Tarian kedua pun berakhir. Sekalipun sepanjang musik diperdengarkan aku tidak berkontribusi apa pun selain menumpang, tapi rasanya lelah sekali. Sosialisasi ternyata bukan kompetensiku. Jiwaku terlalu anak rumahan. Beri aku internet, kudapan, ranjang empuk, dan buku. Niscaya diriku betah berlama-lama di kamar.
“Terima kasih, Yang Mulia.” Satu beban berhasil kusingkirkan. “Terima kasih atas pengertian bahwa saya tidak bisa menari.”
“Tidak bisa menari bukanlah suatu kekurangan,” katanya mencoba menyemangati. “Tolong tulis bahan yang kaubutuhkan kepada Penyihir Dorga. Aku akan mengirimkan semuanya ke kediaman Joa.”
“Akan saya kerjakan sebaik mungkin,” janjiku sembari melengkungkan senyum sales. Hihi pelanggan penting. VIP. “Saya pasti akan memberikan ramuan terbaik!”
Raja Eza membantuku meninggalkan lantai dansa. Lagu baru mulai dimainkan oleh pemusik dan semua orang bersiap meleburkan diri dalam hiburan. Begitu aku berhasil keluar dari lingkaran tarian, Duke Joa dan Duke Res menyerbuku dengan penuh semangat.
Terlalu bersemangat.
Mereka berdua mirip anak kecil tengah berlomba adu sesuatu. Satu sama lain tidak sudi kalah. Aku bahkan tidak tahu hal yang mereka ributkan.
“Nak,” ujar Duke Res dengan lembut, “sekarang saatnya kau menari bersama ayahmu.”
Padahal beberapa menit yang lalu dia sibuk bergaya “jangan sentuh aku” sambil minum. Sekarang dia tidak sungkan mencampakkan gaya elite, memberiku senyum termanis, dan berlagak segalanya baik-baik saja. Huh seolah aku butuh aprisiasi darinya.
“Dia tidak butuh!” desis Duke Joa yang secara terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya melalui tatapan. “Coba kau urus kedua anakmu. Mereka lebih membutuhkan bantuanmu.”
Benar. Lilia dan Ekiel jelas butuh bantuan. Ekiel dikerumungi lady. Mereka tidak memberi celah bagi penerus Res melarikan diri. Sekalipun Ekiel pahit saat berhadapan denganku, tetapi bila ditandingkan dengan orang lain sikapnya akan jadi sedikit normal.
Lilia pun tidak kalah mengenaskan. Sejumlah pemuda mulai mendekat. Mereka pasti tidak akan menyia-nyiakan kesempatan berdekatan dengan keturunan Res. Sejauh ini aku tahu bahwa Lilia telah berkecimpung di masyarakat, khususnya bangsawan, dan memberi sumbangsih luar biasa. Contoh, dia menggelar pameran budaya dan uang yang terkumpul dikirimkan ke sejumlah panti. Salah satu panti yang menjadi penerima dana ialah, panti yang dikelola Erica. Koran menuliskan semuanya secara detail. Asal tahu saja, informasi tidak akan membunuhmu. Namun, beda cerita dengan ketidaktahuan.
“Aku tidak butuh pendapatmu,” serang Duke Res yang makin galak saja.
“Dia putriku,” Duke joa membalas. “Kenapa kau tidak bisa membiarkan Ivy tenang?”
Inilah saat yang tepat bagiku menghela napas dan mengembuskannya melalui mulut. Sungguh berat bebanku! Terlebih Raja Eza, yang berdiri di sampingku, justru tidak melerai. Dia tersenyum dan menikmati pertengkaran kedua duke seakan itu hiburan saja.
Beberapa orang mulai mencuri pandang ke arah kami. Ada seorang madam bergaun merah yang tengah membawa kipas. Dia berbisik ke rekannya. Barangkali sibuk bergosip. Entahlah. Oh astaga. Aku tidak mau reputasiku hancur. Iya, beberapa waktu lalu memang aku tidak peduli. Terlebih setelah memanggil Duke Joa sebagai ayah. Namun, ya toloooooong! Beda cerita bila keberadaanku dikaitkan dengan bapak-bapak! Jodohku di masa depan bisa kabur!
Kutarik lengan Raja Eza. Meski tindakan tidak sopan, tapi aku perlu perhatiannya. Dia menoleh dan kuminta sedikit merunduk agar aku bisa berbisik.
“Tolong izinkan saya berdansa dengan Putra Mahkota,” ucapku dengan suara lirih. “Yang Mulia, setelah dansa tolong biarkan Putra Mahkota mengantarku ke keluar dan Anda bertanggung jawab mengirim Duke Joa di luar, menungguku.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Lady Ivy
FantasyHidup seperti kemalangan tiada akhir. Siang dan malam memberiku kegilaan tak tertangguhkan. Sungguhkah bertahan hidup harus mengorbankan sedikit demi sedikit jiwa? Maka sudah pasti jiwa milikku tinggal setetes dan tidak terselamatkan. Orang mengira...