Bab.10 Diajak makan malam

23 13 13
                                    

Nata memegangi kepalanya yang terasa amat sakit. Dia mengerjapkan matanya untuk melihat kearah sekitar, pandangan nya seketika tertuju pada pria berkacamata yang saat itu tengah memegang sebuah buku di tangannya.

Disaat yang bersamaan, pria itu melihat kearah Nata dia seketika tersenyum. "Kamu udah ngerasa lebih enakan?" tanya nya lembut.

"Aku kenapa ya Kak, kok aku di sini?" Nata yang masih linglung mencoba untuk memperhatikan sekitar takut jika matanya salah melihat.

"Kamu tadi pingsan didepan kampus, jadinya di bawa kesini deh," ujarnya masih mempertahankan senyumannya yang tak luntur sedari tadi.

"Aku Pingsan?"

"Iya kamu pingsan, kamu kecapean ya. Kalau sekiranya kamu kecapean lebih baik kamu istirahat dulu, jangan masuk ke kampus besok. Dahulukan kesehatan kamu."

"Aku nggak apa-apa Kak, mungkin faktor pusing aja. Akhir-akhir ini tubuh aku emang agak rentan," bohong Nata.

"Lain kali dijaga kesehatannya, Oiya tadi ada Papa kamu. Dia nyariin dikampus, katanya handphone kamu nggak aktif. Jadi tadi aku minta dia kesini."

"Iya, handphone ku tadi sengaja di silent biar nggak menganggu pelajaran. Cuma nggak tau kalau akhirnya malah jadi kayak gini. Papa pasti udah nelpon berkali-kali. Boleh tolong panggilin Papa ku nggak kak, aku mau ngobrol berdua."

"Iya boleh, aku panggilkan dulu."

"Makasih banyak ya kak."

"Iya sama-sama, kamu nggak perlu sungkan."

Tak butuh waktu lama, Papa Nata muncul dengan langkah cepat. Raut wajahnya memancarkan kekhawatiran mendalam.

Dia segera menghampiri Nata, menunduk sedikit untuk melihat wajah putri semata wayangnya lebih dekat.

“Nata, apa yang terjadi? Kamu kenapa, Nak?” tanyanya dengan nada penuh kekhawatiran.

Nata tersenyum tipis, meskipun jelas terlihat bahwa dirinya tidak dalam kondisi baik. Dia tak ingin Papanya semakin cemas.

“Tidak apa-apa, Pa. Aku cuma pusing sedikit,” jawab Nata, berusaha meyakinkan dengan nada ringan.

“Mungkin hanya kecapean.” Papa Nata tidak langsung percaya. Dia duduk di sebelah Nata, menatap wajah putrinya penuh perhatian.

“Kamu yakin? Kamu kelihatan pucat. Apa kamu mau di rawat dulu saja?” Nata menggeleng pelan.

“Tidak perlu, Pa. Aku sudah tidak apa-apa. Aku cuma butuh istirahat sebentar.” Mendengar jawaban itu, Papa Nata masih tampak ragu, tapi dia tahu Nata tidak ingin memperlihatkan kekhawatirannya.

Dia menghela napas panjang, lalu mengusap kepala Nata dengan lembut.

“Kalau ada apa-apa, jangan disimpan sendiri, ya. Papa selalu ada buat kamu,” ujar Papa Nata dengan nada lembut, tapi tegas.

Nata mengangguk pelan, merasa lega dengan kehadiran Papanya. Walaupun ia tidak bisa sepenuhnya jujur, kehangatan Papanya membuatnya merasa sedikit lebih baik.

"Kalau kamu udah baikan, kita langsung pulang. Mama pasti khawatir banget karena kita belum pulang sampai sekarang."

"Iya Pa, tapi Nata minta Papa sembunyikan ini dari Mama ya, Nata nggak mau Mama khawatir."

"Iya Nak, tentu saja. Papa juga tidak mau membuat Mama kamu khawatir. Hari ini Papa tidak ada kerjaan, jadi kalau kamu mau apa-apa kamu harus langsung bilang sama papa. Apapun itu pasti papa kasih, asal jangan sakit lagi ya, Nak."

Nata merasa hangat di dalam hati. Kehangatan perhatian Papanya membuat semua rasa lelah dan pusing yang ia rasakan seolah memudar. Ia bersyukur memiliki Papa yang begitu peduli, yang selalu ada di sisinya kapan pun ia membutuhkan.

Setelah beberapa saat, ketika ia mulai merasa sedikit lebih baik, Nata menoleh ke arah Papanya yang masih duduk di sampingnya.

“Pa, aku sudah merasa lebih baik sekarang,” ucap Nata pelan, tersenyum lembut. “Bisakah Papa panggilkan dokter? Aku ingin cepat pulang." Papa Nata mengangguk, senang melihat putrinya tampak lebih tenang.

“Baik, tunggu sebentar ya,” jawabnya sambil berdiri dan berjalan keluar ruangan.
Tak lama kemudian, dokter masuk bersama Papa Nata. Ia memeriksa kondisi Nata dengan cermat, memastikan bahwa semua baik-baik saja. Setelah pemeriksaan singkat, dokter tersenyum ramah pada Nata.

“Kamu sudah kelihatan lebih baik, Nata. Tapi ingat, jangan terlalu memaksakan diri. Istirahat yang cukup, dan pastikan untuk minum obat kalau pusingnya kembali,” ujar dokter sambil memberikan beberapa arahan penting.Nata mengangguk patuh.

“Terima kasih, Dok,” ucapnya tulus.Setelah semua prosedur selesai, dokter memberikan izin agar Nata bisa pulang. Papa Nata membantu Nata bangun dan memapahnya perlahan menuju pintu keluar.


Meskipun pertemuan singkat dengan dokter dan rasa pusing tadi sedikit mengganggu, kebahagiaan Nata karena merasakan kehangatan kasih sayang Papanya jauh lebih berarti.

Mereka berdua meninggalkan ruangan dengan langkah tenang, siap pulang dan melanjutkan hari mereka dengan lebih baik. Nata tahu, apapun yang terjadi, ia selalu punya tempat pulang yang hangat—di samping Papanya yang selalu ada untuknya.

Bertepatan dengan itu, Pria yang ada didepan pintu ruangan tersebut langsung berdiri ketika melihat mata dan Papanya keluar. Laut senyum kebahagiaan terpancar jelas di wajahnya.

"Kamu sudah boleh pulang?" tanya pria itu lembut.

"Sudah Kak, makasih ya karena Kakak udah bantu aku. Aku ngerasa nggak enak karena kakak harus ngeluangin waktu buat jaga aku sampai Papa datang. Sekali lagi aku mau bilang terima kasih."

"Tidak apa-apa napa kamu nggak perlu berterima kasih. Kan memang sudah seharusnya kita saling membantu."

"Apa yang kamu katakan memang benar, tapi tetap saja. Saya berhutang budi sama kamu karena kamu sudah begitu baik menolong Nata, Kalau kamu tidak keberatan bagaimana kalau nanti malam kamu datang ke rumah saya dan kita makan malam bersama?"

Pria itu terkejut, tapi dia merasa amat senang. "Apa boleh, Pak? Saya sebenarnya agak nggak enak sama bapak."

"Tidak apa-apa, lagian kan saya yang menawarkan. Kalian saling kenal kan, nanti saya minta Nata untuk kirimkan alamat rumah kami. Saya harap kamu benar-benar datang ya malam ini." Papa Nata begitu merasa bersyukur dan tak henti-hentinya tersenyum pada pria di sana.

"Saya yang harusnya berterima kasih banyak sama Bapak, saya usahakan datang malam ini pak. Terima kasih sekali lagi atas tawarannya."

"Tentu saja, oh ya kalau boleh tahu nama kamu siapa?" Papa Nata mengulurkan tangan begitu lembut padanya.

"Saya Ryan Shankara Pak, Bapak bisa panggil saya Ryan."

"Ryan Shankara? Namamu tidak asing. Baiklah, jangan lupa datang nanti malam ya."

"Iya Pak."

"Kami pulang dulu kak, terima kasih banyak."

"Iya Nat, hati-hati."

Ketika Nata dan Papanya sudah berjalan menjauh, Ryan langsung meloncat-loncat di tempatnya berada saking bahagianya. Tak lupa dia langsung mengambil ponsel dan menelpon Angkasa untuk memberitahukan kebahagiaan nya.

'ngapain lo nelpon gue siang-siang gini," jawab Angkasa yang begitu risih dengan panggilan tiba-tiba dari Ryan.

'gue mau kasih tau kabar gembira sama lo.'

'kabar gembira apa?'

'berkat lo, gue bisa deket sama Nata. Masih banyak ya Angkasa, dan malam ini gua bakal makan malam sama Nata. Rasanya nggak nyangka banget, makasih banget ya.'

'itu aja?' ketus Angkasa.

'iya itu aja.'

'lo ganggu waktu gue, jangan nelpon-nelpon dulu. Gue masih banyak urusan, tapi selamat buat lo.' panggilan itu dimatikan secara sepihak oleh Angkasa, dengan kasar Angkasa melempar handphone nya kesamping dengan begitu kasar hingga membuat salah satu pegawai yang tengah menatap rambut nya merasa terkejut.

Mama Angkasa yang melihat itu langsung mendekati Putra semata wayangnya.

"Ada apa Nak, kenapa marah-marah gini?"


Life After Breakup [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang