"Tak antar pulang ya. Jangan nangis. Nanti Abah nyamperin," bujuk Rayyan sambil berjongkok.
Rasa grogi menghampiri hati. Di umurnya yang ke-16 baru kali ini ia menghadapi anak perempuan yang menangis. Untung saja masih belum mengalami fase pubertas sehingga dapat dengan mudah ia gandeng.
Walau bersama rasa malu karena Rayyan adalah seniornya, Adena berakhir menurut. Membiarkan lelaki itu berdiri dan menggandeng tangannya sambil mencoba menenangkan ia yang masih sesenggukan. Rasanya seperti punya seorang kakak yang bisa diandalkan. Bukan seperti saat bersama seorang anak manja yang sering meminta perlindungan.
"Mas." Adena memanggil dengan suara pelan.
Rayyan menoleh. "Kenapa?"
"Dulu pernah nakal? Nakalnya sampai kapan?" tanya Adena, suaranya terdengar masih pecah.
Rayyan diam sejenak. Menimbang-nimbang untuk jujur atau memberi bumbu agar lebih dapat diterima. Bersekolah di SMK Teknik jelas merupakan alasan kenapa susah sekali menjadi anak baik. Akan tidak lucu kalau Adena yang selama ini mengira dia 'Santri Abah banget' tahu di sekolah dia kadang tertular nakalnya teman.
"Setiap anak laki-laki punya waktu nakalnya, Na. Cuma ya, nakalnya itu beda-beda. Dunia lelaki biasanya lebih mengerikan dari dunianya perempuan soal pergaulan. Seumuran kamu udah banyak anak laki-laki yang ngomongnya kasar, nongkrong, main malam. Gak ada penghujatan juga untuk itu. Kalau Pa'emu pulang malam normal kan? Tapi kalau Ma'emu yang pulang malam?"
"Tetangga bakal ghibah," sahut Adena sambil meringis ngilu.
Rayyan tersenyum tipis. "Tapi bukan berarti wajar loh, Na. Jangan nyari cowok kayak gitu. Banyak kok cowok yang pergaulannya terjaga."
Kelopak mata Adena berkedip berulang-ulang. Ia mendongak menatap Rayyan yang tengah menunduk.
"Kayak Mas?" tanyanya yang langsung membuat Rayyan gelagapan lalu tertawa canggung.
"Ahaha, jangan yang anak teknik kalau bisa," jawabnya, tampak kaku sekali karena menyembunyikan fakta.
Adena kemudian berpisah di kelokan jalan. Meninggalkan Rayyan yang menatapnya dari kejauhan sampai anak perempuan itu masuk ke dalam rumah. Lelaki itu pulang sambil menatap rembulan. Entah kenapa ia jadi terpikir akan interaksi antara Adena dan Denandan.
"Jadian atau asing ya?"
•••
"Assalammu'alai—"
Ucapan salam Adena menggantung di bibir. Tangan kanannya masih memegang gagang pintu ketika matanya membulat penuh keterkejutan.
"Kum. Kalau salam jangan gantung!" tegur Pak Aan yang sedang duduk di sofa, berhadapan dengan Pak Bimo—tetangga mereka. Catur di hadapan keduanya menjadi titik atensi.
Adena menelan ludah. Ia mendekat dan mencium tangan pa'enya sambil bersusah payah menahan tangis. 'Ke tempat bapakmu' yang diucapkan Banu tadi membuatnya mengira Denandan memang bersama Pak Aan pergi ke suatu tempat. Tapi jika pa'enya di sini, lantas di mana Denandan berada?
"Pa'e ... kalau Pa'e gak main catur Pa'e mau ke mana?" tanya Adena memberanikan diri.
"Nonton Jathilan," jawabnya singkat sambil menggerakkan pion.
Pak Bimo di hadapan mereka terkekeh dan menyahut. "Alah pemainnya gak asik kok, Pak. Kesurupannya abal-abal. Malah penuh orang mabuk habis acara."
Pak Aan mengangguk dan terkekeh. Sementara Adena langsung menuju ke kamarnya dan meletakkan tas, lalu menuju ke rumah Denandan. Berharap anak itu sudah pulang atau setidaknya ayahnya ada di rumah. Adena harus melapor agar anak itu dapat segera dijemput.
KAMU SEDANG MEMBACA
Denandan dan Sebatang Cokelat
Teen FictionRumah bagi Denandan tidak lengkap tanpa seorang ibu, karena itu ia lebih suka main di rumah Adena. Sementara bagi Adena, rumah di mana lelaki memenangkan segalanya adalah sebuah penjara. Maka dari itu, ia lebih suka main dengan Denandan karena anak...