Aku hanya tertarik belajar dan mengeruk informasi yang kurasa berguna untuk masa depan. Sekalipun nanti di masa depan tidak bisa jadi pemburu berita, tetapi pasti ada banyak hal menarik yang bisa kulakukan. Bermacam profesi, beribu hobi, beragam budaya, dan aneka makanan. Semua itu menarik dan patut kujelajahi.
Lihatlah betapa mulia pemikiranku. Tidak ada niat buruk selain satu, mengumpulkan uang. Namun, semua berubah ketika surat dari Raja Enua tiba.
Seharusnya kukerjakan saja esai dengan lebih mempertimbangkan keselamatan. Bagaimana bisa Raja Enua tertarik tulisan anak-anak? Itulah yang pasti muncul di kepalaku andai saja tidak membaca novel.
Bukan sesuatu yang mengherankan. Normal. Biasa saja. Raja Enua, berdasar penelusuran novel, merupakan pribadi yang menyukai ilmu pengetahuan. Eh jangan bayangkan dia sebagai kutu buku. Tidak! Dia tidak berkacamata, hidup di ruang yang ditimbuni buku, dan mungkin bau bawang karena malas mandi.
Raja Enua tidak seperti itu!
“Duke Joa, datang tepat waktu.”
Mulutku menganga! Andai Duke Joa tidak sedang menggendongku seperti tengah melindungi boneka kelinci mungil menggemaskan, mungkin saat ini aku pasti jatuh berguling karena lututku lemas.
“Kupikir kau akan datang terlambat, Duke Joa.”
Kami, aku dan Duke Joa, diarahkan menuju ruang santai. Jangan bayangkan ruang santai ala sinetron Korea yang menggambarkan sebuah ruangan yang lantainya dilapisi karpet, dihias dengan sofa kulit, lampu gantung, dan sebagainya.
Ruang santai yang kumaksud justru lebih cocok disebut perkawinan antara taman dan dunia peri! Kursi dari rotan ditata mengitari sebuah meja marmer berbentuk bulat. Di meja telah terhidang teh dan beragam kue. Palem kipas ditata dalam pot di pojok ruangan. Kaca jendela dihias oleh lukisan kupu-kupu dan bunga dalam beragam warna. Terdengar suara gemericik air yang berasal dari kolam air mancur di luar ruangan.
Pelayan dan pengawal berdiri tidak jauh dari sang raja. Mereka diam, menunggu perintah.
Yang terpenting! Yang membuat kaki lemas! Oh penampilan si raja!
Eza Sa Belgrave. Raja Enua. Bapak dari dua orang penting dalam cerita. Dia memiliki rambut yang amat hitam. Persis bulu burung gagak. Hitam mengilat. Warna matanya biru. Biru yang mengingatkanku pada forget-me-not. Bagi seseorang yang menyukai pengetahuan, dia terlihat tidak seperti itu! Lihat bahunya! Bidang. Lihat cara pakaian membungkus tubuhnya! Lekat mirip sepasang tangan tengah memeluk mesra. Lihat tangan dan jemarinya! Wow apa itu? Apa aku harus mulai bergukguk kemudian menggigit jemari Raja Eza?
Oh seleraku ternyata suami orang lain-hiyaaaa! Sadar! Dia bapak dari musuhku! Musuhku!
Lekas kutampar diri sendiri dalam benak, memperkokoh pertahanan, dan memasang ekspresi tidak tertarik.
“Yang Mulia, terima kasih atas undangannya.” Duke Joa tidak kalah saing. Ia mulai tebar pesona. “Sekarang saatnya saya pulang.”
Raja Eza melengkungkang senyum. “Duduklah,” tunjuknya pada kursi kosong, “aku ingin melihat bocah yang diperebutkan Joa dan Res.”
“Sudah melihatnya, bukan?” Duke Joa mengangkatku seolah aku Simba. “Sekarang saatnya pulang.”
“Sebagai mantan teman sekamar di akademi, kusarankan kau sudahi sikap konyolmu dan duduk.”
Akhirnya Duke Joa tidak melanjutkan tindakan bodoh apa pun. Sebagai duke, dia tidak mirip karakter keren mana pun yang pernah kubaca!
Duke Joa mendudukkanku di kursi, setelah itu ia pun duduk santai.
“Coba kita lihat,” lanjut Raja Eza, “apa yang kau sukai, Nak?”
Kupikir meja yang ada di sini akan tinggi dan membuatku kesulitan. Ternyata tidak. Aku bisa melihat beragam kue yang sepertinya dibuat oleh juru masak bintang lima.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Lady Ivy
FantasyHidup seperti kemalangan tiada akhir. Siang dan malam memberiku kegilaan tak tertangguhkan. Sungguhkah bertahan hidup harus mengorbankan sedikit demi sedikit jiwa? Maka sudah pasti jiwa milikku tinggal setetes dan tidak terselamatkan. Orang mengira...