BT 23

21 2 0
                                    

Hai, vote nya dong(
•••

"Sesuai kesepakatan, Mama udah sembuh, Elang udah nikah. Sekarang kita mau pamit pulang."

Papa, Mama, Elang dan Eva menatap kami setelah Mas Erlangga membuka suara. Suamiku berdiri dari duduknya, begitu pun dengan ku. Ku tatap Papa dengan takut-takut, beliau membuang muka sambil berdecih.

Ya Allah, lembut kan lah hati Papa mertuaku itu.

"Erlangga Pa—"

"Pa, kalau Papa masih anggap Erlangga anak, biarkan Erlangga menata hidup Erlangga sendiri. Azusenna istri Erlangga Pa, mau papa gak suka atau gak setuju. Dia tetap istri aku."

Mas Erlangga melepaskan genggaman tangannya, kemudian berjalan mengitari meja, setelah berdiri dihadapan Papa dia langsung bersimpuh dilantai. Aku terdiam melihat itu dengan mata berkaca-kaca, rasanya sakit sekali hati ini ya Allah.

"Biarkan Erlangga bahagia dulu Pa, jangan ganggu kami. Jangan rusak lagi usaha yang aku bangun sendiri, selama aku hidup, aku belum pernah minta apapun. Kali ini, aku minta sama Papa dan aku mohon, jangan ganggu kami."

Papa hanya diam. Suamiku kembali berdiri, Elang langsung menyambutnya dengan pelukan hangat. Adik dari suamiku itu melepaskan pelukannya, kemudian menatap ku dengan sorot matanya yang dingin.

"Erlangga...."

Mama mulai berdiri, ikut memeluk tubuh anaknya. "Tinggallah bersama kami disini nak," pintanya dengan lirih.

"Erlangga gak bisa. Sikap kalian gak baik buat Senna, Erlangga udah liat Ma. Selama disini, Senna selalu disisihkan dia gak pernah di anggap ada, atau bahkan gak di anggap bagian dari keluarga. Mental dan kenyamanan istri Erlangga lebih penting, maafin Erlangga Ma."

Aku menunduk, menangis dalam diam. Tidak tahu harus bagaimana aku menyikapi apa yang terjadi disini. Di satu sisi aku bahagia, karena Mas Erlangga begitu mementingkan aku. Namun di sisi lain aku sedih, karena Mas Erlangga tidak bisa berkumpul dengan keluarganya gara-gara aku. Semua salah aku.

Apa yang terjadi di hidupnya, memang benar-benar aku lah penyebabnya.

"Maaf Ma, Erlangga harus pergi."

Tanganku di genggamannya erat, kemudian ditariknya pelan. Langkah demi langkah, aku mengikuti Mas Erlangga. Dia terus berjalan ke arah pintu ke luar, hatiku rasanya bagai teriris pisau saat mendengar teriakan histeris Mama.

Ya Allah, apa aku benar-benar menjadi penyebab keretakan hubungan mereka? Ampuni hamba-Mu ini. Secara tidak langsung, aku sudah memisahkan ibu dari anaknya.

Maafkan aku, aku tidak bisa melepaskan Mas Erlangga. Dia sudah menjadi tumpuan ku, sudah menjadi pondasi dalam hidupku yang sempat hancur. Aku tidak bisa kehilangan nya, tidak akan pernah bisa.

***

Ku tatap jalanan yang begitu di padati pengendara, suara klakson motor maupun mobil saling bersahutan. Aku hanya diam, sambil sesekali mengusap air mata yang masih berjatuhan.

Suara guntur tiba-tiba menggelegar keras memenuhi pendengaran ku, diikuti oleh kilatan petir dan hujan yang turun begitu deras. Sepertinya, mereka tahu jika aku sedang bersedih.

Sepanjang jalan menuju pulang, tidak ada obrolan. Hanya keheningan. Lebih tepatnya, aku yang malas berbicara ditambah Mas Erlangga juga ikut diam. Bahkan sampai rumah, kami masih sibuk dengan pikiran masing-masing.

Rasa senang ku rasakan saat kembali memasuki rumah sederhana kami, namun dalam bersamaan rasa bersalah pada Mama juga mendera hati dan jiwaku. Aku sangat sadar, aku lah yang salah disini.

Benang Takdir [T A B I R C I N T A]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang