43

848 216 5
                                    

Aku dan Duke Joa memilih lekas kembali Ratoa, provinsi yang dikuasai Duke Joa, tempat kediaman utama berada. Lagi pula, penelitianku bisa berlanjut kapan pun. Bisa menunggu kesempatan lain.

Setibanya di Ratoa, Duke Joa tidak langsung bersantai. Dia berangkat menuju istana. Sesuai dengan rencana awal, ia bermaksud melapor kepada Raja Eza. Kawasan hutan yang dikuasai manusia harus dikembalikan seperti sedia kala. Itu termasuk menanam sejumlah pohon apel agar monster memiliki sumber makanan selain berburu binatang liar.

Pencegahan perlu dilakukan sebelum monster semakin sulit dikendalikan oleh manusia. Aku kenyang makan pengalaman buruk terkait monster. Berkat itu aku tidak tertarik dalam acara perburuan dan memilih belajar saja. Tidak ada jaminan monster takkan muncul mendadak di area perburuan.

Duke Joa pun mungkin sepaham denganku. Bila tidak, ia takkan bergegas menemui Raja Eza dan melaporkan kondisi di sana.

Akan tetapi, kecemasanku terlampau sederhana. Aku hanya mengira Raja Eza tidak merestui ide mengembalikan tanah pada monster. Hal sepele, sebenarnya. Begitu melihat Duke Joa, yang kembali dari melapor, semua ketakutan dalam diriku tidak ada apa-apanya.

"Aku tidak suka arah pembicaraan kami," ujarnya kepadaku saat kami bicara di ruang kerjaku. Dia duduk di kursi, mengabaikan potongan tanaman yang tersebar di meja, dan terlihat lelah. "Sejak kapan Pangeran Ray tertarik kepadamu, Nak?"

Tanganku yang hendak meraih potongan apel ungu pun terhenti. Aku terperenyak. Berdiri di depan tungku, menatap pias pada rebusan berwarna merah gelap seolah di sana ada misteri yang perlu kupecahkan.

"Kenapa?" Aku berbalik, mengabaikan rebusan yang menciptakan suara gelembung pecah. "Bukankah kehadiranmu di istana sekadar menjelaskan kerusakan lahan? Mengapa topik pembicaraan menggelinding ke ... aku?"

Duke Joa memijat kepala, jemarinya terlihat kaku setiap kali bergerak. "Raja Eza bersedia mengembalikan fungsi lahan. Dia bahkan telah memberikan solusi terkait sejumlah desa yang perlu dipindahkan. Termasuk, ganti rugi ladang dan ternak."

Bulu halus di sekujur tubuh pun tegak. Aku tidak suka arah pembicaraan yang hendak Duke Joa ungkapkan.

"Pangeran Ray memohon kepadaku agar membatalkan pertunangan antara dirimu dan Igor."

Bom besar dijatuhkan ke pangkuanku. Bom laknat. Seumur hidup aku tidak pernah berpikir dia, orang yang bertanggung jawab atas kematianku, mendadak berubah haluan.

"Dia ingin mendekatimu."

"Aku tidak tertarik," lekas kutolak ide gila pangeran sinting. Aku pun berkacak pinggang, memberi Duke Joa senyum cemberut, dan berkata, "Dia bukan tipeku! Aku suka pria seperti Igor!" Bahkan sendok kayu khusus untuk mengaduk pun siap kujadikan senjata! "Tidak tertarik!"

"Tenang saja. Tawaran Pangeran Ray langsung kutolak tanpa perlu berpikir dua kali. Untung Raja Eza berpihak kepadaku, walau rasanya mustahil. Aku ingat dia hendak menawarkan putra pertamanya, Putra Mahkota, tapi.... Akhir-akhir ini dia terlihat mirip orang kurang tidur."

Mungkin kesintingan Ray kumat. Semoga saja Lilia lekas sadar dan memasukkan salah satu ikannya, Ray, kembali ke akuarium. Ini penting! Jangan sampai Ray bertindak gila dan mengganggu rencanaku hidup makmur!

"Menjadi raja bukanlah pekerjaan menyenangkan," komentarku sembarangan. Aku kembali melanjutkan pekerjaanku. Malam ini tidak boleh ada yang berani menghalangi agendaku membuat ramuan penenang khusus monster. "Oh ya, aku ingin membuat ramuan penenang. Bila sukses, akan kudistribusikan sampai ke kerajaan tetangga!"

"Ivy, Pangeran Ray berencana mampir."

"TOLAK SAJA!" semburku tanpa ampun. Gerakan tanganku mengaduk semakin cepat seiring kemarahan dalam diriku yang memuncak. "Aku tidak mau menjadi bagian dari keluarga kerajaan! Igor berjanji akan menemaniku sebagai petualang sejati. Menjadi menantu Raja Eza sama saja mengekang kebebasanku. Mengapa tidak tawarkan Lilia? Kudengar dia belum memilih pasangan."

Dear Lady IvyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang