Pagi itu, setelah mendengar pertengkaran hebat kedua orang tuanya semalam, Ryan memutuskan pergi ke kampus sendiri, seperti biasanya. Dia tak ingin menunggu kedua orang tuanya bangun dari tidur mereka, karena suasana di rumah masih terasa tegang. Dengan mata sembab yang terlihat jelas, Ryan menaiki motornya, melaju di jalan raya yang masih tampak sepi. Angin pagi menyapu wajahnya, seolah mencoba menghapus sisa-sisa air mata yang sempat mengalir.
Setibanya di kampus, Ryan menepikan motornya dengan lelah yang belum juga hilang. Saat berjalan menuju gerbang, tanpa sengaja dia bertemu dengan Nata, yang tengah berdiri di sana sambil menatap ponselnya.
Nata mengangkat wajahnya, terkejut melihat keberadaan Ryan. "Kak Ryan? Pagi-pagi sekali Kakak udah sampai. Tumben," ujar Nata yang sudah begitu hapal dengan kebiasaan beberapa murid di kampus mereka. Apalagi dia adalah Ryan, ketua BEM yang ada dikampus.
Ryan tersenyum tipis, namun wajahnya tak bisa menyembunyikan kepedihan. "Iya. Kebetulan tadi berangkat lebih awal," jawabnya singkat, mencoba terdengar biasa.
Nata memperhatikan wajah Ryan yang tampak lelah. "Kakak nggak apa-apa?" tanyanya pelan, ragu-ragu tapi penuh perhatian.
Ryan menghela napas, berusaha menyembunyikan perasaan yang sedang berkecamuk. "Aku baik-baik aja, cuma kurang tidur," jawabnya sambil tersenyum tipis, walau matanya berkata sebaliknya.
Nata tahu ada sesuatu yang disembunyikan Ryan, tapi dia memilih untuk tidak mendesak. "Kalau ada apa-apa, kakak bisa cerita sama aku, ya. Aku bukan mau terlihat sok dekat, tapi kalau Kakak tidak ada tempat mengadu Kakak boleh cerita sama aku," ujar Nata dengan senyuman yang tak lepas dari wajahnya.
Ryan menatap Nata, ada rasa lega yang sedikit meringankan beban di hatinya. "Thanks, Nata. Aku beneran baik-baik aja," balas Ryan, walau dalam hati, dia merasa ingin mengatakan lebih banyak.
Mereka pun berjalan beriringan menuju kampus, banyak pasang mata yang terlihat tak senang melihat kedekatan Nata dan Ryan. Tapi mereka tidak berani berkomentar, mereka hanya mendelik tajam pada Nata sebagaai bentuk ketidak sukaan mereka pada Nata.
Mereka berdua berpisah di persimpangan jalan, sebelum benar-benar pergi Ryan kembali berbalik dan menatap ke arah Nata.
"Nata," panggil Ryan lembut.
"Iya kak, kenapa?" mendengar panggilan Ryan, Nata seketika berbalik melihat kearah sang senior.
"Kalau kamu dan temanmu tidak ada kegiatan hari ini kalian pergi ke ruangan BEM ya. Ada yang ingin kami tanyakan perihal keikutsertaan kalian di BEM."
"Baik kak, nanti akan Nata sampaikan."
***
Tok...
Tok...
Tok...
"Masuk."
Saat tengah asik bersantai di ruangan BEM bersama anggota-anggota yang lain, suara ketukan pintu berhasil menarik perhatian mereka semua. Angkasa segera mempersilahkan orang yang ada diluar masuk.
Ternyata orang itu adalah Nata dan Reyyana, Nata melangkah masuk ke ruangan BEM dengan Reyyana di sisinya, mengikuti permintaan Ryan yang disampaikan tadi pagi. Begitu mereka membuka pintu dan melangkah masuk, atmosfer ruang BEM langsung terasa mencekam. Tatapan dingin dan intimidasi dari setiap sudut ruangan menyambut mereka, seolah mempertanyakan keberadaan mereka di sana.
Angkasa duduk bersandar di kursi dengan ekspresi datar, tapi matanya menatap tajam, seakan ingin menelanjangi niat Nata dan Reyyana. Di sebelahnya, Ezra terlihat tak kalah serius, memainkan pulpen di tangannya sambil menatap Nata dengan sikap dingin.
Nata menelan ludah, berusaha untuk tetap tenang meski hawa ruangan membuatnya merasa tertekan. Reyyana di sebelahnya tak banyak bicara, wajahnya menyiratkan ketegangan yang sama. Namun, semua rasa tak nyaman itu sirna begitu Ryan berdiri dan melangkah mendekat dengan senyum ramah.
“Hei, kalian datang juga,” sapa Ryan dengan antusias, berbeda dengan yang lain. Dia tampak bersemangat, seperti telah menunggu kedatangan mereka berdua.
Nata tersenyum kecil, merasa sedikit lega. "Ya, sesuai permintaan Kakak tadi pagi."
Ryan mengangguk. "Makasih udah datang. Ayo, duduk. Kita ngobrol di sini aja."
Tatapan intimidatif dari Angkasa dan Ezra masih terasa membakar, namun kehadiran Ryan yang bersikap ramah sedikit mengendurkan ketegangan. Nata dan Reyyana pun akhirnya duduk, berusaha untuk fokus pada tujuan mereka tanpa memedulikan sikap dingin dari orang-orang di sekitar.
"Aku nggak perlu basa-basi lagi ya," ujar Angkasa.
Angkasa langsung berdiri dari tempat duduknya, dia menatap Nata San Reyyana bersamaan kemudian mengistirahatkan agar mereka bisa mendekat kearahnya.
"Ngapain kalian berdua di sana cepetan ke sini," ujar Angkasa dengan penuh penekanan.
Angkasa berdiri di depan ruangan, menyapu pandangannya ke arah anggota BEM yang duduk melingkar. Tatapannya tajam namun penuh wibawa, menuntut perhatian semua orang di ruangan. Nata dan Reyyana berdiri di sampingnya, keduanya tampak sedikit tegang di bawah sorot mata seluruh anggota."Baik, semua," Angkasa memulai, suaranya tegas namun tetap tenang.
"Hari ini aku ingin memperkenalkan dua orang yang berpotensi menjadi bagian dari organisasi kita. Ini Nata Aleandra dan Reyyana." Dia melirik Nata dan Reyyana sekilas sebelum melanjutkan. "Keduanya memiliki kemampuan yang bisa membantu organisasi kita berkembang. Karena itu, aku berniat merekrut mereka ke dalam BEM." Suara Angkasa menggema di ruangan, membuat anggota yang lain semakin serius memperhatikan.
Nata menatap lurus ke depan, berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang meski hatinya sedikit berdebar. Reyyana di sampingnya menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa gugup.
"Tapi, aku tidak ingin mengambil keputusan ini sendirian," lanjut Angkasa. "Kalian semua adalah bagian penting dari organisasi ini, jadi aku ingin mendengar pendapat kalian. Apakah menurut kalian Nata dan Reyyana pantas untuk bergabung?"
Keheningan menyelimuti ruangan sejenak, dan Nata bisa merasakan intensitas tatapan dari anggota lainnya. Beberapa terlihat berpikir, sementara yang lain hanya menatap tanpa ekspresi, seakan masih mempertimbangkan.
Ryan dan Ezra, yang berada di samping Angkasa, mengamati situasi dengan seksama. Suasana hening di antara para anggota BEM terpecah ketika seorang mahasiswa dari kelas yang sama dengan Nata mengangkat tangan dan mendukung perekrutan anggota baru, menyebutkan bahwa Nata bisa diandalkan. Pernyataan ini mempengaruhi yang lain, dan mereka semua akhirnya setuju dengan perekrutan tersebut, mengangkat tangan sebagai tanda persetujuan.
Nata dan Reyyana akhirnya diterima sebagai anggota baru. Senyum lebar menghiasi wajah mereka, mencerminkan perasaan senang dan syukur yang meluap. Mereka berterima kasih kepada semua orang di sana, menyadari betapa berartinya kesempatan ini.
"Terima kasih banyak, teman-teman. Kami sangat menghargainya," ucap Nata dengan penuh antusias.
Setelah semuanya selesai, Angkasa, yang sejak tadi memperhatikan dengan tenang, maju ke depan, "Baiklah, semuanya. Pertemuan kita sudah selesai. Silakan bubar, dan sampai jumpa di pertemuan selanjutnya."
Namun, berbeda dengan Angkasa yang langsung berbalik, Ryan segera menghampiri Nata.
Dengan senyum lebar dan semangat yang tak bisa disembunyikan, ia menyapa, "Selamat, Nata! Aku tahu kamu pasti bisa."Nata tersenyum, merasa bahagia dengan dukungan Ryan yang begitu tulus.
"Makasih, Kak Ryan. Ini juga berkat dukungan kalian."
"Kalau kamu tidak keberatan aku mau traktir kalian makan, apa boleh?" tawar Ryan.
Saat Nata hendak menjawab, Angkasa tiba-tiba muncul didepan mereka.
"Tidak bisa, Nata ada janji sama aku."
"Hah, janji apa?" heran Ryan, matanya kembali membelalak sempurna saat melihat Angkasa yang memegang tangan Nata begitu erat.
"Kalian ada hubungan apa?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Life After Breakup [TERBIT]
Romance"Tetap bahagia dan terlihat baik-baik saja setelah hancur berkeping-keping adalah caraku melindungi diri sendiri." Nata Aleandra.