“Aku tidak bohong! Sungguh! Bukan aku yang memasukkan racun ke dalam minuman Lilia!”
Duduk bersimpuh seperti seorang pendosa. Aku berusaha mengumpulkan segenap keberanian, mengangkat dagu tinggi-tinggi, bersusah payah menahan air mata, dan mempertahankan suara agar semua pembelaanku bisa tersampaikan.
Akan tetapi, tidak ada satu orang pun di ruangan yang menyambut baik keberadaanku. Mereka bahkan tidak peduli identitasku, sekalipun campuran, sebagai bagian dari Res.
Ayah.... Begitulah panggilan yang ingin kusematkan kepada lelaki yang kini duduk di belakang meja. Kepada lelaki yang kuharap bersedia menempatkanku sebagai bagian dari suatu keluarga. Kepada lelaki yang konon berjanji memberiku ruang aman. Namun, dia yang ada di hadapanku kini tidak ada bedanya dengan seorang hakim. Tidak kutemukan kehangatan yang selama ini ia tunjukkan kepada Lilia. Di kedua mata itu hanya ada musim dingin.
“Aku sungguh tidak tahu apa pun,” ucapku dengan nada suara yang terdengar pedih. Kini aku mulai kesulitan mempertahankan kekuatan. Suaraku bergetar. “Duke, tolong jangan perlakukan aku seperti ini.”
“Lilia bisa saja mati.”
Ekiel. Dia berdiri di belakang Duke Res. Tuduhan yang ia tembakkan kepadaku tidak bisa kuelak. Menancap. Tepat di jantung. Sekalipun ia tampak tenang, tetapi aku bisa merasakan keinginan menghabisiku detik ini juga.
“Dia saudarimu,” Ekiel terus menuduhku, tidak memberiku kesempatan membela diri, “selalu mengutamakan kepentinganmu di atas segalanya. Namun, kau justru membalas kebaikan Lilia dengan pengkhianatan.”
Air mata yang sedari tadi mati-matian kutahan pun telanjur tumpah. Sendirian. Remaja tujuh belas tahun sepertiku bahkan tidak memiliki cukup keberanian untuk melakukan pemberontakan. Setelah segala upaya yang kulakukan demi memperbaiki citra Ivy, sang karakter keji, justru inilah yang kudapat.
“Pelayan menemukan botol berisi racun di kamarmu,” kali ini Duke Res menyuarakan pikirannya, “pelayan pribadimu telah mengaku bahwa kau yang membelinya di pasar gelap.”
Aku menggeleng, berusaha mengusir kemarahan yang berkobar dalam diriku. Saat ini diriku tidak ada bedanya dengan sebatang ilalang yang dilahap api. Dalam sekejap aku akan lenyap. “Sungguh aku tidak tahu apa pun,” kataku dengan suara lirih, nyaris mengemis, “sama sekali. Kenapa kalian berharap aku mengakui sesuatu yang jelas-jelas bukan perbuatanku?”
“Ivy!”
Ekiel menghantam meja. Botol tinta jatuh. Karpet merah pun kini dinodai oleh warna hitam, legam seperti hatiku.
“Ayah,” ucapku dengan segenap perasaanku yang hancur, “aku tidak memiliki niatan mencelakai Lilia.”
“Katakan itu kepada Lilia yang kini sekarat!” Ekiel melempar botol bening ke arahku. Benda itu jatuh tepat di pangkuanku. Tidak rusak. Masih tersegel. Cairan biru tua di dalam botol tinggal setengah. “Benda itu ada di kamarmu! Pelayan yang melayanimu pun mengakui perbuatanmu. Dia bahkan menunjukkan penjual yang kini kami tahan di penjara. Apa yang hendak kau ingkari, Ivy?”
Jantungku berdebar kencang, membuatku kesulitan bernapas. Aku ingin bicara, tapi tenggorokkanku rasanya seperti tercekik. Sulit menuturkan bahkan sepatah kata pun. Air mataku kian berlinang, mengaburkan pandanganku.
“Aku kecewa,” tutur Duke Res. Dia memijat pelipis, sama sekali tidak bersedia menatapku. “Kali ini perbuatanmu sungguh keterlaluan.”
Tangisku kian menjadi. Kali ini diriku makin terlihat seperti orang bersalah. Terus terang semua semangat mempertahankan nyawa dalam diriku telah pupus. Di hadapanku hanya ada manusia yang ingin menghakimi, tidak ada pelindung maupun pembela. Di mana tempatku berada seharusnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Lady Ivy
FantasíaHidup seperti kemalangan tiada akhir. Siang dan malam memberiku kegilaan tak tertangguhkan. Sungguhkah bertahan hidup harus mengorbankan sedikit demi sedikit jiwa? Maka sudah pasti jiwa milikku tinggal setetes dan tidak terselamatkan. Orang mengira...