Ketika Nata dan Reyyana sudah selesai menikmati makan siang mereka, mereka segera kembali ke kelas masing-masing untuk mengikuti pelajaran.
Karena keduanya berasal dari kelas yang berbeda, Reyyana berpamitan terlebih dahulu pada Nata saat berada di persimpangan jalan yang memisahkan mereka.
Saat Nata hendak berjalan maju kekelas, tangannya tiba-tiba ditarik begitu saja oleh seseorang. Nata tak sempat bersuara, dia yang terkejut dan hampir berteriak langsung dibungkam menggunakan tangan oleh sesosok pria didepannya.
"Aku mau ngomong sama kamu, aku harap kamu ada waktu. Aku nggak terima penolakan karena kalau ada anak-anak yang lihat, kamu bakal jadi bulan-bulanan mereka lagi," ujarnya.
Nata tak sempat menjawab ataupun membantah, saat tangan pria didepannya sudah lepas dari mulut Nata, dia ditarik menjauh lagi olehnya.
"Ada apa sih Kak?" saat mereka sampai disalah satu taman yang memiliki jarak cukup jauh, pria itu langsung melepaskan tangan Nata begitu saja.
"Aku mau bicara serius sama kamu."
"Mau ngomong apa kak, kenapa nggak di kelas aja. Ini jauh banget, gimana kalau dosen marah aku telat masuk?"
"Nggak akan ada yang marah kalau kamu telat masuk, nanti aku yang jelasin sama dosennya. Sekarang kamu harus dengerin aku dulu."
"Kak Ezra, aku nggak punya banyak waktu. Jadi aku harap Kakak nggak buang-buang waktu aku gitu aja," ketus Nata.
wajahnya Ezra tampak serius, setelah mengambil napas sejenak, dia memulai percakapan dengan suara lembut namun tegas.
"Nata, gue mau ngomong soal kejadian tadi di BEM," ucapnya pelan. "Berita itu sudah tersebar luas di kampus. Gue nggak mau hal ini bikin lo nggak nyaman, tapi..." Ezra berhenti sejenak, memperhatikan reaksi Nata sebelum melanjutkan. "Lo harus tahu, gue cuma nggak pengen masalah ini bikin kedua sahabat gue, Angkasa dan Ryan, bertengkar cuma gara-gara lo."
Nata mengernyit, kebingungan jelas terpancar di wajahnya. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Kak Ezra, kayaknya Kak Ezra salah paham. Aku nggak ada hubungan apa-apa sama Kak Angkasa atau Kak Ryan. Aku bahkan nggak tau apa yang terjadi," bingung Nata.
Ezra tersenyum kecil, mencoba menenangkan Nata. "Gue percaya sama lo, Nat. Tapi kadang-kadang orang suka bikin kesimpulan sendiri. Lo tahu kan, Angkasa dan Ryan keliatan kayak lagi berusaha cari perhatian lo, dan orang-orang mulai berspekulasi tentang hal itu."
Nata menghela napas panjang, merasa sedikit frustrasi. "Ya ampun Kak, Aku nggak tau ya apa yang terjadi. Yang jelas Aku nggak bisa kontrol apa yang orang lain pikir atau omongin. Kalau Kakak nggak ada urusan lagi lebih baik sampai disini aja, aku mau masuk ke kelas," ujar Nata serius.
Ezra menatap Nata dengan raut wajah penuh pertimbangan. Setelah beberapa saat terdiam, dia akhirnya angkat bicara, suaranya terdengar pelan namun tegas. Membuat Nata yang sudah berlalu kembali berbalik dan memperhatikan Ezra.
"Nata, gue minta lo untuk menjauhi Ryan dan Angkasa... setidaknya untuk sementara waktu," ucap Ezra menatap mata Nata dengan serius. "Gue nggak pengen masalah ini makin besar dan memperumit keadaan di antara kalian bertiga."
Nata terdiam sejenak, mencerna kata-kata Ezra. Meskipun ia tahu maksud baik dari ucapan Kakak seniornya itu, ada rasa tidak nyaman yang mulai merayap di benaknya. Namun, Nata tak ingin memperburuk situasi lebih jauh.
"Ya, gue ngerti, Ezra," jawab Nata dengan nada datar. "Kalau itu memang yang terbaik, gue bakal ngejauh dari mereka berdua."
Ezra menghela napas lega mendengar jawaban Nata, meskipun ia tahu betapa sulitnya permintaan itu untuk Nata. "Makasih, Nat. Aku tahu ini nggak gampang buat kamu, tapi aku harap kamu ngerti, aku cuma nggak mau ada drama lebih lanjut di antara kamu, Ryan, dan Angkasa."
Nata mengangguk sekali lagi, meskipun pikirannya berkecamuk. Tanpa berkata lebih lanjut, ia memutuskan untuk pergi.
"Ya udah, Nata cabut dulu kak, pasti dosen udah masuk," ucap Nata singkat, sambil memalingkan wajahnya dan mulai berjalan menjauh.
Ezra hanya bisa menatap punggung Nata yang semakin menjauh, menyisakan dirinya sendiri di taman itu. "Setidaknya yang gue lakuin udah bener kan?" lirih Ezra.
***
Nata melangkah menuju kelas dengan langkah yang tenang meskipun pikirannya masih terbayang pertemuannya dengan Ezra tadi. Ruang kelas sudah dipenuhi suara bisik-bisik, dan Nata bisa merasakan beberapa pasang mata mengarah padanya. Beberapa anak-anak tampak asyik membicarakan sesuatu, dan meskipun dia tak bisa menangkap semua kata-katanya, dia tahu mereka membicarakan tentang DNA.Namun, Nata memilih untuk tidak memedulikannya. Dia sudah terbiasa dengan perhatian semacam itu. Fokusnya tertuju pada dosen yang berdiri di depan kelas, menjelaskan materi yang sedang mereka pelajari. Dia menenangkan dirinya dengan menarik napas dalam-dalam, menata pikiran, dan memusatkan perhatian pada apa yang benar-benar penting saat ini—belajar.
Dosen mulai berbicara, suaranya menggema di ruangan, “Baik, hari ini kita akan melanjutkan pembahasan tentang teori komunikasi interpersonal. Tolong perhatikan dengan seksama.”
Nata segera membuka buku catatannya dan mulai mencatat poin-poin penting dari penjelasan dosen, berusaha keras untuk tidak terganggu oleh bisik-bisik di belakang.
"Eh, dengar-dengar soal DNA ya?" salah seorang mahasiswi berbisik cukup keras untuk didengar.
Temannya menimpali, "Iya, tapi kayaknya dia enggak peduli deh."
Nata menggigit bibirnya, menahan diri untuk tidak bereaksi. Dia tahu jika dia menunjukkan bahwa dia terganggu, itu hanya akan membuat situasi semakin buruk. Maka, dia memilih untuk fokus pada materi.
Dosen kemudian memanggil beberapa nama untuk menjawab pertanyaan, dan ketika nama Nata disebut, dia langsung menjawab dengan tepat. Hal itu membuat bisik-bisik di belakang sedikit mereda.
“Bagus, Nata. Lanjutkan semangat belajarmu,” puji dosen sambil tersenyum.
Nata hanya mengangguk ringan, merasa lega bisa mengalihkan perhatian dari dirinya untuk sementara. Bagaimanapun, dia hanya ingin melalui hari ini tanpa drama tambahan.
Pelajaran hari ini berakhir lebih cepat dari biasanya. Dosen menutup sesi dengan singkat, “Baik, sampai di sini dulu untuk hari ini. Jangan lupa pelajari lagi materi yang sudah dibahas, minggu depan kita akan lanjut dengan diskusi.”
Nata merapikan buku catatannya dengan cepat. Sambil menghela napas lega, dia segera keluar dari kelas tanpa banyak bicara dengan teman-temannya. Dia tahu ke mana tujuannya—menuju kelas Reyyana.
Langkahnya cepat menyusuri koridor kampus, tak ingin buang waktu. Saat sampai di depan kelas Reyyana, dia menunggu di luar sambil mengintip ke dalam kelas, memastikan Reyyana masih di sana.
Begitu Reyyana keluar, Nata langsung menghampirinya. "Rey, kamu udah selesai? Yuk, pulang bareng."
Reyyana tersenyum kecil melihat Nata. "Eh, Nata. Udah selesai juga ya? Ayo, aku juga mau langsung pulang."
Keduanya mulai berjalan keluar dari gedung kampus, suasana di antara mereka cukup tenang, hanya ada obrolan ringan yang mengiringi langkah mereka. “Kelas kamu tadi cepat juga selesai ya?” Reyyana memulai percakapan, memecah keheningan.
Nata mengangguk. “Iya, dosennya ada urusan katanya. Jadi, enggak terlalu panjang materinya. Kamu gimana tadi, di kelas aman?”
Reyyana tertawa kecil. “Aman sih, cuma materinya lumayan bikin ngantuk.”
Nata tersenyum simpul. "Iya, kadang kelas begitu bisa bikin bosen juga."
Mereka berdua terus melangkah menyusuri kampus yang mulai lengang. Udara sore terasa sejuk, membuat perjalanan mereka terasa lebih santai.
"Nat, tunggu," disaat yang bersamaan, Ryan yang saat itu berjalan menghampiri mereka berdua langsung membuat Nata membelalakkan matanya, dia segera mengajak Reyyana untuk pergi dari sana.
"Nat tunggu..." panggil Ryan dari kejauhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life After Breakup [TERBIT]
Romance"Tetap bahagia dan terlihat baik-baik saja setelah hancur berkeping-keping adalah caraku melindungi diri sendiri." Nata Aleandra.