BT 19

16 2 0
                                    

Kita, spam lagi. Let's go 🌛

_____________

"Syukur deh, tapi soryy Dim, gua belum bisa nemenin."

"Iya, besok Lo dateng aja ke alamat yang gue kirim nanti. Ambil kunci mobilnya, yo. Wa'alaikum salam."

Ku arahkan pandangan ke sekeliling kamar yang katanya milik suamiku ini. Kamar yang begitu luas, kasur dan ranjangnya besar, semua perabotan yang ada di sini begitu lengkap. Bahkan ada televisi dan sofa. Kamar mandinya juga di dalam, tidak seperti di rumah kami. Kamar mandinya ada di dapur.

Tapi entah mengapa. Rasanya tidak nyaman dan canggung jika harus tinggal di tempat yang asing ini, walau hanya beberapa hari. Tetap saja ini bukan rumah kami. Jika bukan karena permintaan Mama, mungkin Mas Erlangga juga tidak mau berada di sini.

"Mas, kita gak selamanya disini kan?" tanyaku saat dia berjalan mendekat.

Mas Erlangga merebahkan tubuhnya di atas kasur yang ku duduki, dengan kakinya yang menjuntai ke lantai. Dia menolehkan kepalanya, kemudian merentangkan kedua tangan.

Segera aku merebahkan kepala di dadanya, balas memeluk tubuh Mas Erlangga erat. Lelehan air mata kembali mengalir, rasa sakit dalam dada ini belum bisa hilang. Perkataan Papa selalu terngiang-ngiang. Ya Allah kuat kan aku untuk menghadapi keluarga suamiku.

"Aku gak betah, mau pulang," cicit ku dengan suara bergetar.

"Cuman empat hari, setelah itu kita pulang ke rumah. Lo tenang aja, gak usah nangis dong."

Mas Erlangga memundurkan tubuh ku, dia mengusap lelehan air mata yang membasahi pipi. Aku semakin terisak, beralih menyembunyikan wajah di dadanya.

"Atas nama Papa, gue minta Maaf. Maafin sikap keluarga-keluarga gue ke lo, sabar ya?"

Ku anggukan kepala. Selama Mas Erlangga masih membela ku, masih ada di sisiku dan masih melindungi ku dari mereka. Dengan bismillah, aku bisa menghadapi segalanya. Aku sadar, kami memang tidak sepadan.

Beri hamba kekuatan ya Allah.

"Kapan Mama sama Papa bisa terima aku, Mas? Apa aku seenggak pantes itu ya, jadi istri kamu?" tanyaku sambil sesegukkan.

Pelukan Mas Erlangga semakin erat. "Udah diem, gak usah mikirin hal-hal kayak gitu! Mereka terima kek, enggak kek, Lo tetep istri gue. Selama-lamanya!"

Aku dongak kan kepala untuk menatapnya. "Ta-tapi, a—"

"Sutttt diem!" Mas Erlangga menangkup wajah ku dengan kedua tangannya. "Jangan pernah ngerendahin diri Lo sendiri, jangan pernah ngerasa kalau kita beda. Lo dan gue sama. Mau mereka bilang Lo gak pantes buat gue, gue gak peduli! Paham?!" jelas Mas Erlangga penuh penekanan.

"Iya, Mas."

"Jangan nangis, jelek!"

Aku cemberut, mendorong kasar dadanya hingga pelukan Mas Erlangga terlepas. Bukannya minta maaf, dia malah tertawa. Emang nyebelin!

"Mau liat foto-foto gue waktu kecil gak?"

Aku meliriknya kemudian mengangguk pelan. Sepertinya menarik, aku juga penasaran bagaimana masa kecil suamiku. Mas Erlangga bangkit, dia menggandeng tangan ku mendekati sebuah lemari kaca. Kami duduk di atas lantai, Mas Erlangga nampak menarik laci paling bawah.

"Dulu gue simpen di sini," gumamnya sedang aku hanya diam memperhatikan.

Mas Erlangga menarik keluar semua barang-barang yang ada di dalam sana, tanganku terulur mulai menyentuh barang-barang yang terlihat sudah lama namun bebas dari debu. Tentu saja, pelayan disini banyak yang ditugaskan untuk mengurus rumah.

Benang Takdir [T A B I R C I N T A]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang