kebingungan.
"Buat lombanya, jadi bisa masuk sini, masuk Amazing lagi," sambungnya kemudian.
Adena berdecak. "Kan udah kubilang gak usah makasih! Tips dari aku kalau kamu gak berusaha mengolah ya gak guna."
Rain tertawa geli. Ia mengangguk paham, walau dalam lubuk hati terdalam ia masih sangat ingin berterima kasih.
"Ngomong-ngomong, Amazing? Luar biasa?" tanya Adena, keningnya kembali mengerut tengah berpikir.
"Kelas kita, kan A. Dari dulu udah dibikin penjabaran gitu, A-D," jelas Rain, kakaknya yang merupakan alumni sekolah ini pasti telah memberi gadis itu banyak wejangan.
"Kalau B?"
"Brave. Kata kakak kelas B suka berani nantangin kelas A adu nilai." Rain tertawa di ujung kalimat, persaingan nilai selalu jadi hal yang lu cu bagi gadis itu.
"C? Cool?" terka Adena yang disambut acungan jempol dari Rain.
"C biasanya isi anak-anak dingin, cakep, tapi suka nyepelein. Anak organisasi tuh dari dulu langganan di C."
Adena tersenyum, menahan tawanya agar tidak ke luar. Rain memaparkan pengetahuannya seperti emak-emak ketua gosip di pedagang sayur.
"Kalau D? Diligent?" tebak Adena mencoba untuk berprasangka baik.
"No! D is different. Berbeda, agak lain. Biasanya sih karena mereka rame terus dipanggil guru, tapi malah cengengesan. Malah pada suka, jadi bahan guyonan. Kayak kamu tahu Banu? Kayak gitu modelannya. Untung anak itu gak masuk sini," cerocos Rain, jelas sekali gadis itu tidak menyukai Banu.
Adena perlahan jadi merenung mendengar ucapan Rain. Denandan ada di kelas D, dan untungnya Banu tidak ada di sini. Namun, membayangkan anak itu ada di kelas yang mayoritasnya anak nakal membuat Adena merasa khawatir. Terlebih sebab masa SMP adalah masa pencarian jati diri.
Helaan napasnya bersamaan dengan masuknya seorang guru cantik berkerudung dengan hiasan bros berbentuk bumi. Nama 'Rumaisha' tercetak jelas pada papan namanya. Adena tersenyum. Ia berusaha untuk tidak mengkhawatirkan Denandan dan kelasnya karena setiap angkatan pasti berbeda.
Lagi pula sekarang ia punya hal lain untuk dipikirkan. Wali kelasnya yang baru tampak menyenangkan.
•••
Author's Note :
Haloo! Nasylaawa di sini.
Sedang berlari menuju kebebasan berbicara. Haha :'
Idk why but nulis kembali jadi pelarian yang menyenangkan :))
See you next day!
KAMU SEDANG MEMBACA
Denandan dan Sebatang Cokelat
Teen FictionRumah bagi Denandan tidak lengkap tanpa seorang ibu, karena itu ia lebih suka main di rumah Adena. Sementara bagi Adena, rumah di mana lelaki memenangkan segalanya adalah sebuah penjara. Maka dari itu, ia lebih suka main dengan Denandan karena anak...