BT 06

25 3 0
                                    

Siapa yang ingin punya suami kayak Erlangga?

_________

"Nanti, kalau gue udah sukses dan banyak duit. Cincin nya gue ganti sama berlian, untuk sekarang ini dulu, gak papa kan?"

___________

"Tadi, sepupu Lo yang waktu itu kan?"

Aku mengangguk, mengalihkan tatapan dari toko-toko yang kami lewati pada Mas Erlangga. Kini, kita berdua sedang berada di mall. Aku hanya menemani, katanya Mas Erlangga ingin membeli sesuatu dulu sebelum pulang.

"Kok keliatan beda, dulu perasaan item kok tadi putih?"

"Gara-gara make up kali," ujarku sambil mengangkat bahu acuh.

Aku tidak perduli dan tidak mau tahu tentang Airini lagi. Aku hanya sempat teringat pada Paman Bima, bagaimana kabarnya sekarang?

"Tapi, mau-mau aja ya si Adit sama cewek modelan kayak dia. Dari mukanya aja udah keliatan antagonis."

Mataku membulat mendengar penuturannya, tanpa bisa menahan lagi, akhirnya aku tertawa pelan. "Apa sih, Mas? Gak usah gitu sama orang, gak baik!"

Mas Erlangga menatapku. "Lah kenapa? Dulu aja dia maki-maki kita, hina-hina kita. Masa kita gak boleh, bales balik lah!"

"Ya tetep aja gak boleh."

"Gue yakin, dulu waktu lo tinggal sama dia, pasti dia suka jahatin lo. Iya kan?" tanyanya penuh selidik.

Aku terdiam, tersenyum miris jika mengingat kejadian-kejadian dimasa lalu. Masih tersimpan jelas dalam ingatan, saat Airini menumpahkan air panas dengan sengaja hingga mengenai kaki ku. Sampai lukanya membekas, bahkan sampai saat ini.

Airini melakukan itu gara-gara lelaki yang dia cintai, malah mencintai aku. Katanya seperti itu. Tapi aku tidak tahu, dan merasa tidak pernah menggoda bahkan bertemu dengannya pun hanya beberapa kali.

"Kalau udah bengong gini, gue udah tahu jawabannya."

Aku tersenyum dan kembali menatapnya. "Udah sih, kan masa lalu. Sebenarnya kamu mau beli apa? Dari tadi muter-muter mulu."

Mas Erlangga tidak menjawab, lelaki itu menatap ku dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Jantungku berdebar saat merasakan jemariku disentuh. Dengan perasaan campur aduk, aku menunduk menatap tangan besarnya yang mulai menggenggam jemari ini dengan erat.

Rasanya tidak percaya, Mas Erlan dan aku? Kami berpegangan tangan?

"Ikut gue!"

Tanganku ditarik pelan olehnya, tanpa bisa mengatakan apapun aku hanya menatap punggung lebarnya dari belakang. Tatapan ku beralih pada nama toko yang kami masuki. Toko Perhiasan Bunda? Kenapa Mas Erlangga mengajak ku kesini?

"Mbak, tolong liat cincin nikahnya."

Mas Erlangga berucap setelah kami berdiri didepan etalase kaca yang menyimpan begitu banyak perhiasan, mulai dari cincin, gelang, kalung dan masih banyak lagi.

"Silahkan, Mas dan Mbak nya."

Seorang perempuan menyodorkan dua kotak besar, berisi cincin untuk pasangan. Aku menatapnya, kemudian mendongak menatap Mas Erlangga. Pria itu terlihat begitu serius memandangi dan memilih cincin-cincin yang ada dihadapan kami.

"Senna? Kok malah bengong, pilih mau yang mana?"

Aku mengerjap. "Aku?" tanyaku sambil menunjuk diri sendiri.

Mas Erlangga nampak berdecak, lelaki itu menarik tangan kanan ku kemudian memasang kan satu cincin di jari manis ini. Setelahnya dia melepaskan kembali, kemudian memasangkannya lagi. Kali ini cincin yang berbeda.

Benang Takdir [T A B I R C I N T A]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang