Bab.18 ruang

22 10 15
                                    

Samuel tersenyum kikuk saat mendengar pernyataan Ayah Nata. Duduk bersebelahan dengan pria yang begitu tegas dan berpengaruh membuatnya sedikit gugup, meskipun ia berusaha menyembunyikannya. Di sebelahnya, Ayah Nata tampak santai, namun ada nada keseriusan di setiap ucapannya. Sementara itu, Nata duduk di hadapan mereka, menatap Samuel dengan tatapan jengkel. Kehadiran pria itu begitu mendadak, dan posisinya yang dekat dengan Ayahnya hanya memperburuk suasana hatinya.

"Jadi, Nata, kenalkan, ini Samuel," Ayah Nata memulai dengan suara berat tapi tenang. "Dia yang akan bekerja sama dengan perusahaan kita ke depannya."

Samuel mengangguk dengan sopan, menatap Nata dan ibunya yang duduk di sampingnya. "Senang bertemu dengan Anda, Nata. Dan tentu saja, Ibu, terima kasih atas sambutannya," ucap Samuel, mencoba terdengar lebih percaya diri meskipun senyumnya masih kikuk.

Nata hanya mengangguk kecil, merasa tidak nyaman dengan situasi ini. Dia melirik Samuel sejenak, lalu kembali fokus pada Ayahnya. "Jadi, Ayah, kenapa kamu tidak memberitahuku soal ini lebih awal?" Nada suaranya menunjukkan sedikit ketidakpuasan, tapi ia berusaha menjaga sopan santun.

Ayahnya tersenyum tipis, mengerti reaksi putrinya. "Samuel baru saja tiba, dan aku ingin memastikan semuanya berjalan lancar sebelum memberitahumu. Lagipula, ini urusan bisnis, bukan sesuatu yang perlu terlalu dipikirkan, Nata."

Nata menghela napas, masih merasa jengkel. Dia tidak suka kejutan, apalagi yang berkaitan dengan perusahaan keluarganya. Apalagi irah itu adalah Samuel mantan pacar online nya. Ini adalah kali pertama mereka bertemu tanpa kesengajaan setelah putus beberapa minggu terkahir.. Sementara itu, Samuel hanya bisa diam, menunggu suasana menjadi sedikit lebih ringan.

"Saya harap bisa membantu perusahaan Anda berkembang lebih jauh, dan saya siap bekerja sama dengan baik," ujar Samuel, mencoba memecahkan keheningan dengan suara yang tenang. Namun, Nata hanya mengangguk kecil lagi, tetap tidak terlalu tertarik dengan kehadirannya.

"Semoga saja," jawab Nata dengan singkat, lalu menatap Ayahnya, berharap percakapan ini segera berakhir.

Bunda Nata tersenyum tipis, mempersilakan Samuel untuk menikmati hidangan yang telah tersaji di meja.

"Silakan dimakan, Samuel. Semoga sesuai selera," ucap Bunda Nata lembut, sambil melirik sekilas ke arah Nata yang duduk di seberang Samuel, tampak gelisah.

Samuel mengangguk hormat. "Terima kasih, Bu," jawabnya dengan senyum ramah sebelum mulai mencicipi makanannya.

Dia menikmati hidangan itu dengan santai, sesekali mengucapkan pujian. "Masakannya enak sekali, Bu. Rasanya seperti di rumah sendiri."

Namun, perhatian Bunda Nata lebih tertuju pada Nata, yang terus menggoyang-goyangkan kaki di bawah meja dan memandang ke arah lain, seolah tidak ingin berada di ruangan yang sama. Wajah Nata jelas menunjukkan ketidaknyamanan, meski dia berusaha menutupi perasaannya dengan senyum tipis yang tidak sampai ke matanya.

"Kenapa kamu tidak makan, Nata?" tanya Bunda Nata dengan nada lembut namun penuh perhatian.

Nata mendongak sekilas, lalu menundukkan kepalanya lagi. "Aku... nggak terlalu lapar, Bunda," jawabnya singkat, suaranya nyaris berbisik.

Bunda Nata menghela napas pelan, masih memperhatikan putrinya dengan rasa khawatir yang semakin mendalam. "Kalau begitu, setidaknya temani Samuel," lanjutnya, berharap suasana akan mencair.

Nata memberikan kode pada Bundanya seolah-olah menjelaskan bahwa itu bukanlah hal yang baik, tapi Bunda Nata masih saja pada pendirian nya. Justru raut wajahnya seolah-olah meminta Nata untuk menarik Samuel agar menjauh dari sana.

Samuel, yang menyadari ketegangan di antara mereka, hanya tersenyum hangat, berusaha menjaga suasana tetap nyaman. "Tidak apa-apa, Nata. Mungkin lain kali kita bisa makan bersama saat suasana lebih santai," ujarnya dengan nada bersahabat.

Nata mengangguk pelan, tapi tidak mengatakan apa-apa lagi, matanya hanya menatap kosong ke arah meja, masih tenggelam dalam pikirannya sendiri.

"Ayah, sudah selesai makan kan. Bantu Bunda bawa ini semua ke dapur ya," pinta Bunda Nata lembut.

"Emangnya Bunda nggak bisa bawa sendiri? Ayah mau ngobrol dulu sama Samuel."

"Bentar aja Ayah."

Ayah Nata berdiri di ambang pintu, wajahnya menunjukkan keraguan. "Apa kamu yakin ini yang terbaik?" tanyanya dengan suara pelan, menatap istrinya yang dengan tegas memintanya memberikan ruang bagi Nata dan Samuel.

Bunda mengangguk dengan yakin. "Percayalah, Nata butuh menyelesaikan ini sendiri."

Ayah menghela napas berat sebelum akhirnya mengangguk, mengiyakan. "Baiklah," katanya, menyerah. Mereka pun beranjak ke dapur, meninggalkan Nata dan Samuel di ruang tamu.

Saat mereka sampai di dapur, Bunda langsung berbisik dengan nada serius, "Samuel itu mantan pacar Nata."

Mata Ayah membulat, terkejut. "Kamu sengaja meninggalkan mereka berdua?"

Bunda mengangguk lagi, kali ini dengan lebih lembut. "Iya, aku ingin Nata punya kesempatan untuk menghadapi ini. Mungkin ini bisa membantu dia menutup lembaran lama dan menemukan kedamaian."

"Tapi bagaimana caranya, Nata terlihat tidak baik sekarang," ucap Ayah Nata cukup khawatir sambil memperhatikan Nata dari kejauhan.

"Tidak apa-apa Ayah, dia harus menyelesaikan masalahnya sendiri." Suaminya hanya mengangguk mengerti ketika mendengar penjelasan sang istri.








                       ***Begitu Ayah dan Bundanya pergi, suasana di ruang tamu terasa semakin berat. Nata berdiri dari sofa dengan cepat, tanpa menatap Samuel. Ada ketegangan yang jelas di wajahnya, dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia langsung melangkah keluar menuju taman di samping rumah. Langkahnya cepat, seakan ingin melarikan diri dari keberadaan Samuel.

Namun, Samuel tidak tinggal diam. Dia menatap punggung Nata yang semakin menjauh, lalu memutuskan untuk mengikutinya. Langkahnya tenang tapi mantap, tak ingin membiarkan jarak di antara mereka semakin lebar.

"Nata, tunggu!" panggil Samuel, suaranya sedikit serak, memecah keheningan malam di halaman rumah.

Nata tidak menoleh. Dia terus berjalan menuju taman, berharap udara segar bisa mengusir rasa sesak di dadanya. Tapi suara langkah kaki Samuel di belakangnya semakin mendekat, membuat Nata berhenti di bawah pohon besar.

"Apa lagi yang kamu inginkan, Sam?" tanya Nata, suaranya rendah namun tegas, masih memunggungi Samuel.

Samuel terdiam sejenak sebelum menjawab, "Aku hanya ingin bicara, Nata. Kita butuh menyelesaikan ini."

"Apa lagi yang harus kita selesaikan?"

"Semuanya Nata."

"Tidak ada yang perlu kita selesaikan kak, semuanya sudah selesai kemarin, Kak."

"Tapi aku nggak mau kita berakhir gitu aja, Nata. Aku tau hanya kamu yang terbaik untuk aku."

Nata tersenyum sinis, dia melihat ke arah Samuel dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Terus bagaimana dengan calon istrimu, apa kamu akan meninggalkan nya demi aku?"

"Tentu, aku akan meninggalkan dia agar bisa sama kamu, dia nggak ada apa-apa kalau dibandingkan dengan kamu, Nata. Tolong, kembalilah padaku," mohon Samuel dengan tatapan penuh harap.

"Dasar laki-laki s*mpah! Kamu pikir aku cewek apaan, kamu pikir setelah kejadian kemarin aku akan menerima kamu kembali begitu saja? Jangan harap, aku nggak akan kembali lagi sama laki-laki kayak kamu. Jangan kamu pikir karena aku begitu sayang sama kamu, kamu bisa kembali lagi setelah apa yang kamu lakuin kemarin. Sekali tidak akan tetap tidak."

"Tapi Nata, dulu kita saling mencintai."

"Stop! Tutup mulut mu itu Kak, diam atau aku akan bertindak lebih jauh dari ini."

Life After Breakup [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang