Aku membawa beberapa ramuan, memasukkannya ke dalam koper mungil. Igor jelas tidak sependapat denganku. Dia memberiku tatapan menyedihkan seolah perbuatan yang kulakukan sungguh berbahaya. Namun, hatiku masih tersentuh sedikit kemanusiaan. Aku tidak ingin bergabung dengan Res, tetapi bantuan yang kuberikan bukanlah karena perkara hubungan darah. Anggap saja aku tidak mau kena karma buruk. Coba dibalik posisi saat ini. Aku pun akan mengemis bantuan kepada siapa pun demi menyelamatkan Duke Joa maupun Igor.
Perjalanan menuju kediaman Res terasa menegangkan. Terlebih di dalam semua orang terlihat cemberut dan garis wajah mereka terlampau tajam seolah ada yang menarik, amat kencang, wajah mereka.
Sekitar lima belas menit, yang terasa seabad, kami sampai. Semua pekerja Res gusar dan tidak ada yang memberiku senyum. Aku membayangkan semua orang memiliki setidaknya satu awan gelap yang tengah menaungi mereka. Begitu pekam dan kelabu. Setiap mata memancarkan kesedihan, tekanan, dan teror.
Sungguh berbeda jauh dengan kenangan terakhirku kala berada di kediaman Res. Satu-satunya yang sanggup kuingat hanyalah hal-hal menyedihkan; tidak ada pelayan yang bersedia melempar senyum, setiap hari hanya berisi kritik mengenai tindakan yang kulakukan maupun tidak kulakukan, dan betapa jiwaku terpenjara layaknya burung dalam sangkar emas.
Sekarang saat kakiku menjejak di kediaman Res, hatiku masih sakit. Waktu tidak menyembuhkan kekecewaan dalam diriku. Sesungguhnya aku hanya beradaptasi dengan luka, menerima rasa sakitnya dan menanggungnya seperti tanda jasa kehormatan.
“Ivy?”
Suara Igor berhasil mengembalikanku ke masa kini. Aku dan Igor berdiri di depan sebuah kamar. Duke Res memberi intruksi kepada setiap orang, bahkan kesatria yang berjaga pun tampak kusut dan letih. Kedua mata mereka merah, ada lingkaran hitam begitu jelas di kantong mata.
“Kau akan menemaniku masuk, bukan?” tanyaku sembari memberi Igor seulas senyum getir. “Tolong jangan tinggalkan aku sendirian di sana, ya?”
“Aku akan menemanimu,” Igor menyanggupi. “Takkan kubiarkan kau menghadapi semua sendirian.”
Duke Res mengajakku masuk. Begitu pintu terbuka, bisa kulihat betapa kacau suasana di dalam. Ada dua ranjang. Masing-masing ditempati oleh Ekiel dan Lilia. Lilia terpejam, tidak bergerak. Berbeda dengan Ekiel yang diikat menggunakan kain, melekat di ranjang, dan sekarang dia berusaha berontak walau kedua mata terpejam.
“Raja Eza berkata bahwa kau bisa menyembuhkan mereka,” Duke Res mengulangi pernyataan yang ia ungkapkan di kediaman Joa. “Aku tidak akan berharap banyak, tapi tolong.... Setidaknya, tolong sembuhkan saudaramu.”
Aku tidak akan mengoreksi Duke Res. Khusus hari ini. Pelayan pria dan wanita bersiap di dalam. Begitu pula segelintir kesatria. Pemandangan yang amat tidak menyenangkan mengingat ada cahaya hangat di luar sana, yang menerobos lewat jendela, dan menyirami ruangan dengan sentuhan indah.
“Ke mana perginya Elvan?” tanyaku basa-basi.
“Aku mengirimnya ke kuil agar tidak terkena imbas,” balas Duke Res, singkat.
Kuletakkan koper di nakas. Igor mengekor di belakangku, sementara Duke Res berdiri di samping ranjang Lilia. Kedua orang yang seharusnya tidak terluka ... oh hidup kadang aneh. Aneh dan menakutkan.
“Mungkin tidak manjur,” kataku, lirih. “Namun, patut kucoba.”
Aku menyerahkan sebotol ramuan berwarna ungu gelap kepada Igor. Ramuan yang kubuat dari debu peri, bunga bulan yang mekar pada musim salju pertama, beri mimpi buruk (begitulah sebutan bagi beri mungil berwarna kuning yang diberikan peri kepadaku), dan biji buah terpahit yang dipetik oleh peri periang. Harus peri periang. Peri kelebihan energi kebahagiaan. Sumber bahan yang kudapat secara cuma-cuma dari sahabat periku.
“Kau bersedia mengorbankan diri?” Sengaja aku menyerahkan tugas terberat kepada Igor. Mohon maaf, melihat Ekiel mengerang dan mulai mengamuk bahkan ketika tidak sadar ... aku tidak mau kena gigit! “Tolong.”
“Biarkan aku,” Duke Res menawarkan diri.
“Igor akan mengikat Ekiel menggunakan tanaman,” jelasku. “Dia jauh lebih kompeten dalam urusan ini dibanding siapa pun yang ada di sini.” Aku pun mengedarkan pandang. “Tidak ada jaminan Ekiel takkan menyerang siapa pun. Berdasarkan sumber yang kudapat, ada kemungkinan-lupakan saja! Semua orang yang tidak bisa berkelahi harap keluar dari sini. Sekarang!”
“Lakukan yang putriku perintahkan,” ucap Duke Res.
Semua orang, kecuali kesatria, pergi sesuai arahanku.
“Igor, kau paham tindakan selanjutnya?”
Igor mengangguk.
“Paman, kuserahkan tugas terakhir kepadamu,” ucapku sembari mengambil botol lain, sama seperti yang Igor pegang, kepada Duke Res. “Aku menuntut bayaran mahal bila berhasil. Seperti, buku tertua dan terlangka yang ada di perpustakaan Res.”
Lekas kuambil beberapa butir biji pohon patah hati. Teman periku menjelaskan bahwa biji itu bisa menolak bala jahat. Senjata terakhirku bila ada yang tidak beres.
“Siap!”
Aku pun menjauh, mencari jarak aman, dan memperhatikan.
Sulur tanaman tumbuh. Sulur yang bahkan anehnya muncul dari ranjang Ekiel maupun Lilia. Mereka berdua dijerat amat erat oleh sulur. Baik Ekiel maupun Lilia, mulut mereka dibuka paksa oleh Igor dengan cara memanfaatkan sulur. Setelahnya, ramuan dituang ke dalam mulut.
Ekiel dan Lilia kejang-kejang. Aku melirik pinggang Igor, mengecek-oh untung ada senjata. Setidaknya, bila ada hal yang tidak kuinginkan akan ada bantuan baru.
Cahaya ungu gelap menguar keluar dari tubuh Ekiel dan Lilia. Bintik-bintik hitam pun bergerak, menyusuri kulit, seperti semut. Ekiel mengerang, mirip orang gila. Dia meronta, berusaha bebas. Namun, jeratan tanaman menahan pergerakan Ekiel.
Semakin pekat, mirip kabut dalam mimpiku. Asap ungu gelap keluar dari mulut Ekile dan Lilia. Asap itu membumbung di langit-langit, bersatu, membentuk sosok mengerikan berupa burung gagak.
Semua kesatria menghunuskan pedang. Mereka menatap teror baru yang ada di dalam ruangan. Makhluk itu bertambah besar, kian besar, seolah hendak meruntuhkan langit-langit dan mengubur kami semua.
Di bawah sang makhluk, Ekiel dan Lilia pun merespons; berteriak, suara yang mereka lontarkan sungguh bising dan menyakitkan telinga. Orang terdekat dengan sang makhluk ialah, Igor dan Duke Res. Si makhluk hendak menyentuh Duke Res. Di mataku dia justru terlihat seolah mengabaikan Igor.
“Hei!”
Aku segera melemparkan biji-bijian, tepat ke si makhluk.
Makhluk itu meraung, suara desis daging terpanggang pun terdengar, dan dia mengepakkan sayap dengan amat cepat. Angin menghantam apa pun, membuat jendela hancur, dan menerbangkan pecahan kaca. Igor menarikku menjauh saat pecahan kaca hampir mengenaiku. Aku tidak berani membuka mata. Satu-satunya yang kudengar hanya raungan dan suara benda berjatuhan.
“Igor!”
Perlahan aku berusaha membuka mata.
Hanya untuk menyaksikan asap gelap berkumpul di sekitarku dan Igor. Ekiel dan Lilia terkapar di ranjang. Sekilas saja aku melihat ... mengecek, kulit mereka kembali seperti semula. Duke Res dan yang lain berusaha mendekatiku dan Igor, tetapi angin kencang mengempas mereka.
Igor memelukku, membentengiku dari pecahan kaca. Asap di sekitar kami menebal, makin gelap, dan kurasakan ada kekuatan besar yang menarik kami ke dalam kegelapan.
Kekuatan yang bahkan Igor pun tidak sanggup melawan.
Kekuatan yang memisahkan kami, aku dan Igor, dari Res.
Segalanya gelap.
Pekat.
***
Elvan: “Aku sakti. Tidak sakit.”
Igor: “Atau terlalu bodoh hingga kutukan pun malas berurusan denganmu.”
Elvan: “...”***
Selesai ditulis pada 7 November 2024.***
Saya fokus ke Ivy. Hahaha jadi cerita yang lain istirahat dulu. :”) Tubuh saya nggak sekekar tahun lalu, ya. Saya nggak mau tumbang dan sakit. Mahal. Hiks. Oke?Terima kasih atas pengertiannya. Muah. Sayang kalian semua teman-teman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Lady Ivy
FantasyHidup seperti kemalangan tiada akhir. Siang dan malam memberiku kegilaan tak tertangguhkan. Sungguhkah bertahan hidup harus mengorbankan sedikit demi sedikit jiwa? Maka sudah pasti jiwa milikku tinggal setetes dan tidak terselamatkan. Orang mengira...