Ryan merasakan amarah membuncah ketika mendengar pernyataan Angkasa yang tak terduga. Tanpa pikir panjang, dia meraih lengan Angkasa dengan kuat, menariknya menjauh dari keramaian.
"Lo kenapa sih, Angkasa?" Angkasa berusaha melepaskan diri, tetapi genggaman Ryan terlalu kuat.Ryan membawanya ke sudut yang sepi, jauh dari telinga yang bisa mendengar.
Matanya berkilat tajam, menunjukkan amarah yang sudah tidak bisa dibendung. "Gue gak ngerti lo kenapa harus ngomong kayak gitu. Lo sadar gak sih kalau kata-kata lo itu bisa nyakitin Nata?"
Angkasa tersenyum sinis, mencoba tetap tenang meski tahu dia telah membuat Ryan sangat marah. "Gue cuma bilang apa yang gue pikir, Ryan. Lagian, Nata bukan anak kecil lagi. Dia harusnya tahu dunia gak selalu baik sama dia. Kalau fisiknya emang nggak baik kenapa dia memaksakan diri untuk masuk ke organisasi. Kalau dia buat masalah di organisasi gimana, anak-anak yang lain nggak harus ngerawat dia kan. Dia bukan anak kecil Ryan, jadi harus nya Lo ngerti."
"Jangan sok tahu tentang orang lain, Angkasa!" Ryan membalas dengan suara bergetar, menahan emosi yang hampir meledak.
"Lo gak berhak ngomong seenaknya, apalagi soal Nata. Gue gak mau denger lo bilang hal-hal yang bisa bikin dia sakit hati. Nata udah cukup menderita. Lo paham?"
Angkasa menatap Ryan dengan tatapan yang sulit diartikan, seolah sedang menimbang kata-kata Ryan dengan serius.
“Gue gak niat buat nyakitin dia,” ucap Angkasa akhirnya, namun nada suaranya masih dingin. “Tapi gue juga gak bisa pura-pura gak ada yang salah.”
Ryan mendengus kesal.
“Kalau lo gak bisa bantuin, setidaknya jangan nambahin masalah, Angkasa.” Ryan pergi menjauh begitu saja dari hadapan Angkasa begitu saja.
Saat dia berbalik ke UKS, Reyyana dan Nata tidak ada lagi di sana. Yang tersisa hanya Ezra yang tengah bersantai disana sembari bermain ponsel pintarnya.
"Dimana Nata?" tanya Ryan memastikan.
"Udah balik ke kelas tadi, kalian lama amat sih," sinis Ezra.
"Si Angkasa nyebelin banget g*la, ngapain dia ngomong kayak gitu. Kalau si Nata kepikiran gimana."
"Udahlah Ryan, Lo nggak perlu terlalu khawatir. Nanti Lo minta maaf aja sama Nata, urusan Angkasa biar gue coba yang ngomong. Dimana dia?"
"Ada diluar tadi."
"Yaudah, Lo samperin aja si Nata. Biar gue yang ngobrol sama Angkasa, ini kesempatan Lo buat deket sama dia." Ezra menepuk pundak Ryan pelan seolah memberikan dukungan pada sang sahabat.
"Makasih ya Zra, Lo emang yang paling ngerti gue," senyuman Ryan terpancar begitu jelas sebelum dia benar-benar pergi meninggalkan Ezra sendiri di ruang UKS.
Ezra bergegas keluar, langkahnya cepat dan terburu-buru. Matanya menyapu sekeliling, mencari sosok yang ia kenal baik, Angkasa. Namun, sekeras apa pun ia melihat, tak ada tanda-tanda kehadiran Angkasa di sana.
“Hilang kemana itu?” gumam Ezra dengan napas tersengal.
Tidak ingin waktu terbuang percuma, Ezra segera memutar tubuh dan berjalan cepat menuju ruangan BEM. Hanya ada satu tempat yang mungkin bisa memberinya jawaban. Sesampainya di depan ruangan, Ezra membuka pintu dengan sedikit tergesa.
“Angkasa ada di sini?” tanyanya, matanya penuh harap, memindai setiap sudut ruangan.
Beberapa anggota mereka yang berada disana langsung menoleh kearah Ezra yang datang secara tiba-tiba.
"Tadi cuma datang sebentar Kak buat ngambil tas, udah itu pergi lagi," ujar salah seorang perempuan.
"Enggak ada yang tau dia kemana?" mereka semua menggeleng, Ezra kembali menghela nafas kasar. Tanpa pikir panjang dia langsung keluar dari ruangan itu sambil terus mencari Angkasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life After Breakup [TERBIT]
Romance"Tetap bahagia dan terlihat baik-baik saja setelah hancur berkeping-keping adalah caraku melindungi diri sendiri." Nata Aleandra.