“Duke, Anda tidak bisa mengambil seorang anak begitu saja,” Erica mengungkapkan keberatan. “Apa Anda tidak memikirkan dampak ke depannya? Duke Res pasti akan mengambil berbagai jalur. Inikah yang Anda inginkan? Perang antara Res dan Joa?”
Mendadak kue yang kukunyah kehilangan rasa. Hambar. Aku menepis tangan Duke Joa, menolak menikmati kudapan.
“Erica, kenapa kau harus merusak selera makan Ivy?”
“Duke....”
Joa dan Res. Bila dua keluarga besar itu memilih berseteru, maka bisa dipastikan korban berjatuhan.
Aku tidak tahu sejauh mana Duke Res bersedia mengeluarkan amunisi demi seorang anak sepertiku. Setahuku dia masih memenuhi semua kebutuhan utamaku: sandang, pangan, papan. Minus perhatian saja. Saat ada sengketa antara diriku dan Lilia, jelas anak dari cintanya yang ia utamakan.
Kembali ke Res jelas bukan jawaban. Di sana tidak ada tempat bagiku. Pengalaman hidup sebagai Ivy telah mengajariku bahwa ekspektasi merupakan racun. Membunuh perlahan, membuat seseorang kehilangan akal. Berapa kali aku harus mati hanya karena dilabeli sebagai penjahat?
“Ivy, coba katakan kepada kami alasanmu tidak bersedia kembali bersama Duke Res?”
Pertanyaan yang dilontarkan Duke Joa seperti anak panah yang menusuk tepat di sasaran. Aku tidak mungkin selamanya melarikan diri. Erica dan Duke Joa tentu saja tidak kesulitan mengabulkan keinginanku menetap di panti. Namun, kehadiran Duke Res dalam usaha meluluhkan hatiku sudah pasti akan mengganggu teman-teman di sini.
“Dia tidak bisa jadi ayah yang baik,” ucapku memberi jawaban jujur. Biskuit dalam genggamanku pun terlihat seperti kondisi perasaanku. Hancur berantakan. “Lagi pula, aneh sekali. Aku cuma seorang anak yang lahir dari perempuan yang bahkan tidak diakui secara legal sebagai istri Duke Res. Kebaikan Duke Res mengajakku bersamanya pastilah tidak ada hubungannya dengan kasih sayang orangtua.”
Selama sejenak aku kehilangan kekuatan untuk berbicara. Kenangan sebagai Ivy menghantam kesadaranku. Tidak terhitung segala upaya yang kuperbuat demi menggerus label penjahat dan biang masalah. Mulai dari memperbaiki hubungan dengan Lilia, menolong anggota keluarga sekalipun tidak diminta, apa pun yang pernah dilakukan oleh penerima isekai pun sudah kutempuh.
Akan tetapi, yang kudapat justru alineasi, penghinaan, fitnah, dan sejumlah tutur keji. Ivy telanjur melakukan semua kejahatan, sementara aku terjebak usaha memperbaiki reputasi. Semakin keras perjuanganku, makin pedih hasil yang kuterima.
“Bahkan ibuku tidak segan memukulku,” kataku melanjutkan.
Aku tidak berani menatap Erica ataupun memandang Duke Joa. Takut. Aku takut bila di kedua mata itu terpantul penyesalan dan ketidakberdayaanku.
“Ibu tidak pernah bercerita mengenai ayahku,” ujarku menambahkan. “Dia hanya menugasiku merawat kebun dan ayam, lalu berberes rumah, serta memasak. Bila ada kesalahan yang tidak sengaja kulakukan, maka dia tidak sungkan melayangkan pukulan. Luka di sini,” kataku sembari menggulung lengan baju, memamerkan luka gores di sikut. “Karena aku memecahkan piring.”
“Astaga, Nak!” Erica bangkit, meraihku dari pangkuan Duke Joa, dan memberiku pelukan. “Kau aman. Tidak akan ada orang yang berani menyakitimu.”
“Tolong jangan serahkan aku kepada Duke Res,” aku memohon. “Kudengar bangsawan tidak menyambut baik anak yang mewarisi darah jelata. Aku tidak butuh pakaian mewah, makanan lezat, ataupun gelar. Satu-satunya yang kuinginkan hanya boleh memilih kehidupan milikku sendiri. Aku ingin jadi wartawan atau budak tinta seperti Xar. Mana pun tidak masalah.”
Kubenamkan wajahku ke pelukan Erica. Berharap bisa menyerap sedikit kehangatan yang dia miliki. Agar kehampaan dalam diriku terisi dan rasa dingin yang kadang menyerang hatiku pun enyah.
“Bagaimana bisa anak kecil berpikir sejauh itu?”
Suara Duke Joa terdengar getir. Barangkali pertanyaan itu tidak ditujukan kepada siapa pun. Mungkin dia hanya sedang terpukau dengan sesuatu yang tidak pernah dia temui.
“Duke, bagaimana?”
“Ivy, secara hukum Enua,” Duke Joa menjelaskan, “Duke Res akan tetap memiliki hak atas dirimu kecuali....”
“Aku dewasa,” potongku. Kali ini aku berani menatap Duke Joa. “Jadi, tolong bantu aku mengusir Duke Res sampai aku dewasa.”
“Permasalahan dengan dewasa,” Duke Joa mulai menunjukkan kelemahan rencanaku, “ialah, kau baru dianggap sebagai orang dewasa saat menginjak usia tujuh belas. Itu artinya, Duke Res masih memiliki peluang merebutmu dari kami.”
Sontak keningku pun berkerut. Sialan! Itu artinya aku harus melatih jurus cakaran monyet, tendangan keledai sinting, dan lemparan beruang sakti.
“Atau kau bisa lolos dari Duke Res dengan cara bertunangan dengan keponakanku,” Duke Joa mencetuskan ide yang sungguh luar biasa mengerikan!
“Tidak!” raungku sembari memberengut. “Aku masih kecil! Aku mau tahu rasanya bertemu cinta sejati walau tidak bisa bersama!”
“Erica, apa yang dibaca anak-anak di perpustakaanmu?”
Kuabaikan komentar Duke Joa. Hoh tidak! Aku tidak tahu mengenai Joa yang itu, yang menjadi duke menggantikan Joa yang ini! Bagaimana bila nasibku berakhir seperti haaaaa tidak!
“Keponakanku setampan kakakku,” Duke Joa memuji saudaranya. “Dia bahkan mewarisi sikap manis ibunya.”
“Anak kecil tidak boleh bertunangan!” pekikku sembari menatap melas kepada Erica ... tunggu! Mengapa Erica menertawakanku? “Ericaaaa!”
“Sayang, pertunangan wajar dilakukan oleh bangsawan.”
“Tidak mau!” aku menolak mengejar cinta yang tidak bisa kuraih. Persetan dengan perjuangan. Aku butuh uang! “Tidak!”
“Bagaimana bila begini?” Duke Joa menawarkan. Dia memberi isyarat kepada Erica agar mengembalikanku ke pangkuannya. Erica menurut. Kini aku duduk manis di pangkuan Duke Joa. “Kau bisa bertahan di Joa sebagai tunangan sementara? Bila sudah dewasa, kau bebas menentukan pilihanmu sebab Duke Res tidak bisa mengganggumu lagi dengan hukum Enua.”
Itu keren!
Lekas kugenggam telunjuk Duke Joa dan menggoyangnya ke kanan dan kiri. “Hebat!”
“Atau kau aku adopsi saja?” Duke Joa memberiku cengiran lucu. “Dengan begitu, Duke Res tidak berkutik.”
Jadi putri Duke Joa?
Belajar tata cara pemerintahan?
Bertemu bangsawan?
Senyum profesional?
Tawaran pernikahan dari bangsawan lain?
Aku pun menggelengkan kepala. “Tidak!”
“Hah mengapa?” Duke Joa tampak kecewa. Dia membelai kepalaku dan ... hei jangan cari kutu! Aku tidak punya kutu! “Aku bisa jadi ayah yang hebat.”
“Duke, Anda hanya ingin mengganggu Duke Res,” sindir Erica yang kini duduk di kursi. “Itu bukan hobi yang bagus. Lalu, apa Anda sudah bertanya kepada keponakan?”
“Dia pasti suka dengan ideku,” sahut Duke Joa sembari mencolek pipiku. “Joa selalu menyukai sesuatu yang menggemaskan, bukan?”
Kucing, menggemaskan. Kelinci, menggemaskan. Uang banyak, menggemaskan. Aku? Bagian mana yang menggemaskan?
“Baiklah,” Duke Joa memutuskan, “Ivy akan ikut denganku sebagai tunangan sementara keponakanku.”
Hehe bagus. Bagus. Bagus.
Dengan begitu aku bisa belajar jurnalistik dan melebarkan sayap sesuka hati. Setelah itu aku akan pergi ke negeri lain, lepas dari cerita utama yang selama ini menyengsarakanku, dan hidup sebagai manusia bahagia sekalipun masih jadi budak kapitalis dalam metode lain.
Sungguh damai masa depan nanti.
***
Duke Res: “Perasaanku tidak enak.”
Elvan: “Mungkin masuk angin.”***
Selesai ditulis pada 14 September 2024.***
Astaga tinggal beberapa bulan lagi udah 2025. Rasanya sedikit menyeramkan. Nggak tahu. Pokoknya seram saja. Hiks.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Lady Ivy
FantasyHidup seperti kemalangan tiada akhir. Siang dan malam memberiku kegilaan tak tertangguhkan. Sungguhkah bertahan hidup harus mengorbankan sedikit demi sedikit jiwa? Maka sudah pasti jiwa milikku tinggal setetes dan tidak terselamatkan. Orang mengira...