BT 08

21 3 0
                                    

Siapa yang baper sama pasangan satu ini?

______

"Gue kan udah bilang, biar gue aja yang cari nafkah. Lo cukup diem di rumah!"

_______

"Sttt, pelan-pelan!"

"Iya, maaf."

Aku kembali membersihkan darah di sudut bibir Mas Erlangga, menatap wajahnya dari jarak begitu dekat. Sedari tadi jantungku terus berdebar kencang, semoga saja Mas Erlangga tidak mendengar nya.

Pikiran ku kembali melayang pada kejadian beberapa jam yang lalu. Apa aku harus membujuk Mas Erlangga agar mau menemui Mama, siapa tahu dia bersedia. Kasian juga Mama, pasti sekarang sedang menunggu kedatangan Mas Erlangga.

"Mas."

"Hem."

"Apa gak sebaiknya kita jenguk Mama?" tanyaku pelan.

Mas Erlangga menatapku tajam, membuat tubuhku mematung ditempat. Langsung saja nyaliku menciut seketika, entah mengapa jika Mas Erlangga berekpresi seperti ini, auranya menjadi berbeda. Lebih seram.

"Mama gak sakit."

Mataku membulat dengan kening mengerut bingung. Apa katanya? Mama gak sakit? Lalu untuk apa, Papa menyuruh orang-orang tadi membawa suamiku?

"Kalau Mama gak sakit, kenapa mereka tadi mau bawa kamu?"

"Gak tau. Tapi yang jelas, Mama gak sakit, dia baik-baik aja. Gue juga gak tahu kenapa Papa bohong, mungkin si tua bangka itu punya rencana gak baik."

Nafas Mas Erlangga memburu, sebelah tangannya nampak terkepal kuat hingga urat-urat tangannya menonjol. Aku terdiam, penasaran dengan apa yang direncanakan oleh Papa mertua.

Bukankah dia sendiri yang mengusir Mas Erlangga, bahkan memutuskan hubungan antara anak dan ayah. Lalu sekarang, untuk apa dia ingin membawa Mas Erlangga? Papa sudah membuangnya bagaikan sampah, sekarang dia ingin memungutnya kembali?

Aku sungguh tidak percaya.

"Gue tahu ini bakal terjadi, karena itu kita harus pindah dari sini."

Suara Mas Erlangga menyadarkan ku dari lamunan, kembali ku tatap wajahnya. "Terus, kita bakal tinggal dimana?"

"Gak usah khawatir, gue udah siapin semuanya." Dia balas menatapku. "Uang hasil penjualan motor dan tabungan gue selama ini, gue pake buat beli rumah dan bikin usaha. Kebetulan, yang punya orang dekat almarhum Eyang."

Aku terdiam, menatapnya begitu lekat. "Jadi, selama lima hari kebelakang kamu sibuk ngurusin itu semua, Mas?"

Dia nampak mengangguk ragu-ragu.

"Gue gak mungkin nge hidupin elo dari balapan terus, gue mau punya usaha. Sebenarnya ini rencana udah lama banget, dan baru terlaksana sekarang.

Emang, cuman usaha kecil-kecilan. Angkringan biasa, tapi lumayan lah. Kemarin yang dateng juga lumayan banyak. Kedepannya bisa bertambah kok, bismillah aja."

"Kamu jualan? Apa itu juga alasannya, beberapa hari ini kamu suka pulang malem banget?"

Lagi-lagi Mas Erlangga mengangguk.

"Kenapa gak bilang aku, Mas? Aku kan bisa bantuin kamu jualan!" sentak ku tidak terima.

"Gue kan udah bilang, biar gue aja yang cari nafkah. Lo cukup diem di rumah!"

Aku berangsur menjauh darinya, melemparkan handuk kecil yang ku gunakan untuk mengelap luka Mas Erlangga tadi ke baskom didepan ku. Cipratan air nya mengenai wajah suamiku, tapi aku tidak perduli! Dengan menahan gemuruh dalam dada, aku menatapnya tajam.

Benang Takdir [T A B I R C I N T A]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang