BT 34

20 3 0
                                    

Kembali nya Mas Erlangga membuat rumah menjadi hidup dan berwarna. Tidak ada lagi kesunyian, kesepian, kesendirian, yang ada hanya keceriaan juga kebisingan Mas Erlangga. Bahagia sekali rasanya, sampai-sampai aku tidak bisa menjabarkan semuanya lewat seuntai kata.

Aku merasa diberi kehidupan lagi, perasaan hampa yang selalu ku rasa langsung sirna. 

Tidak bisa ku menahan diri untuk tidak tersenyum, karena sungguh aku sangat bahagia. Kembali merasakan semangat hidup, kembali mendapatkan pelukan hangat, perhatian dan omelan Mas Erlangga, semua begitu berarti. 

Mas Erlangga adalah kebahagiaan ku, separuh jiwaku, cintaku, duniaku dan segalanya. Hanya dia yang kumiliki setelah Tuhan mengambil orang-orang yang berarti dalam hidupku, Ummah dan Abah. 

Memang benar, jika kamu ikhlas atas takdir-Nya, atas ketentuan-Nya, atas kehilangan sesuatu yang berharga. Allah pasti akan menggantikan semua dengan yang lebih dari sebelumnya, di waktu yang memang tepat menurut-Nya.

"Nah udah, tinggal pakek jepitan. Ngadep sini coba."

Lamunanku buyar seketika. Tanpa diminta dua kali, dengan senang hati aku langsung mengubah posisi duduk menjadi menghadap Mas Erlangga. Tersenyum manis saat melihat nya begitu serius memasang kan jepitan di setiap sisi rambutku.

Dia berdecak, beralih menangkup kedua pipi ku dengan tiba-tiba. "Cantik banget sih, istrinya siapa ini?"

"Kamu," jawabku malu-malu.

Mas Erlangga terkekeh kemudian memutar tubuh ku agar kembali menghadap cermin meja rias. Aku berkedip beberapa kali saat menatap pantulan wajahku di cermin, ternyata kepangan Mas Erlangga tidak buruk. Bagus, aku suka. Mana dua lagi, lucu kayak anak TK.

Selain terampil dalam hal menjerat ku dengan pesona nya. Ternyata dia juga terampil dalam hal seperti ini. Mengejutkan sekali.

"Senna ...."

"Ya Mas?" sahutku sambil menatapnya melewati pantulan cermin.

Beberapa saat dia hanya diam dan terus menatapku, kemudian dengan tiba-tiba melingkarkan tangan besarnya di leherku. Menghadiahi sebuah kecupan kecil di pipi. Aku hanya tersenyum dengan jantung berdebar, kenapa sikap Mas Erlangga semakin manis? 

Aku sangat suka, tapi ... tidak aman untuk jantungku. 

"Lo jadi kurus gini, gue gak suka. Maafin gue, Senna. Maaf."

Ku ukir senyum, mengusap lengan besarnya lembut kemudian menggeleng pelan. "Apasih Mas? Aku ya gini-gini aja, enggak kurus. Jangan merasa bersalah, kan bukan kemauan kamu juga. Semua yang kamu lakuin demi aku kan?"

Mas Erlangga melepaskan pelukannya, dia beralih berdiri dihadapan ku kemudian berjongkok. Mengusap perutku dengan lembut, sesekali mengecupi nya. Pemandangan yang berhasil membuat darahku berdesir dan hatiku menghangat. 

"Semuanya demi kalian, demi masa depan yang lebih baik. Gue gak mau punya anak tapi ekonomi kita gini-gini aja, Senn. Walaupun berat gue paksain ngelakuin ini, gue belajar bisnis di bawah pimpinan Elang, gue berusaha buat ngerti sama tumpukan berkas-berkas yang bikin gue pusing tiap hari. 

Gue bertahan walau rindu banget sama Lo, khawatir sama kandungan Lo. Gue gak bisa, gue sedih ninggalin Lo sendiri. Maafin gue Senn, maaf." 

Bahu Mas Erlangga bergetar hebat, dia merebahkan kepalanya di pangkuan ku. "Semuanya demi kalian. Maafin Ayah, bukan maksud Ayah ninggalin Bunda sama kamu. Jangan benci Ayah."

Tangisku pecah seketika. Ku usap rambutnya dengan lembut. Sakit sekali mendengar semua itu. Aku tahu, dia sama-sama serba salah. Dia berjuang untuk kebahagiaan aku sebagai istrinya, dan bayi kami yang sedang ku kandung.

Benang Takdir [T A B I R C I N T A]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang