45

803 215 7
                                    

Tekanan yang begitu menyesakkan perlahan lenyap. Napas mulai terasa ringan, segala bising pun sirna; tidak ada suara angin ribut, tidak terdengar pecahan kaca berdesing dan menyayat daging, serta teriakan memekkan telinga pun hilang.

Terlalu sunyi.

Terlalu sepi.

Kubuka mata, bersiap menyaksikan pemandangan mengerikan.

Akan tetapi, sejauh mata memandang yang bisa kulihat hanyalah hamparan padang pasir. Langit di atasku begitu hitam, persis bentangan kain yang dicelup ke dalam tinta. Beberapa bintang bertaburan bagai berlian, mengelilingi rembulan yang begitu pucat.

“Igor?”

Igor tidak sadarkan diri. Dia terbaring di atas hamparan pasir, mata terpejam, dan dada bergerak naik dan turun—pertanda dia masih hidup. Aku membungkuk, menempelkan telingaku di atas dada Igor. Bisa kudengar suara degup jantung deg deg deg.

Kutepuk wajah Igor, berharap dia merespons.

“Igor!”

Sejauh ini Igor tidak menanggapi. Dia terpejam, mirip pangeran yang menantikan kecupan dari putri yang akan mengangkat kutukan. Namun, aku bukan seorang putri. Aku tidak memiliki sihir indah dari negeri dongeng. Lalu, aku juga tidak tahu kutukan ataupun....

“Dia baik-baik saja.”

Begitu aku mendongak, pemandangan padang pasir malam pun berubah. Bentangan selimut malam menjelma langit biru, rumput dan bunga-bunga menyeruak keluar dari timbunan pasir—mengusir nuansa kering dengan sentuhan hijau. Pohon-pohon, bukan sekadar pohon, pohon yang kulihat di taman khusus milik Joa pun bermunculan. Kulit pohon seputih tulang, daun-daun emas, ranting berhias untaian bunga berwarna merah darah. Sedikit berbeda dengan milik Joa, tetapi kurasa mereka masih satu spesies.

Di bawah Igor pun rumput segar nan empuk tumbuh. Sinar matahari hangat membasuh Igor, membuatnya makin mirip dengan penggambaran pangeran dari negeri ajaib.

“Dia baik baik saja, Ivy.”

Sosok yang kulihat dalam mimpi kini menampakkan diri di hadapanku. Dia masih terlihat seanggun dalam bayangan di benakku. Kalau boleh jujur, dia mirip kotak misteri yang menyimpan rahasia. Barangkali rahasia yang takkan sanggup kutanggung.

“Dia hanya terlelap,” ia menjelaskan.

Aku tidak berani meninggalkan Igor demi mengorek informasi dari sosok ini. Adapun yang kulakukan ialah, melingkarkan tanganku ke kepala Igor dan mengistirahatkan kepalanya di pangkuanku.

Sosok itu mengalihkan pandang kepada Igor. “Peri musim panas,” ujarnya dengan nada suara yang di telingaku terdengar begitu getir. “Aku tidak menduga bisa melihat keturunan mereka.”

“Kenapa kau menyakiti Ekiel dan Lilia?”

Begitu dua nama itu terlontar dari bibirku, dia memberiku tatapan tajam dan menusuk. Seakan aku perlu dihakimi atas pertanyaanku.

“Mengapa tidak?” tanyanya dengan nada menantang. Dia mendekat, hanya memberikan jarak sejengkal di antara kami, lalu bersimpuh di hadapanku. “Mengapa tidak, Ivy? Bukankah mereka pantas mendapat hukuman?”

“Aku tidak paham,” kataku menepis perasaan tidak nyaman yang makin mengental dalam hati. “Jangan bicara omong kosong.”

Mengapa dia bisa tahu namaku? Mengapa?

“Ivy, bukankah ini tidak adil? Mereka bisa hidup nyaman, tanpa beban, dan tidak perlu merasa bersalah seumur hidup. Berbeda dengan dirimu, bukan? Berapa kali kau harus mati demi mereka? Berapa kali kau tewas di tangan musuh yang mengharapkan kematian Res? Apa kali ini pun kau hendak menumbalkan dirimu sendiri?”

Dear Lady IvyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang