"Apa penolakan yang aku terima ini karena Angkasa?" Ryan memastikan.
Nata menoleh kearah Ryan, tatapannya mengisyaratkan kebingungan. "Maksudnya apa, kok ke Kak Angkasa?" bingung Nata yang masih tak mengerti dengan arah pembicaraan Ryan.
Ryan terkekeh, dia sedikit gemas pada wajah Nata yang terlihat sangat lucu disaat seperti itu.
"Maksudku, penolakan kamu hari ini ada hubungannya dengan Angkasa, nggak?"
Nata dengan cepat menggeleng. Bibirnya terasa kelu dan enggan menjawab, namun beberapa hal memang perlu dijelaskan agar tidak menjadi semakin rumit bukan?
"Bukan Kak, Aku cuma—" Kalimat Nata terhenti. Membuat penantian Ryan terasa semakin menyiksa
"Apa? Kamu kenapa?" tanya Ryan
"Aku cuma masih belum berdamai sama masa lalu aku."
Yah, pada akhirnya luka masa lalu itu terus menghantui. Ingatan itu seringkali kembali bagai belati yang menyayat tiap bagian dari Nata.
Rasanya ia baru saja keluar dari sebuah jurang penuh luka, tapi masih berdiri pada sisi yang bisa membuatnya terjatuh kapan saja.
Setelah cukup lama mereka berbicara, akhirnya keheningan perlahan menyelimuti tempat itu. Kata-kata seolah enggan keluar dari mulut mereka, hanya ada udara yang terasa semakin berat di antara mereka berdua. Nata menggigit bibirnya, matanya melirik ke segala arah, mencari jalan keluar dari suasana canggung ini.
Ryan, yang semula tenang, kini ikut merasakan kecanggungan tersebut. Dia menarik napas dalam, hendak mengatakan sesuatu, namun kebisuan masih bertahan.
Nata akhirnya berdiri. "Aku rasa... aku harus pergi," ucapnya sambil meraih tasnya dengan gugup.
Angkasa menatapnya sejenak, seakan ingin menghentikannya, tapi tak satu pun kata keluar dari bibirnya.
"Terima kasih, ya... untuk waktunya," lanjut Nata, suaranya pelan namun terburu-buru. Tanpa menunggu balasan, ia berbalik, melangkah cepat meninggalkan tempat itu, berharap jarak bisa segera memecah rasa tak nyaman yang melingkupi mereka berdua.
***
Nata pergi begitu saja dari sana meninggalkan Ryan sendiri yang masih dalam keadaan tidak baik-baik saja setelah penolakan singkat tersebut.Nata melangkah masuk ke kelasnya dengan perasaan lega. Hari ini tidak ada drama yang berarti, dan semuanya berjalan cukup lancar. Ia melihat sekeliling kelas, suasana tampak tenang. Nata mengambil tempat duduknya di barisan tengah, membuka catatan dan mulai meninjau pelajaran yang telah disampaikan tadi.
Di sisi lain, Ryan juga kembali ke kelasnya. Meskipun biasanya ia lebih sering berkumpul dengan Ezra dan Angkasa, hari ini terasa sedikit berbeda. Ryan merasa jarak yang tak kasat mata antara dirinya dan Angkasa. Mungkin hanya perasaan sesaat, pikirnya, atau mungkin memang ada yang berubah. Ezra, yang duduk di sebelahnya, juga tampak lebih pendiam dari biasanya.
"Ezra, lo kenapa hari ini?" tanya Ryan, mencoba memecah kebekuan.
"Nggak ada apa-apa, cuma lagi banyak pikiran aja," jawab Ezra singkat tanpa menoleh.
"Oh gitu." Ezra mengangguk, Ezra seolah tidak ingin terlibat dengan pembicaraan panjang bersama Ryan. Ketika dosen sudah masuk ke dalam kelas mereka, Ezra dan Ryan beserta anak-anak lain di kelas itu langsung fokus ke depan.
Mobil Angkasa berhenti di halaman rumah Nata sejak lima menit yang lalu. Tapi ruang waktu bagai berhenti saat tidak satupun dari mereka yang beranjak.
"Nata.." Angkasa mencoba memulai percakapan
"Ya?"
"Menurut kamu gimana?" tanyanya
Nata mengerutkan kening dengan tatapan yang entah kenapa enggan tertuju pada Angkasa
"Soal apa?"
Angkasa terdiam beberapa saat sebelum akhirnya kembali bersuara "Kita" ujarnya singkat
"Kita, kenapa emang?" tanya Nata
"Nggak masalah kan kalau aku nganter jemput kamu?"
"Ngerepotin" jawab Nata seadanya.
"Nggak, gue sama sekali nggak repot!" Angkasa menegaskan dengan terburu-buru
"Aku suka nganter jemput kamu!" lanjutnya, yang sukses membuat Nata terdiam bagai patung
Suasana dalam mobil mendadak hening seketika. Angkasa bahkan kini dipenuhi pikiran untuk berlari keluar karena rasa malunya. Tapi, bukankah jika sudah seperti itu maka tidak ada lagi jalan mundur?
"Nata, aku mau coba buat sembuhkan semua luka kamu," pada akhirnya pria itu memilih untuk memberanikan diri dan mengambil selangkah lebih dekat ke hati Nata.
"Maksud kamu apa, Kak?" tanya Nata dengan wajah bingung.
"Aku yakin kamu ngerti Nat, ak nggak masalah kalau kamu belum siap dan masih pengen mikir. Tapi bisa tolong jangan bangun tembok di tengah-tengah kita? Beri aku ruang buat mencoba yakini kamu, Nat"
Nata terdiam. Setiap kata yang terlontar dari bibir Angkasa seolah dipenuhi dengan ketulusan dan ambisi. Tapi, bagaimana bisa Nata membiarkan Angkasa terlibat dalam lilitan benang kusut yang bersarang di hatinya?
"Jangan nyakitin diri sendiri, Kak Angkasa." Nata menatap kedepan tanpa menoleh kearah Angkasa sama sekali.
"Bukan apa-apa, tapi lebih baik kakak nggak masuk dalam kehidupanku. Semuanya lagi berantakan kak, nanti kakak sendiri yang terluka."
"Aku bisa kok Nat, aku benar-benar bisa untuk menata semua yang berantakan. Orang tua kita juga menyetujui itu Nata, kamu nggak perlu takut." Angkasa yang berusaha meyakinkan Nata memegang erat kedua lengan gadis yang disukainya itu.
"Tapi aku nggak bisa Kak, aku nggak akan mungkin ngebiarin tamu aku datang disaat keadaan rumahku lagi berantakan. Terlebih lagi kalau tamu itu yang membersihkan semua pecahan kaca yang ada didalamnya," seru Nata.
"Tapi Nat, semua itu nggak ada salahnya, kan?"
"Emang semuanya nggak ada salah, tapi tetep aja aku nggak mau itu terjadi," ujar Nata.
"Aku harus berbuat apa agar kamu mau?"
"Kamu nggak harus ngapa-ngapain Kak, soalnya aku nggak bisa minta kamu nunggu. Aku nggak punya kekuatan untuk tau sampai kapan aku bisa membuka hati. Kalau Kakak mau pulang silahkan pulang aja, terimakasih udah nganterin aku."
Setelah mengatakan hal tersebut, Nata segera masuk kedalam rumahnya meninggalkan Angkasa yang masih terpaku ditempatnya.
"Bagaimanapun caranya aku akan berusaha, Nat."
"Jangan terlalu memaksakan diri, Kak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Life After Breakup [TERBIT]
Romansa"Tetap bahagia dan terlihat baik-baik saja setelah hancur berkeping-keping adalah caraku melindungi diri sendiri." Nata Aleandra.