BT 09

27 1 0
                                    

Masih spam🤣

______

"Saya terima nikah dan kawinnya Azusenna binti Herman Abdullah dengan maskawin tersebut dibayar tunai!"

_______

"Buat urus persyaratan daftar nikah di KUA."

Mataku membulat sempurna. "Hah?"

Terlihat Mas Erlangga membuka matanya, kemudian menatapku lekat. "Kita nikah ulang, biar punya buku nikah. Pak RT di tempat ini gak percaya kalau kita udah nikah secara agama dan baik-baik, padahal gue udah kasih bukti foto dan jelasin."

Aku terdiam. Jika pernikahan kami sudah sah secara agama maupun negara, Mas Erlangga akan semakin terikat. Dia tidak bisa menalak ku atau meninggalkan ku begitu saja. Itu menguntungkan untuk ku, tapi ....

Bagaimana jika dia berubah pikiran dan ingin bercerai suatu hari nanti? Pasti prosesnya akan begitu panjang dan alot, dan juga memerlukan biaya.

Apa dia sungguh-sungguh dengan perkataan nya? Dia sudah yakin ingin menjadi pendamping hidupku? Menua bersamaku? Jujur, aku hanya ingin menikah sekali seumur hidup. Seperti Abah dan Ummah.

Aku juga takut akan mencintai suamiku ini, tidak bisa ku bayangkan sesakit apa jika suatu hari dia meninggalkan ku.

"Heh! Malah bengong!"

Aku tersentak kaget, kembali menatapnya dengan dalam. "Kamu yakin, Mas?"

"Yakinlah. Kalau gak yakin, buat apa gue dateng ke KUA buat daftar nikah? Kenapa, lo gak mau punya suami kayak gue?"

"Nggak, gak gitu!" bantahku cepat. "Cuman ..."

"Cuman apa?!" tanyanya ngegas.

Aku menunduk dalam, menggeleng pelan. "Gak papa."

Biarlah. Biarkan saja takdir dan rencana Tuhan berjalan dengan semestinya. Aku hanya perlu ikhlas menerima, menunggu hal mengejutkan apalagi yang berada di depan sana.

***

Setelah memenuhi persyaratan dan mengurus surat-surat, akhirnya hari ini kami bisa menikah di KUA. Seperti ucapan Mas Erlangga beberapa hari yang lalu.

Kini, aku dan dia duduk bersebelahan menghadap seorang penghulu. Jantungku sedari tadi sudah berdebar kencang, rasanya bagai dejavu. Bedanya, kali ini kami menikah tanpa ada paksaan dan ancaman dari berbagai pihak.

Semua murni atas persetujuan aku dan Mas Erlangga.

"Tidak ada yang bisa menjadi wali?"

Aku sedikit tersentak saat Bapak Penghulu melontarkan pertanyaan sambil menatapku. Ku ukir senyum tipis dan menggeleng.

"Abah saya sudah meninggal Pak, dan Paman Bima, adik dari pihak Abah gak bisa hadir."

Lebih tepatnya, dia tidak mau menjadi wali nikahku. Satu hari sebelumnya aku sudah memberikan kabar, walau sudah tahu jika dia akan menolak mentah-mentah dan tidak perduli. Bukannya mendapat dukungan dan restu, istri dari Paman malah kembali memarahi dan menghinaku.

Sedari dulu, Bi Salsa memang tidak suka padaku. Mungkin karena aku menjadi beban di keluarga nya.

"Ya sudah, Bapak saja yang jadi walinya, tidak apa-apa." Pak penghulu tersenyum. "Mau di mulai sekarang? Atau masih menunggu keluarga yang lain?"

Aku dan Mas Erlangga kompak saling lirik, suamiku itu nampak menggelengkan kepala dan langsung mengulurkan tangan kanannya lebih dulu. "Kita mulai saja Pak, kami tidak punya keluarga."

Benang Takdir [T A B I R C I N T A]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang