꧁ Part 10 ꧂

52 7 1
                                    

══════════ ꧁꧂ ══════════

Perlahan Airyn membuka matanya. Gadis itu mendapati dirinya yang tak memakai sehelai benang pun terkulai di sofa. Sekujur tubuhnya terasa sakit, terutama bagian intimnya. Gadis itu meringis kesakitan. Entah berapa kali Xander memperkosanya saat tak sadarkan diri. Darah segar mengalir ke paha dan betisnya.

Xander duduk di sofa seberang meja. Laki-laki itu bertelanjang dada dan hanya memakai celana SMA-nya. Ia memerhatikan Airyn yang baru tersadar.

Ketika Airyn mencoba bangkit walau kesulitan, Xander menghampiri dan membantunya duduk. Namun, Airyn menepis tangan Xander.

"Biarkan aku pergi. Aku mau pulang," rengek Airyn.

"Tidak. Kita akan hidup bersama di rumah ini." Xander menangkup wajah Airyn, gadis yang membuatnya sangat terobsesi.

"Lepaskan aku. Aku mohon, aku mau pulang, aku mau pulang," ucap Airyn sembari menangis sesenggukan.

Xander memeluk tubuh telanjang Airyn. Gadis itu menangis dan gemetar dalam pelukannya.

"Aku mau pulang. Aku mau pulang." Airyn mendorong dada Xander. Namun, laki-laki itu tetap memeluknya.

Xander mengangkat tubuh Airyn dan memindahkannya ke kamar. "Aku tak akan pernah melepaskanmu, Airyn. Mulai saat ini, kau milikku selamanya."

"Jika kau mencintaiku, kau tak akan melakukan hal seperti ini. Kau melukai perasaanku dan juga tubuhku," kata Airyn.

Xander melipat kedua tangan di depan dada. "Aku mencintaimu, sangat mencintaimu. Aku melakukan ini agar tak ada pria lain yang bisa memilikimu. Pria mana yang akan menerima gadis yang sudah tidak perawan?" paparnya.

Airyn menatap Xander dengan mata bergetar. "Kau benar-benar iblis. Kau iblis, Xander. Aku membencimu," ucapnya pelan.

Xander tersenyum, kemudian menangkup wajah Airyn dan mendekatkan wajahnya. Airyn menahan dada Xander. Namun, laki-laki itu tetap kukuh dan mengecup bibir gadis itu.

"Aku mencintaimu, sekarang dan selamanya," ucap Xander, kemudian  berlalu pergi.

Keesokan paginya, Xander terbangun. Ia mendapati dirinya tertidur sendirian di kamar. Pandangannya tertuju ke bercak darah di seprai dan lantai. Sepertinya Airyn telah melarikan diri saat Xander masih tertidur.

Sementara itu, Airyn tengah menyusuri jalanan dengan berjalan sempoyongan. Gadis itu menangis tanpa suara dan menatap kosong ke depan sana. Darah segar masih mengalir dari selangkangannya, menetes ke rerumputan di tepi jalan.

Sebuah mobil berhenti di depan Airyn. Wanita paruh baya keluar dari mobil tersebut, lalu menolong Airyn dan membawanya ke rumah sakit.

Di rumah sakit, Airyn segera mendapatkan penanganan.

"Nona, kami harus menghubungi orang tua atau wali Anda," ucap salah seorang perawat.

"Tolong hubungi pengacara keluargaku saja," kata Airyn pelan.

Sore harinya.

Wanita paruh baya berjas hitam dan berpotongan rambut pendek seperti pria menjenguk Airyn. Wanita itu adalah pengacara keluarga Jovnch.

"Nona Airyn, aku tahu kondisimu saat ini benar-benar drop. Tetapi, aku harus memberitahukan apa yang dikatakan dokter kandungan padaku," kata pengacara.

"Katakan saja," jawab Airyn tegar.

"Mereka bilang, rahimmu harus diangkat demi keselamatanmu," kata pengacara dengan suara bergetar.

Airyn menyentuh perutnya. Meski ia sudah mendapatkan obat anti nyeri, tetapi rasa sakit di dinding rahimnya karena perbuatan Xander masih membekas dalam ingatan.

Freesia RefractaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang