BT 26

30 4 3
                                    

Ehem!💏

***

"Ruang operasi sudah siap, Dok."

"Baik."

"Tolong selamatkan anak saya, Dokter."

"Baik Nyonya, apa anda ingin melihatnya lebih dulu?"

Aku segera berdiri melangkah maju. "Aku, aku mau melihat Mas Erlangga."

Ku tatap semua orang dengan tatapan memohon belas kasihan, dengan tersengal-sengal aku menatap Papa. "Aku janji, ini terakhir kalinya Pa."

Papa mengalihkan tatapannya ke arah lain. "Biarkan dia masuk."

Seketika senyum ku terbit, tanpa menunggu lama aku segera berlari memasuki ruangan yang terdapat Mas Erlangga. Dengan langkah pelan aku mendekati tubuh suamiku yang terbaring di atas brankar dengan berbagai alat tertempel di tubuhnya, tangisku kembali pecah saat mengingat bahwa aku tidak bisa lagi bersamanya.

"Mas ..." panggil ku lirih sambil menatap wajahnya.

Semua kenangan-kenangan indah kami langsung berputar dikepala ku, saat ku genggam erat tangannya. Setelah ini, aku tidak bisa lagi mendengar suara bentakan kamu Mas, tidak bisa lagi merasakan kehangatan pelukan kamu, tidak bisa lagi mengukir senyum atas kejahilan kamu.

"Maafkan aku Mas, kita harus berpisah demi keselamatan kamu. Maaf Mas, aku gak punya pilihan lain. Jangan benci aku." Ku kecup keningnya lama, kemudian berbisik di telinga nya. "Aku mencintai kamu, Mas. Sangat mencintai kamu."

Tiba-tiba ku rasa jemarinya balas menggenggam tangan ku, perlahan dia membuka mata. Aku tersenyum menatapnya, dengan pandangan kabur oleh air mata aku kembali mengecup keningnya.

Dia menoleh, menarik tanganku hingga jarak wajah kami semakin dekat. "Sen—Sennah ...." dia berucap dengan susah payah, aku mengangguk beralih mengecupi punggung tangannya.

"Iya Mas, ini aku," cicitku pelan.

Kurasa dia melepaskan genggamannya, tangan Mas Erlangga terulur mengusap pelan perutku. Ku lihat dia tersenyum kecil, sedang aku hanya terdiam tidak mengerti. Tidak lama, matanya perlahan-lahan kembali tertutup. Suara alat-alat saling bersahutan dan membuat ku panik, tidak lama Dokter masuk dan menyuruhku keluar.

Ya Allah, selamatkan suami hamba.

•••

"Singkatnya begini, akibat benturan yang sangat keras, kemungkinan besar Tuan Erlangga akan kehilangan separuh ingatannya. Dia hanya akan mengingat masa lalu, dan masa-masa sekarang, dia akan lupa."

Kembali ku usap air mata yang mengalir saat mengingat sepenggal ucapan dokter beberapa hari yang lalu. Jadi, kamu hilang ingatan ya Mas? Kamu gak ingat aku dong? Tapi baguslah, ini akan lebih memudahkan kita untuk berpisah. Kamu gak akan merasakan sakit, biarkan aku yang merasakan itu seorang diri.

Di balik pintu ruang inap, ku tatap Mas Erlangga yang terlihat diam sambil mendengarkan obrolan Mama dan Papa. Didalam juga ada Elang dan Evalia, suamiku itu nampak tersenyum sambil menunjuk kembaran nya. Mereka menjadi terlihat sangat akrab.

Sedang aku, hanya bisa menatapnya dari jauh tanpa bisa berbuat apa-apa. Menangis seorang diri dan merasakan sesak seorang diri. Datang kesini pun harus sembunyi-sembunyi, jika Papa tahu, dia pasti akan marah lagi.

Setelah mengetahui Mas Erlangga kehilangan ingatannya, papa tidak menyuruhku mengurus surat cerai. Dia bilang, aku hanya perlu pergi jauh dan jangan menampakkan diri dihadapannya. Mas Erlangga tidak perlu mengetahui jika dia sudah menikah dan beristri.

Benang Takdir [T A B I R C I N T A]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang