Malam semakin larut. Suara burung hantu yang tengah mencari mangsa, suara jangkrik, dan udara dingin namun sejuk di malam hari mulai semakin intens.
Amedeo merapatkan jas yang dia pakai untuk menghalau dingin. "Hampir seharian ini rasanya aku melewati banyak hal yang melelahkan, tapi aku tidak mengantuk sama sekali. Apakah ini karena kebiasaanku bergadang?"
Amedeo memiringkan kepalanya, meregangkan ototnya yang lelah. "Mungkin aku harus berbaring agar cepat mengantuk. Atau menghitung domba barangkali?"
Pria itu akhirnya meninggalkan tempatnya merenung dan melangkah masuk. Ketika dia menutup pintu, sekilas sebelum pintu tertutup sepenuhnya, Amedeo melihat pintu rumah Eilithya terbuka.
"Eh?" Refleks Amedeo menutup pintunya, namun tidak rapat. Dia menyisakan sedikit celah untuknya mengintip.
Dari celah itu, Amedeo melihat sosok Eilithya dalam balutan jubah hitam dan membawa lampu lilin, meninggalkan kediamannya. Langkahnya sangat hati-hati, sesekali menoleh ke kanan dan ke kiri, seperti memastikan tidak ada yang melihat kepergiannya.
Amedeo mengerutkan keningnya, bergumam pada dirinya sendiri. "Apa yang Eilithya lakukan malam-makam begini? Mau pergi kemana dia dengan mengendap-endap begitu?"
Setelah memastikan pintu rumahnya terkunci dan dia yakin tak ada yang melihatnya, Eilithya bergegas meninggalkan kediamannya. Langkahnya yang cepat namun hati-hati membawanya ke arah Timur.
Netra Amedeo terus mengikuti pergerakan Eilithya. Jiwa ingin tahunya meletup. "Aku penasaran sekali. Coba aku ikuti, sekalian mengawasinya dari belakang kalau-kalau terjadi sesuatu padanya. Aneh sekali malam-malam pergi sendirian begitu."
Ketika Eilithya sudah sejauh beberapa meter dari rumahnya, Amedeo bergegas mengikutinya dalam jarak 10 meter. Sengaja mengambil jarak sejauh itu agar tidak menimbulkan curiga Eilithya kalau ada yang sedang mengikutinya.
Wanita itu berjalan menyusuri jalan setapak bernaungkan dedaunan pohon yang rapat. Angin berhembus pelan, menimbulkan gemerisik rendah dedaunan yang saling bergesekan. Satu-satunya pencahayaan yang dia punya hanyalah lampu lilin yang dia bawa.
Tak jauh darinya, Amedeo mengendap-endap. Dia sedikit kesulitan karena di tanah ada banyak sekali daun kering berhamburan. Setiap injakkannya menimbulkan suara gesekan.
Ah, sial. Dia dengar tidak, ya? Sebaiknya aku mengambil jarak yang sedikit lebih jauh lagi, pikir Amedeo seraya berhenti sebentar di tempatnya. Lalu kembali mengikuti Eilithya dengan jarak yang lebih jauh.
Tidak seberapa lama kemudian, Eilithya sampai di tempat tujuannya.
Di balik hutan yang disusurinya, ada hamparan pasir putih terbentang. Desiran ombak yang dipermainkan angin terdengar sangat tenang.
"Pantai?" gumam Amedeo, terkejut sekaligus heran. "Apa yang dia lakukan di tepi laut malam-malam begini?"
Amedeo bersembunyi di balik salah satu pohon, memperhatikan Eilithya yang berdiri di tepi pantai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Princess Avyanna: The Last Sorcerer Drazhan [ ENHYPEN ]
Fantasy[ Fantasy ] [ Dark Romance ] Hidup bersama saudara yang selalu merasa tersaingi olehnya, tidak membuat Avyanna merasa terasingkan. Hingga suatu hari, ketika sang kakak sulung dan sang ayah meninggalkan dunia untuk selamanya, tantangan baru dalam hid...