Bab.3 Makan siang

46 20 16
                                    

Beberapa jam yang lalu.

Suara deru mesin motor sport terdengar menggelegar ketika Angkasa memasuki area parkir dengan kecepatan sedang. Roda motornya menyentuh aspal, menciptakan bunyi gesekan yang tajam, berpadu dengan desiran angin yang menampar wajahnya. Angkasa mengerem secara mendadak, hampir terhuyung dari motornya ketika tiba-tiba seorang wanita muncul tepat di depan laju kendaraannya.

Mata Angkasa membulat, jantungnya berdegup kencang. "Hei! Apa-apaan sih?!" teriaknya, nada suaranya penuh kejutan dan kemarahan. Tanpa ragu, Angkasa segera menghentikan motornya dan turun dengan cepat, menatap gadis yang kini tergeletak di jalan, tampak terkejut dan kesakitan.

Gadis itu, dengan rambut yang berantakan dan wajah pucat, mencoba bangkit dengan sedikit kesulitan. Angkasa menghampiri, lututnya berjongkok di sampingnya, meski nada bicaranya masih terdengar tajam, ada sekilas rasa khawatir di matanya. Tapi rasa kesal Angkasa masih saja tercetak jelas.

“Kamu nggak lihat jalan apa? Mau mati, hah?” ucap Angkasa dengan nada tinggi, meski tangannya sudah sigap membantu si gadis untuk berdiri. Semburat kemarahan terselip dengan kecemasan yang ia sendiri tak pahami.

"Maaf kak maaf, saya nggak sengaja."

Gadis itu hanya diam, sesaat berusaha menata dirinya yang baru saja terjatuh. Mata mereka bertemu, dan Angkasa tertegun. Ada sesuatu pada gadis itu yang membuatnya menahan napas sejenak, sebuah tatapan yang asing tapi juga terasa familiar, seolah mereka pernah bertemu di masa lalu yang buram.

"Sekali lagi saya minta maaf Kak." Nata kembali bersuara berharap pria berhelm di sana  akan memaafkan sikapnya.

Nata terdiam, pandangannya terpaku pada sosok pria berhelm yang berdiri di depannya. Pria itu menatap Nata dengan dingin, sikapnya penuh misteri. Dengan suaranya yang berat dan tegas, "Berdiri sendiri. Aku tidak bisa lama-lama di sini."

Nata menggigit bibirnya kesal, padahal pria itu yang menabraknya kenapa malah dia yang marah-marah. Tapi, Nata tetap mengikuti perintah pria itu dan berdiri perlahan, berusaha menyeimbangkan tubuhnya yang masih terasa sakit karena hal tersebut.

Pria itu tidak menunggu lebih lama. Tanpa sepatah kata lagi, dia menoleh sejenak ke arah Nata, lalu langsung memutar gas motornya. Dalam sekejap, suara deru mesin menggelegar dan motornya melesat cepat, meninggalkan Nata yang masih terdiam di tempat.

Nata hanya bisa menatap punggungnya yang semakin jauh, "Ya kalau aku salah juga kenapa nggak dibantuin sih. Kan sakit juga ini," kesal Nata. Meskipun begitu, Nata tetap berusaha untuk berdiri.

"Ah mau ke kelas aja deh."

Nata merasa sakit di bokongnya setiap kali melangkah, tetapi dia tidak ingin menyerah begitu saja. Sesampainya di kelas, dia berharap bisa duduk tenang dan melupakan rasa sakit yang mengganggunya. Namun, kelas sudah dipenuhi suara-suara riuh teman-temannya, membuat suasana semakin tidak nyaman bagi Nata.

Melihat kondisi yang tidak kondusif, Nata memutuskan untuk meninggalkan kelas. Tanpa ragu, dia melangkah keluar, meninggalkan kehidupan kelas yang begitu berisik. Baginya, suasana yang tenang jauh lebih penting daripada terjebak di tengah keramaian yang membuatnya semakin kesal.

                     ***
"Nanti kalian berdua ke rumah gue aja, gue udah males mau ke kampus. Motor gue lecet gara-gara nggak sengaja nabrak cewek," suara seorang pria dengan intonasi marah terdengar jelas ditelinga Shankara, hal itu langsung membuatnya langsung menjauhkan handphone dari telinga.

"Iya iya, selepas jam makan siang kita kerumah Lo," ujar Shankara.

"Bagus, gue tunggu, ingat bawa semua daftar nama-nama yang mau ikut penerimaan BEM. Gue harus tau kualifikasi mereka gimana."

Life After Breakup [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang