Debut sebenarnya bisa saja diselenggarakan di kediaman milik Joa. Salah satu fungsi debut, yang cukup penting bagi para bangsawan, ialah memperkenalkan diri ke masyarakat. Aku tidak butuh perhatian eksrtra. Secukupnya saja, tidak perlu berlebihan.
Oleh karena itu, aku tidak keberatan ikut debut di istana bersama lady lainnya saja. Satu gedung di istana pun diperuntukkan khusus bagi acara tersebut. Musik, makanan, hiasan, dan segala hal yang ada di sana benar-benar mewah dan anggun. Semua lady seusiaku mengenakan gaun dengan warna serupa, emas dan putih. Kami, aku dan para lady, berkumpul dan jelas masing-masing bersiap dengan ekspektasi akan masa depan.
Tidak ada satu lady pun yang kukenal secara dekat. Aku tahu mereka, para lady, hanya berdasar ingatan masa lalu saja. Selama ini aku menghabiskan masa kanak-kanak, hmmm menyedihkan juga. Iya, aku menghabiskan masa muda dengan belajar, belajar, dan belajar. Madam Nana sempat mencoba memperkenalkanku kepada beberapa lady, tetapi kutolak.
Bukan bermaksud sombong. Tidak sama sekali. Namun, lady yang ada di Enua ini tidak memberi sumbangsih terhadap rencana hidup sehatku! Mereka termasuk penyumbang trauma dan masa lalu tidak menyenangkan. Tidak perlu cerita panjang lebar. Terlalu menyakitkan sekadar diingat saja.
Mayoritas lady memilih gaun yang memamerkan lekuk pinggul dan belahan dada. Mereka bahkan sengaja menyanggul rambut agar garis leher terlihat jenjang. Sementara aku lebih suka tipe gaun yang dengan lengan panjang dan kerah tertutup. Model gaun milikku pun sederhana. Tidak ada hiasan pita besar, bunga emas sebesar telapak tangan, dan pernik dari berlian.
Aku ingin tampilanku tidak mencolok. Pudar. Jadi, bisa langsung pulang usai mendengarkan ceramah. Aku rindu kasurku.
Hadirin lain, orangtua maupun kerabat lady, memilih berkumpul di area lain. Mereka bisa mengawasi putri mereka dan memastikan tidak ada bencana dadakan.
Raja Eza datang ditemani dua putranya, Iza dan Ray. Mereka mengenakan pakaian mewah bernuansa gelap. Ada hiasan dari batu mulia tersemat di saku depan maupun cravat. Hanya Raja Eza saja yang mengenakan mahkota, tidak dengan kedua putranya.
Para lady pun terkesiap. Mata mereka mirip karakter kartun yang kena panah asmara. Bayangkan saja mendadak gambar hati merah jambu menempel di kedua mata. Itulah yang kupikir pantas menggambarkan situasi saat ini.
Wajar. Lagi pula, Putra Mahkota Iza dan Pangeran Ray termasuk dalam daftar suami idaman. Mereka punya takhta, kuasa, dan tampang. Sempurna. Aku saksi hidup amukan para lady dalam usaha menggaet hati Iza maupun Ray. Tidak ada kata damai. Selalu barbar dan mengerikan.
“Selamat datang para lady,” sambut Raja Eza.
Kami membungkuk, memberi salam. Aku pikir jantung semua lady pasti berdebar kencang. Mereka sebentar lagi akan menjejakkan kaki ke dunia dewasa. Ada banyak hal menarik dan menggoda. Semuanya di hadapan mata.
“Kali ini aku melihat banyak lady luar biasa hadir di sini,” ujar Raja Eza sembari melempar senyum ke sepenjuru ruangan. Senyum serupa yang kini melengkung di bibir Putra Mahkota. Senyum yang sayangnya tidak ditampilkan oleh Pangeran. “Selamat datang ke dunia baru dan semoga kalian siap menyambut tantangan di masa depan.”
Sambutan dari Raja Eza pun berakhir. Musik mulai mengalun dan setiap lady bersiap menunggu undangan dansa.
Kesempatan tersebut kumanfaatkan untuk kabur. Aku bahkan tidak mau berurusan dengan Raja Enua. Capek!
Mataku mencari-cari keberadaan Duke Joa. Hanya dia saja yang menjadi temanku ke sini. Sungguh menyebalkan! Ray bisa ke sini dan kudengar dia lulus dari akademi lebih cepat dari semua orang, sementara Igor dikirim ke suatu tempat. Bagaimana caraku minta putus kalau dia belum pulang?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Lady Ivy
FantasyHidup seperti kemalangan tiada akhir. Siang dan malam memberiku kegilaan tak tertangguhkan. Sungguhkah bertahan hidup harus mengorbankan sedikit demi sedikit jiwa? Maka sudah pasti jiwa milikku tinggal setetes dan tidak terselamatkan. Orang mengira...