Bab.9 Rumah Sakit

33 17 23
                                    

Di dalam ruang rumah sakit yang sunyi, suara mesin monitor terdengar pelan, mengiringi napas Nata yang teratur meski belum sepenuhnya sadar. Nata terbaring lemah dengan selang infus yang menancap di tangannya. Wajahnya pucat, namun terlihat tenang di balik tidurnya yang gelisah. Sesekali, tubuhnya bergerak gelisah, bibirnya bergetar, mengeluarkan suara yang samar-samar terdengar.

"Nggak... Jangan pergi..." gumam Nata dalam igauannya, membuat pria yang duduk di samping ranjangnya, Angkasa, menoleh dengan cepat.

Tatapan cemas tampak jelas di wajah Angkasa. Ia sudah bersama Nata sejak gadis itu tiba di rumah sakit, menemaninya di setiap detik yang berlalu.

Meskipun ragu, Angkasa mencoba untuk menggenggam tangan Nata dengan erat, berharap sentuhannya bisa memberikan ketenangan.

"Nata... Kamu kenapa, aku ada di sini," ucapnya pelan, seolah berharap kata-katanya bisa menembus alam bawah sadar Nata.

Namun Nata masih terus mengigau, suara pelan dan raut wajahnya yang sedih membuat hati Angkasa semakin bergetar.

"Nggak... Aku nggak mau sendirian... Jangan tinggalkan aku..." bisik Nata lagi, suaranya bergetar penuh ketakutan. Angkasa menarik napas panjang, berusaha menahan rasa khawatir yang semakin menguasainya. Ia mengusap lembut rambut Nata, mencoba menenangkan.

"Aku nggak akan pergi, Nata. Aku di sini," jawab Angkasa, meski ia tahu Nata tak bisa mendengarnya.

Dia tetap di samping Nata, rasa cemas yang tiba-tiba saja membuncah membuat Angkasa merasa tak karuan. Padahal baru beberapa jam yang lalu Angkasa menghina Nata dengan kata-kata kasar yang bisa membuat Nata merasa sakit hati.

Detik berlalu, Nata terus berbisik dalam tidurnya, melawan mimpi-mimpi buruk yang menghantui. Sementara Angkasa hanya bisa bertahan di sana, menjadi saksi bisu atas segala luka yang Nata simpan dalam diamnya. Rasa khawatir menguasai, Angkasa bahkan tak mengindahkan beberapa panggilan telpon yang masuk kedalam ponselnya.

Rasa bersalah dan rasa cemasnya membuat Angkasa tak tenang, dia berharap Nata bisa cepat siuman agar dia bisa lebih tenang dari sekarang.


***
Ruangan rumah sakit masih dalam keheningan ketika dokter masuk kembali, membawa berkas rekam medis di tangannya. Wajahnya serius, penuh pertimbangan. Angkasa yang duduk di sudut ruangan segera berdiri, memperhatikan dengan penuh perhatian.

Sejak membawa Nata ke rumah sakit, Angkasa tak pernah beranjak dari sisinya, berharap bisa menemukan jawaban atas kondisi Nata yang tiba-tiba memburuk.

"Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Angkasa, suaranya mengandung nada cemas yang tak bisa disembunyikan.

Dokter memandang Angkasa sejenak sebelum membuka catatan di tangannya. "Secara fisik, pasien sudah dalam keadaan stabil. Namun, dari hasil pemeriksaan dan berdasarkan gejala yang kami temukan, pasien mengalami Nyctophobia atau ketakutan berlebihan pada kegelapan. Itu sebabnya kondisinya memburuk, terutama ketika berada dalam situasi yang gelap atau membuatnya merasa sendirian."

Angkasa terdiam, mencoba mencerna kata-kata dokter.

"Nyctophobia?"Pikirnya bingung. Selama ini, dia tak tau kalau gadis seperti Nata bisa mengalami hal seperti itu.

"Jadi... karena itu dia seperti ini?" Angkasa bertanya dengan suara bergetar, setengah tak percaya. Matanya berpindah ke arah Nata yang terbaring lemah di atas ranjang, napasnya terdengar pelan namun teratur.

Dokter mengangguk pelan. "Ya, kondisi ini bukan hanya mempengaruhi mentalnya tapi juga fisik. Ketakutan yang ia rasakan bisa memicu serangan panik yang membuat tubuhnya lemah dan tak berdaya. Terlebih jika pasien merasa sendirian atau berada dalam kegelapan."

Life After Breakup [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang