[ Fantasy ] [ Dark Romance ]
Hidup bersama saudara yang selalu merasa tersaingi olehnya, tidak membuat Avyanna merasa terasingkan. Hingga suatu hari, ketika sang kakak sulung dan sang ayah meninggalkan dunia untuk selamanya, tantangan baru dalam hid...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Di sebuah kediaman sederhana di perkampungan kecil, sosok gadis berambut hitam dengan netra berwarna hijau tengah duduk di tepi ranjang sembari sibuk mengoleskan ramuan herbal untuk memudarkan bekas luka.
"Aku tidak mengerti kenapa Nona Avyanna bisa kerasukan seperti itu. Apa dia depresi karena perjodohannya?" gumam Ran pada dirinya sendiri. Dia memperhatikan bekas luka cekiknya yang tidak terlalu parah. Namun cukup untuk meyakinkan orang yang melihat, kalau gadis sekecil Avyanna bisa menghasilkan luka.
"Kalau iya, aku jadi merasa kasihan padanya," gumam Ran lagi. "Meskipun menikah dengan seorang pangeran mahkota, jika orangnya bukan yang dicintai, siapapun takkan merasa bahagia."
Tok! Tok! Tok!
"Huh?" Perhatian Ran tercuri ke jendela kamarnya, dia melihat seorang pria dalam balutan jubah berwarna hitam dan cadar berwarna senada di baliknya.
Ran terperanjat, buru-buru dia hendak berteriak memanggil ibunya. "Ib--"
Pria dalam balutan jubah hitam itu menggeleng panik dengan kedua tangan yang heboh melambai. Segera saja dia menunjukkan sebuah kantong putih yang dibawanya, menunjukkan sederet kata di permukaan kantong itu pada Ran.
Ran menyipitkan mata, mencoba membacanya. "Dari ... Nona Avyanna?"
Setelah Ran membaca nama itu, pria berjubah hitam kemudian meletakkannya di pot tanaman bunga yang Ran tanam di bawah jendelanya. Setelah itu, pria asing itu pergi.
Kening Ran mengernyit bingung melihat apa yang dilakukan sosok misterius itu. Dengan keraguan, Ran coba mendekat dengan hati-hati ke jendelanya untuk mengambil benda tadi. Setelah mengambilnya, Ran dengan cepat menutup lagi jendelanya.
"Apa yang Nona Avyanna lakukan kali ini?" Ran membuka serutan kantong itu. Di dalamnya, dia mendapati ada sebuah surat.
Ran merogoh kantong itu, menarik keluar selembar kertas yang dilipat saja tanpa amplop. Ran pun membukanya dan membaca isinya dengan seksama. Berkali-kali keningnya mengerut seperti bingung, kemudian berubah jadi tegang.
"Bagaimana bisa aku melakukan ini? Nona sudah gila," gumam Ran dengan gelengan kepala.
Ran melipat lagi suratnya dan memasukkan benda itu ke kantong. "Aku tak bisa melakukan ini, aku harus membakar benda-benda ini ... eh?"
Netra Ran menajam. Dia melihat sebuah benda lain yang dibungkus oleh kertas yang sedikit lecek. Ran mengambil benda itu dan membuka bungkusannya. Sedetik kemudian dia terkejut.
"Koin emas? Ada tiga keping pula?" Ran memegang tiga koin emas yang dibungkus kertas itu. "Untuk mendapatkan tiga keping ini saja aku harus bekerja selama sembilan bulan. Apa Nona Avyanna benar-benar memberikan ini padaku?"
Ran menjabarkan kertas yang tadi digunakan untuk membungkus koin. Ada secarik kata di sana.
Ini untuk biaya pengobatan ayahmu dan makan adik-adikmu. Kau juga bisa memakainya untuk mengobati luka yang kusebabkan padamu. Sekali lagi, aku minta maaf.