Malam itu, setelah Ryan dan Ezra selesai menenangkan diri di markas. Keduanya memilih untuk segera pulang.
"Zra, makasih udah nemenin gue hari ini."
"Santai aja Ryan, ya kayak sama siapa aja sih."
"Lo pulang hati-hati ya, kalau ada apa-apa telepon aja gue."
"Siap." Ryan mengangkat tangannya membentuk hormat pada Ezra. Ezra terkekeh, setelah Ryan melaju menjauh darinya Ezra hanya bisa menatap punggung Ryan dengan tatapan nanar.
"Semoga suatu hari nanti Lo bisa ngerasain apa yang Angkasa rasain Ryan, dunia emang nggak slalu berpihak sama Lo. Tapi gue janji, kalau Lo butuh gue, gue akan selalu ada."
Mengingat hari yang semakin malam, Ezra segera melajukan motornya menuju rumah. Dia berkendara dengan kecepatan sedang.
Ryan sampai dirumah nya, saat memasuki gerbang utama hanya ada pak satpam yang selalu memberikan senyuman hangat dan sapaan manis pada Ryan.
"Malam den Ryan, habis nongkrong lagi ya. Tumben pulangnya cepat?"
"Iya Pak, Angkasa ada acara keluarga. Jadi nggak seru kalau nggak ada dia."
"Oh, pantesan, den Ryan masuknya pelan-pelan saja ya. Ibu dan Bapak tadi pulang, Bapak lihat mereka belum tidur. Takutnya kalau den Ryan ketahuan nanti den Ryan dipukul lagi." Bapak satpam memperingati dengan begitu khawatir.
Ryan terdiam, meskipun dia merasa sedikit takut karena kehadiran orang tuanya dirumah, tapi Ryan tetap senang karena mendengar kehadiran mereka dirumah.
"Tidak apa-apa Pak, Ryan bisa jaga diri kok."
"Saya yang nggak tega dengernya Den, saya nggak bisa bantu apa-apa. Kalau bisa Den Ryan menghindar dulu ya malam ini."
"Iya Pak, makasih banyak karena udah memperhatikan Ryan. Ryan masuk dulu ya."
Ryan tak memperdulikan keadaan, dia tak mengindahkan peringatan yang diberikan oleh satpam rumahnya. Dia masuk ke rumah melalui pintu utama.
Kreett...
Suara desis pintu terdengar begitu nyaring ditelinga Ryan, ketika dia sudah benar-benar masuk kedalam rumah. Tatapan tajam dari kedua orang tuanya langsung mendominasi ruangan tersebut. Ryan tersenyum, dia tersenyum denganmemperlihatkan gigi rapinya.
"Ayah... Ibu..." Senyuman Ryan terpancar jelas, dia benar-benar senang melihat keberadaan kedua orang tuanya di rumah.
PLAK...
Sebuah tamparan melesat ke pipi mulus Ryan, pipinya terasa kebas, rasa sakit itu menjalar begitu saja membuat Ryan terdiam sesaat. Ryan tersenyum kecut, bias mengeratkan gigi nya untuk menetralisir rasa kebas pada pipinya.
"Apa ini?" tanya Ryan.
"Apa kamu bilang? Bisa-bisanya kamu mempertanyakan sesuatu yang sudah ada jawabannya!" pekik Ayahnya dengan suara yang begitu lantang.
Bahkan, suara itu terdengar hingga keluar. Bapak satpam tadi kembali berdiri dari tempatnya karena teriakan itu terdengar jelas di telinganya.
"Kamu harusnya tidak pulang larut malam, Ryan." Ibu Ryan yang saat itu tengah asik membaca koran sambil menyeruput teh hangat berbicara tanpa melirik kearah Ryan sedikitpun.
"Apa hanya karena ini, Ayah menamparku?" heran Ryan.
"Jangan salahkan Ayah, Ryan. Kamu sendiri yang membuat masalah."
"Apa yang salah dengan pulang malam?"
"Kamu masih bertanya, apa kamu tidak punya pikiran! Kenapa juga kamu harus menghabiskan waktu diluar. Lebih baik kamu istirahat di rumah sambil belajar, Kalau kamu tidak belajar bagaimana kamu bisa mendapatkan nilai bagus. Ayah sudah bilang, Jangan pernah terpengaruh oleh sikap buruk orang lain. Kamu harus fokus pada dirimu sendiri!"
Mendengar pernyataan ayahnya, Ryan tersenyum sinis. Ia langsung menatap ayahnya dengan tajam, seakan mempertanyakan apa yang baru saja dikatakan. “Teman-teman saya bukanlah orang-orang yang akan membuat saya terjerumus ke masalah,” ucap Ryan tegas, suaranya sarat dengan kekecewaan. “Apalagi, Ayah juga sudah mengenal Angkasa dan Ezra. Mereka bukan orang sembarangan.”
"Tapi mereka selalu membawa hal yang tidak baik untuk kamu, Ryan!"
Ryan mengepalkan tangannya, menahan amarah yang sudah lama ia pendam. “Ayah selalu menuding teman-teman saya, seolah-olah mereka adalah masalah utama,” ucap Ryan dengan suara bergetar, penuh emosi.
“Padahal masalah sebenarnya ada di sini,” lanjutnya sambil menunjuk ke arah ayahnya, napasnya memburu.
Ayah Ryan menatapnya, terlihat terkejut dan sedikit tersinggung. Namun, Ryan tidak berhenti di situ.
“Ayah dan Ibu bahkan tidak pernah benar-benar bersama. Kalian lebih sibuk dengan pekerjaan, dengan urusan kalian sendiri, sementara aku... aku selalu sendirian di rumah. Jadi jangan salahkan aku kalau aku lebih memilih menghabiskan waktu dengan teman-temanku.”Suasana hening sejenak, ucapan Ryan menggantung di udara, menyisakan luka yang tak terucapkan selama ini.
Setelah melontarkan kata-kata itu, Ryan memutuskan untuk segera pergi. Dengan langkah cepat dan penuh amarah, ia berjalan meninggalkan kedua orang tuanya yang masih terdiam di lantai bawah.
Tangga menuju kamarnya terasa seperti pelarian, jauh dari tatapan mereka yang membingungkan dan penuh rasa bersalah. Setiap langkahnya bergema, seolah mencerminkan kekesalan yang memuncak.
Ryan tak ingin mendengar apa pun lagi—penjelasan, pembelaan, atau permintaan maaf. Ia sudah cukup lelah dengan segalanya.Setibanya di kamar, Ryan menutup pintu dengan keras. Suara dentuman pintu seakan menjadi pernyataan terakhirnya, menggema di seluruh rumah, meninggalkan kesunyian yang dingin di antara mereka.
Ayah dan ibu Ryan saling berpandangan, keheningan yang tegang berubah menjadi percikan amarah yang tidak bisa lagi dibendung.
“Lihat, apa yang sudah kita lakukan pada anak kita!” seru sang ibu, suaranya bergetar antara marah dan terluka.
“Kamu selalu sibuk dengan pekerjaan, sementara Ryan butuh perhatian. Apa kamu tidak melihat bagaimana sikapnya sekarang?”Ayah Ryan menggeleng, berusaha menahan emosinya yang sudah di ujung tanduk.
“Oh, jadi ini salahku? Kamu juga sama saja! Sibuk dengan urusanmu sendiri, tidak pernah ada waktu untuk dia, bahkan saat dia benar-benar membutuhkan kita!”
Pertengkaran mereka semakin memanas, suara mereka bergantian memenuhi ruang tamu yang tadinya tenang. Tidak ada yang mau mengalah, dan tiap kalimat hanya menambah luka yang tak pernah sembuh.Suasana di rumah itu semakin mencekam. Udara terasa berat, dipenuhi dengan kemarahan dan penyesalan yang bercampur menjadi satu. Rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung berubah menjadi medan pertempuran, tanpa ada solusi, hanya saling menyalahkan dan rasa pahit yang tak berujung.
Ryan duduk di pojok kamarnya, memeluk lututnya erat-erat, mencoba menenangkan dirinya sendiri di tengah hiruk pikuk suara pertengkaran yang terus terdengar dari lantai bawah.
Rian memeluk dirinya lebih erat, mencoba mencari kehangatan yang selama ini ia rasakan dari kedua orang tuanya. Tubuhnya yang mungil terasa lebih hangat daripada rumah besar yang dingin ini, lebih nyaman daripada keluarganya yang terus-terus berdebat tiada henti dan tidak mempedulikan satu sama lain.
Air matanya menggenang di sudut mata Ryan, tapi ia menahannya. Bagi Ryan, menangis tidak akan mengubah apapun. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan sekarang adalah memeluk dirinya sendiri, berusaha bertahan di tengah keretakan yang semakin dalam diantara mereka.
"Andai saja aku bisa menjadi Angkasa, pasti aku tidak akan merasakan hal ini," lirih Ryan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life After Breakup [TERBIT]
Romance"Tetap bahagia dan terlihat baik-baik saja setelah hancur berkeping-keping adalah caraku melindungi diri sendiri." Nata Aleandra.